Hold Me Tight ( boyslove)

Jevin ingin kembali



Jevin ingin kembali

0Seorang pria nampak berjalan begitu tergesa, rautnya nampak begitu bahagia seakan tak sabar untuk melakukan sesuatu.     
0

Orang-orang berperawakan jangkun dengan wajah oriental mereka membungkuk hormat, sementara pemimpin muda itu membalas dengan senyuman ramah. Pujian pun terus terlontarkan padanya, bukan hal baru saat tampilan pria yang sudah identik dengan kedewasaannya itu sudah menyita perhatian sejak awal kedatangannya. Ya, paras Asia dengan wajah rupawan yang sangat ramah pula, siapa yang tak akan tertawan untuk setidaknya terjebak dalam hubungan satu malam dengannya?     

Namun misteriusnya, pria itu terkesan sangat mahal. Tak satu pun orang yang tertangkap mata mendapatkan perhatian lebih darinya. Seakan tak ada yang indah dan membuat pria itu tertarik. Ya, mereka hanya tak tahu saja jika hati pria bernama Jevin itu sudah tertawan sejak awal dengan nama seseorang.     

Tinggal di negeri yang sejak awal memang membesarkannya, namun setelah menjadi sebatang kara dengan tanggungan beban memimpin perusahaan saat sebuah tragedi yang jelas membuatnya hancur. Memang tak bisa berlarut sedih terlalu lama, atau semua perjuangan keluarganya akan ikut hancur hanya karena ia yang terbawa perasaan.     

Sebuah pusara berdampingan yang menjadi tujuan awalnya, memberikan buket bunga satu per satu sembari memanjatkan doa untuk orang tuanya yang sudah tenang di alam sana. Janjinya masih terus di tepati untuk menjalani hidup lebih baik. Menjadi pria yang tak lagi kekanakan, dan menjadi pribadi yang di harapkan orangtuanya dulu.     

"Jev, apakah kau tak apa?"     

Sebuah suara membuatnya tersentak, lekas mengusap air matanya yang jatuh tanpa di sadari, lantas memberikan senyum pada seorang pria yang merupakan kawan dekatnya sejak lama.     

"Aku tak apa, Ram. Hanya memang sesekali ingatan ku tertarik mundur pada memori-memori indah ku bersama dengan mereka. Aku benar-benar menyesal saat perubahan yang mereka harapkan dari ku tak sempat mereka lihat."     

Rama pun melangkahkan kakinya semakin dekat, mengangkat lengannya untuk mengusap bahu tegap milik Jevin yang kali ini terlihat begitu lesu. Jelas saja ia memahami bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang menjadi tumpuan hidup. Karena lebih dulu, Rama bahkan mengalaminya meski tak secara nyata. Mereka yang sibuk untuk memperkaya diri, membuatnya lebih memilih mencari kehidupannya sendiri.     

"Memang aku tak berhak untuk mengatakan pada mu jika segalanya akan baik-baik saja. Aku pun juga sangat marah pada takdir yang membawa ku pada keluarga yang begitu egois. Namun yang harus kau ketahui, aku akan terus berada di sisi mu, untuk menemani mu, Jev."     

Rama mengucapkannya dengan penuh ketulusan, membuat Jevin yang mendengarnya sontak memberikan dekapan.     

"Berapa tahun kita bersama?"     

Rama mengernyitkan dahi, saat secara tiba-tiba saja mempertanyakan hal yang sudah jelas.     

"Dari mulai kau membuat seluruh penghuni siswi di sekolah ku histeris karena kedatangan seorang murid baru yang begitu tampan. Dan tiba-tiba saja belagak sok kenal dengan meminta masuk menjadi bagian dari geng berandal sekolah?"     

"Perang di jalur bebas dengan berandal dari sekolah seberang, itu adalah debut pertama ku merasakan adrenalin yang sejak awal hanya bisa ku idam-idamkan," lanjut Jevin yang membuat keduanya lantas menertawai kejadian masa lalu.     

Mereka yang identiknya hanya mencari perhatian, dan mencurahkan beban yang menghimpit akibat pemberontakan mereka pada takdir. Rasanya menjadi jalan terbodoh yang pernah mereka lakukan saat sakit karena serangan musuh seakan mampu melegakan.     

"Lantas, mengapa kau tak ingin mengikuti ku setelah ini?" Jevin merubah raut wajahnya menjadi sangat serius. Pembicaraan mereka tempo hari karena keluarga segera terulang. Ya, Rama memang seperti benar-benar serius untuk memutus hubungan dengan keluarganya. Jevin yang tak mencapnya sebagai sebuah kesalahan yang di lakukan, meski pun setengah bagian dari dirinya merasa kecewa dengan pilihan kawannya itu.     

Oh, ayolah... Jevin sendiri menginginkan sebuah keluarga saat ini. Namun Rama yang memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan, nyatanya sedikit pun tak terlihat berniat untuk melakukannya.     

"Jika aku ikut pergi dengan mu, siapa yang akan menghandle perusahaan? Mereka bisa saja mencuri kedudukan singgah sana mu, Jev."     

Jevin pun mendengus, sembari bola matanya yang memutar. "Ya, kau memang terlalu pintar untuk mencari alasan."     

"Itu memang kenyataannya, Jev..."     

"Ya, anggap saja aku mempercayai mu sebagai kawan ku yang paling peduli."     

"Aku memang mempedulikan mu," timpal Rama sangat ringan, membuat Jevin menyerah untuk terus membujuk kawannya itu.     

Waktu bergulir dengan begitu cepat, langit terang dengan warna biru terangnya tiba-tiba saja mengganti suram dengan warna gelap gulitanya. Hanya satu titik terang dari cahaya bulan yang saat ini menjadi penerang, mendapatkan pantulan dari matahari meski pun tugas sang tata surya masih mengalih penuh pada belahan bumi yang lain.     

Perbedaan waktu membuat malam dan siang seperti berjalan begitu jauh.   Menampakkan jelas ribuan kilometer yang membentang jarak. Dan Jevin benar-benar merasa muak dengan keadaan ini, seperti sudah tak bisa lagi terbantu dengan sebuah potret yang di terus tersimpan rapi di sakunya.     

"Nath, aku tak sabar untuk bertemu dengan mu. Aku benar-benar sangat merindukan mu."     

Hembusan angin bertiup menerjangnya. Menjadi sebuah penghantar yang di harapkan dapat menyampaikan pesan kerinduannya pada Nathan. Di harapkannya mampu menembus hati membeku milik pria yang masih memiliki pertahanan penuh untuk menolaknya itu.     

Rindu yang di rasakannya memang benar-benar tak bisa terbendung. Pikirannya bahkan tak bisa terkendali dengan baik lagi. Tubuh lelahnya yang menginginkan istirahat masih tak di pedulikannya, tak sabar untuk perjalanannya menemui sang pujaan hati yang amat di rindukannya. Ya, terlebih saat pesan beruntun dari pria yang begitu di rindukannya itu.     

"Apa kabar mu, adik tersayang ku? Ku harap di sana kau baik-baik saja meski aku tahu kau sangat merindukan ku, hehehe... Percayalah, di sini aku pun begitu." Membacanya, Jevin pun menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Bibirnya yang terbuka, lantas mengiyakannya tanpa suara.     

.... Bukankah kau tahu jika aku sangat menyayangi mu? Untuk itu, aku tak ingin sedikit pun menutup kisah ku dari mu, Jev." Lanjutan dari pesan Nathan membuat dahi Jevin lantas berkerut. Buru-buru, ia beralih ke pesan terakhir yang lebih panjang."     

.... Ku tak ingin kau marah atas pilihan hidup ku. Nyatanya di bandingkan rasa marah dan kecewa ku pada Max, masih tak bisa di bandingkan dengan perasaan cinta ku kepadanya. Aku hanya ingin kau tahu, jika aku tak akan lagi bersedih, kita akan sama-sama mewujudkan keinginan terakhir orangtua kita. Ku harap kau pun menemukannya jalan mu suatu hari nanti, Jev,"     

... Penuh cinta, Nathan."     

Jevin benar-benar hancur malam itu, ia bahkan sampai menitikkan air mata saat menyadari pengharapannya sia-sia. Lagi-lagi memang jarak yang menjadi alasan, pilihan yang sulit tiga tahun lalu di hadapkan padanya yang baru belajar mendewasakan diri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.