Hold Me Tight ( boyslove)

Pasrah



Pasrah

0"Aku tidak mau tidur dengan penjahat!" teriak Zeno yang sampai mendengung ke seluruh bagian ruangan besar itu. Sontak membuat tiga orang dewasa itu tutup kuping.     
0

Makan malam yang mendamaikan sejenak, nyatanya masih tak sanggup untuk menyingkirkan ingatan baik seorang bocah yang tak hentinya memberenggut sedari tadi.     

Jevin yang di sasar, membuat pria dewasa itu jelas terpancing kesal. Namun memang tak ada yang bisa di lakukan olehnya untuk memberikan pelajaran pada anak nakal yang amat tak sopan itu. Hanya kesan baik dengan menampilkan senyum seolah rela di benci tanpa alasan, menutup geraman kesal di hatinya dengan lengan yang terkepal erat di atas pangkuan.     

"Sudah ku katakan, Zen... Dia adalah paman mu, bukan penjahat," jelas Nathan yang coba membujuk sang anak yang rewel di pangkuan Max. Namun bocah yang di kenal amat pendiam itu seperti keukeh mempertahankan pemikirannya, sekali bicara seperti tak bisa di ganggu gugat.     

Saat ini Nathan bahkan tak bisa habis pikir dengan tingkah anaknya yang tiba-tiba saja berubah. Zeno yang begitu pendiam, tiba-tiba saja dominan menyalak saat kali pertamanya bertemu dengan seseorang. Hanya karena sebatas mimpi buruk yang sudah berlalu, nyatanya masih begitu lekat di benak bocah itu. Jevin yang naasnya menjadi penggambaran Zeno akan tampilan menyeramkan dari sosok penjahat.     

"Tak apa Nath, aku bisa tidur di hotel saja," sela Jevin yang memang merasa begitu lelah dan membutuhkan istirahat. Sementara berdebat dengan keras kepalanya anak kecil membuat ia memilih angkat tangan.     

"Tidak. Kau pastinya sudah sangat lelah dari perjalanan jauh, bagaimana aku bisa tega membiarkan mu untuk pergi begitu saja?"     

"Pa... Biarkan saja dia tidur di hotel," rengek Zeno yang menyela, membuat Nathan yang muntlak sampai membentak,     

"Zen! Sejak kapan papa mengajari mu jadi anak nakal seperti ini?!"     

"Tapi pa-"     

"Sudah papa putuskan, mau tidak mau semuanya harus menurut apa yang papa tentukan."     

Nathan memotong ucapan Zeno, membuat bocah yang tak bisa berkutik itu merasa kesal. Tak tahu cara meluapkannya, netra beningnya beransur basah dan sontak langsung menyembunyikannya di dada bidang milik Max.     

"Padahal sedari tadi aku hanya diam saja, kenapa saat ini aku yang malah menjadi korban?" gerutu Max saat dirinya harus menempati kamar Nathan dengan Jevin di sampingnya berbaring. Jelas saja merasa tak nyaman, keduanya pernah menjadi rival untuk memperebutkan Nathan yang begitu mempesona. Bahkan mungkin sampai dengan detik ini.     

"Sungguh, aku tak mempercayai diri ku yang seperti ini. Tapi, aku rasanya masih sadar diri. Apakah kau ingin aku tidur di sofa saja?" balas Jevin dengan memposisikan tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Perkataannya ini lebih menjurus seperti sebuah ironi untuk dirinya sendiri. Alasan yang membuatnya tak ada pilihan untuk menempati ruangan lain yang semestinya masih ada beberapa. Ya, kalau tidak kamar tamu yang saat ini di rubah menjadi ruang kerja milik Nathan dan Max masing-masing.     

Rupanya memang Nathan dan Max benar-benar serius dengan kedekatan hubungan mereka, sampai dengan terang-terangan tinggal bersama.     

Lantas keduanya hanya terdiam, Max yang mulanya ingin membalas tuntas dan memenangkan posisinya menjadi menang telak, teralih pada raut lesu milik Jevin yang tampil seketika.     

Membiarkan saja pria yang lebih muda darinya itu beranjak pergi meninggalkan ruangannya. Max yang seharian ini lelah karena membatu Nathan untuk beberes seluruh isi rumah, memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya.     

Jevin melangkahkan kakinya perlahan, sedikit bernostalgia dengan setiap sudut yang di lewatinya. Hanya Nathan yang muncul di ingatannya, terlebih dengan sikap cueknya yang seperti tak berubah walau mereka sudah terikat hubungan kekeluargaan.     

Saat sampai di lantai dasar, pandangannya secara otomatis melihat sebuah ruangan yang merupakan tempat tidur bunda dan papanya. Ia tak ingin teringat dengan rasa bersalahnya yang masih begitu besar karena kejadian lalu, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju dapur.     

Membuka pendingin ruangan, memutuskan untuk mengambil buah apel yang begitu saja di lahap tanpa ingin repot-repot mengupas kulitnya terlebih dahulu.     

Duduk di meja makan dan langsung menyalakan ponsel miliknya. Beberapa notifikasi langsung muncul, dari Rama yang menanyakan kabarnya setelah sampai tujuan.     

Membalasnya singkat, bahkan Jevin yang setelahnya berpikir untuk mencurahkan kekesalannya karena bocah yang begitu nakal. Tak ada balasan, perbedaan waktu yang cukup jauh, dimakluminya karena kesibukan jam kerja di sana.     

"Kau belum tidur?"     

Jevin yang membuka mulutnya hendak menggigit bagian buah yang tersisa, lantas di kejutkan oleh sebuah suara. Nathan di sana, berjalan melewatinya begitu saja menuju dapur.     

"Masih ingin menikmati suasana di setiap sudut rumah ini," sahut Jevin sembari menopang dagu menatap ke arah Nathan yang tengah berkutat dengan kegiatannya di dapur. Ia tak melihat dengan teliti apa yang di lakukan oleh pria itu, Jevin hanya terfokus pada wajah Nathan yang begitu menggemaskan saat tengah berkonsentrasi. Bahkan saking terpesonanya, kedua sudut bibirnya pun menarik senyum.     

"Hei, kau mempunyai banyak waktu untuk melakukan itu, kan?"     

Nathan yang bertanya sembari berkacak pinggang dari jarak yang cukup jauh antara mereka, membuat Jevin malah beraut suram dengan gurat wajahnya yang sampai menurun. Jujur saja, ia masih tak memperkirakan jauh-jauh hari jika kenyataan yang didapatinya seserius ini. Nathan yang sudah terlihat sangat lengkap dengan kehadiran Max dan juga Zeno, membuatnya berpikiran seribu kali lipat untuk menjadi sosok kejam dengan menghancurkan kebahagian mereka.     

"Malam-malam seperti ini, bukankah lebih baik minum yang hangat-hangat?" Nathan datang, menyajikan dua gelas cangkir coklat panas di meja.     

Jevin pun di buat terpana dengan perhatian Nathan, terlebih saat pria itu mengambil sisa gigitan apel miliknya dan melahapnya begitu saja. Mengenai bekas miliknya, bukankah itu semacam ciuman secara tidak langsung?     

Nathan yang hanya membalasnya dengan satu alis terangkat dan masih memakan sisa buah, membuat Jevin berpikir jika memang pria itu tak sedikit pun memandang kedekatan mereka sebagai sesuatu yang melibatkan perasaan lebih.     

Membuatnya tercekat, sampai-sampai untuk beberapa detik, rasanya ia tak bisa bernapas dengan baik. Hatinya begitu sakit, terlebih dengan kebaikan Nathan yang mustahil dihindarinya dengan cara cepat melupakan karena benci.     

Menarik cangkir di hadapannya, rasanya memang Jevin membutuhkan kehangatan yang merasuk ke dalamnya. Setidaknya untuk menenangkan diri, menghadapi sisa harinya yang sedikit pun tak bisa di katakan baik. Ya, meski pun pengecualian atas rasa rindunya pada Nathan yang sedikit terobati.     

"Bagaimana dengan bocah itu?"     

"Dia menangis, baru bisa tertidur setelah ku bujuk dengan janji memberikannya peralatan menggambar."     

"Aku jadi penasaran dengan hasil goresan tangan kecilnya yang dulu tak pernah absen untuk ku kecup itu," timpal Jevin yang singkat menarik memori indah saat dirinya dan juga Nathan berperan layaknya sepasang kekasih yang menjaga buah hati mereka dengan penuh kasih sayang.     

Sementara Nathan yang merasa kasihan terhadap Jevin yang mungkin saja berekspektasi tinggi terhadap bayi yang dulu begitu di cintainya itu.     

"Maafkan Zeno karena memperlakukan mu seperti itu. Jujur saja, aku tak menyangka nya, karena sejujurnya Zeno adalah anak yang begitu manis dengan sikap pendiamnya. Masih heran, ku sangka akan ada ikatan batin antara kau dan Zeno. Secara, dulu kau juga yang menjaganya, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.