Hold Me Tight ( boyslove)

Zeno yang memberi restu



Zeno yang memberi restu

0"Hei, bocah! Kenapa kau membawa-bawa ku-" Sementara Jevin yang hendak memprotes, di potong cepat oleh Zeno yang hanya mengangkat satu lengannya.     
0

"Papa dan paman Max juga bisa begitu? Apakah kalian sepasang kekasih?"     

Satu detik, sampai nyaris menjumlah menit sekali pun, Nathan dan Max masih tak selesai dengan pergelatan yang mendebat dengan mimik wajah. Tak ada jawaban, membuat Zeno memutar tubuh dan beranjak pergi begitu saja.     

Hari setelahnya berubah menjadi sangat canggung. Yang dewasa yang mengira Zeno sudah melupakan pun tak berniat untuk membahasnya lagi. Entah perasaan atau memang kenyataan, Zeno yang begitu pendiam membuat Nathan dan Max kelimpungan.     

Bahkan keduanya kompak mengintip Zeno dari luar kamarnya, meski pintu sudah terjerembab terbuka lebar. Jevin yang baru selesai dari kamar mandi dengan kesibukannya menggosokkan handuk di surainya yang basah, langsung saja menghentikan langkahnya di tengah ruangan dengan kedua alis tebalnya yang berkerut mendapati situasi konyol yang menariknya.     

Bagai dedaunan kering yang diterpa angin kencang, begitu pula dengan Nathan, Max dan Jevin yang langsung bertaburan saat mendapati pergerakan bocah yang sibuk dengan seninya di atas ranjang.     

"Paman, aku minta belikan kue," pinta Zeno yang sedikit terkejut dengan ketiga pria dewasa yang baru disadari mengelilingi tempatnya.     

"Boleh, mau yang rasa apa?" sahut Max dengan sumringah.     

"Ehmm... Red velvet?" timpal Zeno setelah mengetuk-ngetuk kan jari telunjuknya di dagu.     

"Baiklah, paman akan berangkat."     

Mengulas senyum ke arah sang bocah, tak lupa pada Nathan sebelum beranjak pergi.     

Sementara Jevin yang perlahan mendekati Nathan dengan gerak pelan lengannya yang masih mengeringkan rambut.     

"Pria mu begitu cepat tanggap saat ketakutan menanti restu dari anak mu, Nath. Haha..." bisik Jevin yang sontak langsung mengalihkan perhatian Nathan dengan raut wajahnya yang berkerut tak senang.     

"Jev..." kesal Nathan yang sampai gemas mencubit perut Jevin.     

"Aochh! Memangnya aku salah bicara?" pekik Jevin yang langsung mempertanyakan letak kesalahannya. Namun Nathan yang menjaga jarak, lantas tak mempedulikan.     

"Zeno mau apa lagi?"     

"Tidak, aku hanya ingin kue saat ini."     

Nathan pun mengulas senyumnya begitu canggung. Baru kali ini ia merasa sangat segan hanya untuk menempati sisi dekatnya dengan sang anak.     

"Gambaran anak ku selalu bagus, besar nanti ingin menjadi pelukis profesional, ya?" ucap Nathan yang coba menarik perhatian Zeno.     

Sementara bocah yang paham betul tentang cara seseorang untuk mencoba berbasa-basi, lantas menutup buku gambarnya dan menatap Nathan dengan sorot matanya yang begitu serius.     

"Papa tak ingin mengatakan sesuatu pada ku?"     

"Sayang..." Nathan yang merengek, jelas tak mengetahui mulai dari mana ia harus bercerita.     

"Papa menganggap ku masih bocah sampai-sampai tak merasa penting untuk mengatakan segalanya pada ku?"     

Nathan tak bisa berkutik saat Jevin menekan. Sementara Jevin yang hanya selaku pengamat di balik kepura-puraan nya menatap layar ponsel, merasa sedikit kagum dengan cara bicara Zeno yang begitu mendominasi.     

"Apakah aku tak berhak tahu?" imbuh Zeno yang memang tak memberikan pilihan sedikit pun pada Nathan.     

Pria dewasa yang merasa cemas dengan berbagai bayangan atas tanggapan Zeno nantinya, makin menekan buku jarinya erat dengan jantung berdebar begitu kencang.     

"Paman Max adalah kekasih papa. Tak memberitahu mu, bukan karena papa merasa anggapan mu tak penting. Papa hanya tak ingin kau merasa kecewa, karena papa yang tak bisa memberikan mu keluarga seperti yang kawan-kawan mu miliki."     

Akhirnya Nathan melepaskan bebannya. Hela napas menderu dengan lamat-lamat mengamati mimik wajah Zeno yang masih tak berubah detik itu.     

"Yang perlu papa tahu, aku sangat menyayangi papa. Tak ingin pula membuat papa sedih meski pun sering kalinya aku bertindak sesuka hati."     

Seperti sebuah angin segar saat tiba-tiba saja Zeno menggelindingkan pensil warna yang di genggamnya, lantas menarik sela tautan erat Nathan untuk di genggamnya erat.     

"Ku rasa aku bukan bocah yang terlalu buruk juga. Aku tak ingin menjadi penghalang kebahagian papa. Aku bahkan merasa sangat senang saat papa bisa tertawa selepas tadi bersama dengan paman Max. Sesekali, aku ingin di libatkan antara kalian. Aku ingin kita bertiga terus bersama."     

Tiba-tiba saja netra milik Nathan berkaca-kaca. Ucapan Zeno yang begitu tulus dengan raut wajah polosnya, membuat Nathan langsung menarik anak kesayangannya ke dalam dekapan hangatnya. "Zeno..." Nathan terus memanggil sang anak, kebahagian yang rasanya sudah lengkap, sekejap tak mampu untuk di kendalikan. Nathan benar-benar sangat bahagia.     

"Punya dua papa, tak masalah untuk ku, pa."     

Jevin yang melihat mereka pun tak pelak menarik kedua sudut bibirnya. Meski hatinya masih terasa berdenyut menyakitkan, tak menutup hati kecilnya yang merasa turut bahagia atas hubungan Nathan dan Max yang telah di satukan oleh Zeno.     

Bocah se belia itu, dengan pemikiran dewasa yang membuat Jevin merasakan kagum. Ya, rupanya memang tak hanya pintar berdebat karena prasangka kebenciannya saja.     

"Kau pemenangnya," ucap Jevin yang mendatangi Max malam harinya. Pria yang nampak begitu berseri di tengah gelap gulita itu pun mengangkat pandangannya memberi balasan.     

"Memangnya dari awal kau tak menyadari jika Nathan hanya untuk ku?"     

Jevin yang berniat duduk di samping Max rasanya mengganjal, seperti ada jebakan ranjau yang di pasang tepat di permukaan kayu itu.     

Max jelas pelakunya, dengan senyum seringai setelah nikmat menyeruput kopinya.     

"Hahaha..." Jevin pun tertawa sengau, lantas melirikkan netranya tajam pada Max yang menampilkan wajahnya begitu memnyebalkan. "Sialnya aku tak bisa menjawab ucapan mu yang terlalu percaya diri itu."     

"Tapi meski pun begitu, aku amat sangat berterimakasih dengan mu, karena menjaga Nathan saat aku tak ada." Secara tiba-tiba saja Max mengganti gurat wajahnya dengan intonasi serius. Praktis membawa Jevin serupa.     

Jeda sejenak, saat pandangan keduanya bertemu sembari semilir angin yang menggelikannya seperti adegan romantis di pemikiran Jevin.     

Berjingkrak kesal di atas tempat duduknya, lantas menghalau fokus Max untuk tak lagi menatapnya terlalu dalam dengan netra hijau keabuannya.     

"Hei, jangan merubah suasana menjadi haru. Hanya untuk kita berdua, itu sangat menjijikkan," peringat Jevin yang sampai menuding Max.     

Lantas menarik bekas cangkir minuman Max, menenggaknya untuk bantu meredakan tenggorokannya yang seperti tercekat karena terlalu jengkelnya.     

Tak     

Meletakkan cangkir itu kembali ke tatakannya dengan keras.     

"Lagipula aku tak sebaik itu. Pastinya aku diam-diam mengambil kesempatan untuk bisa memperjuangkan Nathan. Tak perlu ku jelaskan secara gamblang tentang aksi ku, kan?" imbuh Jevin yang di harapkan bisa membuat Max merasa sedikit goyah dengan posisi kemenangannya.     

Namun nyatanya tak bisa demikian mudahnya, saat tiba-tiba saja Max menggelengkan kepala dengan seringai terukir di bibirnya.     

"Hmmm... Tak usah. Aku kasihan pada mu, karena sekeras apa pun kau berusaha, Nathan tak akan pernah bisa mencintai orang lain kecuali diri ku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.