Hold Me Tight ( boyslove)

Mencuri kesempatan



Mencuri kesempatan

0Sementara Zeno yang mendengar kalimat asing di pendengarannya lantas mencampur adukkan raut wajah marahnya dengan alis berkerut kebingungan. "Apa itu bertekuk lutut?"     
0

"Sii... al!" Jevin mengganggalkan umpatannya. Lantas mengerut dahinya yang tiba-tiba saja berdenyut menyakitkan. "Bertekuk lutut itu, orang yang sangat-sangat menyukai orang lain." Namun masih saja Jevin yang berbaik hati memberi penjelasan.     

"Jadi kau mengatakan banyak orang yang menyukai mu, apakah begitu?" decih Zeno yang jelas tak berniat menyakini.     

"Lalu yang kau pikir? Aku adalah standar tertinggi semua orang untuk di jadikan kekasih."     

"Mana bisa aku percaya, orang yang nyaris sempurna yang ku baca di buku dongeng bahkan tak mengklaim dirinya sendiri. Kau hanya mengaku saja." Zeno yang menampilkan dirinya sangat mengesalkan. Bahkan melipat tangannya di depan dada dengan dagu terangkat tinggi seolah memang berniat melanjutkan perdebatan yang di buka jalan oleh Nathan yang seperti sudah menyerah.     

"Nath, katakan pada ku! Bagaimana kau bisa melatih bocah sekecil ini untuk pandai berdebat dengan orang dewasa?"     

"Huuh! Bilang saja kalau kau memang tak punya kata-kata untuk bisa membalas ucapan ku. Dasar pria dewasa yang terlalu percaya diri!"     

"Max... Mereka mulai lagi..." rengek Nathan yang bahkan sampai menghentak-hentakkan kakinya kesal. Tangannya bahkan menarik-narik lengan kemeja milik Max.     

"Cukup!" perintah Max yang rupanya mampu membungkam ketiganya yang hendak melontarkan kalimat bagian.     

"Zeno diam dulu... Dan kau, Jev! Matikan dulu mesin motor mu."     

Jevin yang merupakan tipe pria yang sedikit pun tak bisa di perintah, segera tunduk hanya dengan tatapan memelas Nathan yang di tangkapnya. Seperti meraung menyemangati perdebatan, bunyi motor yang di matikan itu segera membuka longgar pendengaran mereka yang penuh sampai detik lalu.     

"Ku sangka setelah malam kemarin, kalian akan melupakan pertengkaran tak jelas kalian," ucap Max yang berusaha tak berat sebelah, hingga melimpahkan seluruh kesalahan pada Jevin yang lebih matang pemikirannya.     

"Paman ini yang lebih dulu membuat ku kesal," sambar Zeno yang jelas saja ikut andil bagian dalam situasi yang kian mengeruh. Tingkah kekanakannya yang memang begitu jujur tak menyukai seseorang, membuat Max dan Nathan sangat sulit untuk memberikan peringatan pada anak kesayangan mereka. Jelas keduanya masih mengingat sifat Zeno yang sangat sulit untuk di ajak berdamai.     

"Enak saja. Bukankah kau yang datang-datang langsung menyalak pada ku, bocah?"     

"Huh!"     

"Huhhh...." Jevin dan Zeno sontak beradu sorakan. Membuat Nathan tutup telinga dan menyerahkan pengadilan pada Max.     

"Ku bilang cukup!" perintah Max yang lagi-lagi membuat Jevin dan Zeno kompak tak berkutik. Sama-sama menundukkan kepala, dengan jemari yang memilin seolah penuh penyesalan.     

"Oh ayolah... Aku ingin hari ini rumah kita damai. Aku dan Max yang akan berangkat ke kantor, sementara hati kita yang akan tenang melihat anak ku dan juga adik ku dekat. Sore hari saat kita yang akan kembali berkumpul, bercanda tawa dengan asik berbagi cerita. Apakah kalian berdua tak membayangkannya sebagai sesuatu yang indah dan begitu damai?" sahut Nathan yang mulai menurunkan nada tingginya untuk menasehati. Zeno dan Jevin lagi-lagi hanya mengangguk lesu.     

"Zen, bukankah kau pernah mengatakan pada ku jika kau sangat ingin di bonceng naik motor?"     

"I-ya... Tapi dengan paman... Aku tidak ingin dengan pria cerewet itu," cicit Zeno yang mengegas kalimat terakhirnya menjadi bernada tinggi.     

"Jadi, tetap aku yang di salahkan?" Jevin yang rupanya sudah tersadar dari tingkah kekanakannya yang mengikuti arus kemarahan Zeno, lantas mengurut dadanya saat hampir saja membalas ucapan Zeno yang tak sopan kepadanya itu.     

"Apakah kau tak menginginkan lukisan yang tempo hari ku tunjukkan pada mu? Atau les khusus untuk memperdalam seni lukisan mu?" Max menyela, membuat Zeno yang mendengarnya lantas mengangkat pandangannya pada Max.     

"Paman-paman... Aku mau semuanya," girang Zeno dengan praktis raut wajahnya yang berubah begitu sumringah. Jevin yang melihatnya, seketika saja menganga tak menyangka. Namun masih memaklumi, bocah memang mudah terbujuk rayu, kan?     

"Tapi kau harus menuruti ucapan ku, sayang..." Max mengangkat Zeno ke dalam gendongannya. Di lekat juga oleh Nathan yang menggenggam tangan kecil sang anak. Ya, gambaran keluarga yang hanya bisa membuat Jevin gigit jari karena kecemburuannya.     

"Apa?"     

"Sementara papa dan paman yang akan berangkat kerja, kau yang kebetulan tengah libur, alangkah lebih baiknya untuk berjalan-jalan, kan?"     

"Paman..." rengek Zeno yang menyadari ke mana maksud Max.     

"Lebih dekat lah dengannya, dia adalah paman mu, sayang... Atau semuanya gagal?"     

Tahu-tahu saja Nathan dan Max yang berangkulan sudah melambaikan tangan pada Zeno yang memberenggut dengan keterpaksaan merangkul Jevin dari belakang. Sarapan pagi yang di buat seceria mungkin, lantas menghantarkan paman dan keponakan itu untuk berlibur bersama.     

"Aku tak percaya kau bisa menangani segalanya dengan sangat mudah. Ya, meski pun lagi-lagi dengan sebuah ancaman," ucap Nathan sembari melemparkan tubuhnya ke dalam rangkulan hangat sang kekasih.     

Sadar jika kebahagiannya penuhnya tak di rasakan demikian oleh Max, membuat Nathan mencebikkan bibir bawahnya lantas mempertanyakan.     

"Kenapa kau memandang ku seperti itu, sayang?"     

"Haruskan aku membuat seribu kebaikan dalam sehari supaya kau tetap memanggil ku mesra seperti itu?"     

Nathan yang menakup rahang sang kekasih, lantas secara perlahan menjatuhkan tangannya ke samping badan. Wajahnya bersemu merah, lantas tubuhnya tanpa sadar di gerakkan karena malu.     

"Lalu kau yang membalas ku dengan raut wajah seperti ini, apa kau berniat menggoda ku, sayang?"     

"Ahhh..." Nathan terpekik, lebih tepatnya mendesah tertahan karena Max yang tiba-tiba saja menyentak tubuhnya untuk masuk ke dalam dekapan pria berparas oriental itu. Lengannya bahkan beralih begitu cepat, menyusur lebih ke bawah dan secara tiba-tiba sudah mencengkram bilah bokong seksi milik Nathan.     

"Ja-jangan seperti ini... Siapa saja bisa memperhatikan kita, Max..."     

"Apa maksud mu, kita harus mencari ruang yang tersembunyi untuk bisa bebas?" goda Max yang masih tak mengizinkan Nathan untuk beranjak pergi darinya.     

"Max, jangan macam-macam! Seperti yang seharusnya, kita harus ke kantor," ucap Nathan berusaha tegas.     

"Siapa yang mengatakan harus? Hei, kita adalah boss nya, sayang..."     

"Max..." rengek Nathan yang sudah seperti tak berdaya, meski di sisi lain dirinya mencoba untuk profesional dalam pekerjaan.     

"Kau mau kita melakukannya di sini? Ayolah, sayang... Aku hanya memberi mu dua pilihan..."     

"Kau memang tak sedikit pun menyia-nyiakan peluang."     

"Apakah kau lupa jika aku adalah pebisnis yang handal?"     

"Dan perayu ulung yang membuat ku seperti terus tersihir oleh keinginan mu yang begitu nikmat, sayang..."     

Mendengar Nathan yang balas memberikan godaan, membuat Max benar-benar girang hingga tanpa menunggu waktu lebih lama lagi menarik sang kekasih ke dalam rumah. Membanting pintu, berlari, dengan menyela ciuman dalam di setiap langkah mereka yang mencoba mencari sudut nyaman sesuai dengan fantasi sang dominan.     

Dapur, rasanya bagian itu memang menjadi tujuan utamanya untuk pertama kali. Membuat Nathan menggelepar tak berdaya karena sentuhannya. Telanjang, dengan keringat basah yang menyeruak memancing birahi semakin tinggi.     

Sementara Nathan dan Max masih tak menyadari ada seorang pria yang mematung dari depan gerbang terbuka itu. Mendetail aksi kedua pria itu yang nampak saling menggoda, hingga seperti tak tahan untuk menuntaskan gairah keduanya yang mengambil alih.     

"Apakah hubungan sesama pria memang seromantis itu? Jangan-jangan karena aku terlalu fokus menjadi playboy khusus wanita, membuat ku tak menemukan hal berbeda hingga cenderung membuat ku, bosan? Apa aku mencari pria menggemaskan saja, ya?" pikir Tommy.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.