Hold Me Tight ( boyslove)

Zeno yang akhirnya bertemu sang paman



Zeno yang akhirnya bertemu sang paman

0Tiba-tiba saja Jevin menjadi sangat ragu untuk kembali. Hatinya masih saja merasa sakit, walau sejak awal ia sudah memperkirakan jika cintanya tak akan mungkin untuk bersambut.     
0

"Bagaimana, apakah kau siap dengan perjalanan mu?" tanya Rama yang memastikan sekali lagi. Jevin yang nampak sangat rapuh, seketika saja membuat sang kawan mengenyahkan cekalannya pada koper milik Jevin dan memberikan dekapan erat pada pria itu.     

Rama sudah menyadari ada yang tak beres dengan sikap Jevin saat ia datang menjemput kawannya itu di mansion mewahnya. Sedikit pun tak bersinar seperti sewaktu Jevin mengabarkan rencananya itu.     

"Kau bisa mengatakannya pada ku, Jev... Tak masalah..." bujuk Rama sembari menenangkan Jevin dengan usapan telapak tangannya di bahu pria jangkun itu.     

Namun sayangnya tak lekas di balaskan, Rama malah lebih merasa khawatir saat secara tiba-tiba saja ia mendapati Jevin yang tengah menangis.     

"Dia tak sudah tak mungkin ku, Ram. Aku benci dengan takdir yang membawa ku jauh darinya. Tiba-tiba saja aku tak mengharapkan sebuah tambang kesuksesan yang selama dua tahun ini ku pegang, aku sama sekali tak menginginkan semua ini, Ram! Aku berubah hanya untuknya. Aku bekerja keras supaya bisa di mensejajarinya. Namun setelah ia memilih dengan yang lain, apakah menurut mu aku masih sanggup untuk melanjutkan takdir ku? Apakah kesuksesan ku selama ini ada gunanya?"     

Jevin mencurahkan seluruh isi hatinya saat itu, ia menangis sejadi-jadinya karena usaha kerasnya memang mengkhianati hasil. Sempat membuatnya rapuh seperti tak lagi ada harapan untuk menyelesaikan segalanya. Kalau saja Rama yang tak memberikannya sumber kekuatan dengan menggenggam erat tangannya, sembari menyakinkan segalanya akan tetap baik-baik saja, semula seperti awal.     

"Kau bukan seseorang yang terbuang hanya karena ini, Jev... Kau masih menempati bagian terpenting di hati kakak mu itu. Percayalah pada ku, seperti yang dikatakannya pula, ia benar-benar sangat menyayangi mu."     

Dan setelah berperang dengan pilihannya, nyatanya Jevin sudah berada di depan sebuah kediaman yang pernah dikatakannya sebagai tempatnya pulang.     

Masih begitu ragu untuk menjejakkan langkahnya ke balik pintu pagar besi setengah terbuka itu, meski memang perjalanannya kemari sudah tak se instan untuk putar balik ke titik awalnya.     

"Permisi, pak. Apakah alamat ini salah?"     

Jevin tersentak dari lamunannya, lantas menangkap pandangannya pada seorang pria paruh baya yang sedikit menampakkan raut kekesalannya karena hampir setengah jam dirinya tak kunjung beranjak turun.     

"Oh, ya... Alamatnya benar kok, pak. Maaf sudah lama menunggu."     

Setelah mengatakannya, Jevin pun memberikan tambahan uang lebih dari harga yang tertera. Koper besar yang lebih banyak merupakan oleh-oleh pun berada di sampingnya.     

Meski begitu Jevin tak lekas beranjak dari tempatnya. Bahkan tanpa menurunkan kacamata hitamnya, pandangan pria itu masih saja sibuk meliar.     

Sampai-sampai di pandang penuh kecurigaan oleh mata awas seorang bocah yang sebelumnya sibuk bermain air.     

"Zeno, kau mau kemana?" tanya seorang wanita yang merupakan keponakan Tommy.     

"Aku mau pulang."     

"Tapi tanaman yang ada di sudut sana belum kita sirami."     

"Kau lanjutkan saja, sendiri."     

Singkat Zeno, tanpa mau repot-repot membalikkan pandangannya pada kawan barunya itu. Langkahnya berjalan memindik-mindik, "Tapi aku masih ingin main-main dengan m-" lantas meletakkan jari telunjuknya di depan bibir untuk menghentikan ucapan protes wanita seusianya itu.     

Sedikit membuat Zeno menggeram kesal saat netranya tak lagi menangkap sosok berpakaian hitam-hitam itu depan gerbangnya. Dengan menggebu, lantas bocah ia melarikan tubuh basahnya dengan raut wajah bersungut-sungut.     

Mendapati sosok menyeramkan yang kali ini malah tanpa izin menyusup ke dalam rumahnya membuat Zeno terburu-buru ingin menyergap sosok penjahat itu untuk melindungi papa dan paman kesayangannya.     

Fokus bocah yang hanya mengenakan singlet sembari celana pendeknya yang basah itu hanya tertuju pada pria dewasa yang terhenti di ambang pintu. Keberaniannya sempat menciut saat postur tubuhnya jelas saja tak bisa di bandingkan dengan pria jangkun yang dua kali tingginya itu. Paman penjaga gerbangnya yang tahu-tahu menghilang, membuat bocah yang satu-satunya menjadi saksi tingkah penyusup itu pun lantas memberanikan diri.     

Mengambil ancang-ancang dengan langkah mundurnya, lantas menumpu kaki kuatnya sebagai permulaan. Kedua lengannya yang mengayun memberikan bantuan untuk larinya makin kencang, yang setelahnya melebarkan kepakan sayapnya untuk mencengkram tubuh belakang pria jangkun itu. Menangkap penjahat itu dari belakang.     

"Hiaattt! Dasar pencuri! Mau apa kau datang kemari?! Kalau berani hadapi saja aku!"     

Jelas saja Jevin tersentak, belum cukup pandangannya menangkap kemesraan Nathan dan Max yang menyambutnya, sesosok pria bertubuh kerdil tahu-tahu saja memeluknya erat di belakang sembari berteriak lantang menuduhkan sebagai penjahat.     

Sadar jika pria itu hanya bocah, dan Jevin yang berniat baik untuk menutupi pandangan anak kecil itu supaya tak melihat hal-hal yang tak senonoh. Namun nyatanya kebaikannya tak di tangkap demikian. Malah lengannya yang berusaha merangkul, tiba-tiba saja ditawan dengan rasa perih yang di rasakan.     

"Akhh...!" Jelas saja Jevin yang mengaduh kesakitan membuat Nathan dan Max melompat dan memberi jarak. Kompak melebarkan pupil saat mendapati sesosok pria yang sangat lama tak di jumpai mereka secara nyata. Tengah di sambut dengan Zeno yang baru kali ini nampak berkobar penuh semangat. Ya, namun coba untuk menghabisi Jevin yang sudah sampai mengejan karena kesakitannya.     

"Hei, bocah! Lepaskan gigitan mu atau kau yang bisa saja menjadi kanibal karena gigi mu hampir saja merobek kulit ku."     

"Jevin?"     

"Nath, cepat suruh bocah ini melepaskan tangan ku!"     

"Papa mengenalnya?" tanya Zeno dengan suara datarnya yang sudah kembali. Mereka kini sudah duduk di atas sofa, sementara bocah yang masih menghunuskan tatapan tajamnya pada Jevin itu masih betah berdiri. Ia merasa cemburu, saat mendapati papanya malah bantu mengusap lengan penjahat yang di beri pelajaran detik lalu.     

"Tentu, dia adalah adik papa, yang secara otomatis adalah paman mu, sayang."     

"Aku tidak mau punya paman seperti dia! Tampangnya menyeramkan, dia pasti jahat!"     

"Zeno... Zen...!"     

Pandangan pertama yang di dapatkan oleh Zeno, membuat bocah itu berkesimpulan demikian. Bahkan mengabaikan Nathan yang berteriak memanggilnya untuk kembali, ia malah makin mempercepat langkah menghindarinya.     

Jevin yang masih tak sangka dengan kesimpulan konyol bocah itu, malah kemudian menjadi kekanakan saat tiba-tiba saja ia merasa menyesal karena sempat menjaga bocah itu sepenuh hati sewaktu masih bayi. Lihatlah balas yang di dapatkannya sekarang! Secepat itu orang mudah berubah, membuat Jevin lantas berdecih saat mengingat kejadian detik lalu yang membuatnya makin kesakitan dari dalam.     

Nathan yang jelas merasa tak enak dengan Jevin yang datang tiba-tiba dan menyaksikan dirinya bertekuk lutut di hadapan pria yang pernah di ikrarnya tak akan sudi untuk kembali menjalin kasih.     

"Aku akan mengurus anak kita, sayang. Entah permainan apa yang dia lakukan sampai membuatnya basah kuyup dengan jejak lumpur mengotori rumah kita ini."     

Max memang tanggap untuk segera beranjak pergi dan menyisihkan tempat untuk Nathan dan Jevin berbincang. Namun tidak dengan ucapan yang menjelaskan kepemilikan yang tak bisa di ganggu gugat. Semuanya sudah menjadi milik Max.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.