Hold Me Tight ( boyslove)

Keberadaan Zeno



Keberadaan Zeno

0"Ya, bukankah dia tumbuh menjadi bocah yang sangat menggemaskan?"     
0

"Juga sangat posesif. Heran saja, kenapa dia bisa terlihat begitu menempel dengan Max?" timpal Lea menyahuti Nathan.     

"Karena anak kecil mengetahui ketulusan kita, Le. Mungkin saja bocah itu menangkap cara Max memperlakukannya, dan dia merasa nyaman." Sementara Anjas yang sejak awal menjadi pengamat, menyimpulkan serupa saat mendapati sosok bocah yang begitu menggemaskan itu.     

Ia yang memang tak mengerti sedikit pun kisah yang tak sengaja terdengar olehnya hari ini, rasanya turut merasa bahagia karena mantan kekasih terindahnya itu menemukan kebahagian barunya. Max bersama dengan Nathan, bukankah memang sangat indah dengan sosok mungil yang mereka rawat bersama?     

"Bagus sekali kalau begitu. Jadi, kalian tak perlu mencemaskan tanggapan dari bocah itu, kan?" Lea yang berpikiran serupa dengan sang kekasih.     

"Sayangnya sampai sekarang, kami belum memberitahunya."     

Nathan tak mengerti tentang bagaimana ia harus memulainya, memberitahukan hubungannya dengan Max, pada Zeno yang masih terlalu dini untuk bisa mengerti.     

Setelah mengantarkan Lea dan Anjas ke bandara, Nathan masih saja di sibukkan dengan pemikirannya mengenai hal itu. Ia tak ingin terdahului kecurigaan Zeno yang bisa saja mendapati kemesraannya dengan Max yang terlalu intim. Ia tak ingin menjadikan sosok bocah itu sebagai hal yang remeh hingga ia yang tak perlu untuk memberitahukan. Malah sebaliknya, Zeno adalah segalanya untuk Nathan. Karena hal ini, ia tak ingin membuat Zeno merasa kecewa nantinya.     

Dan pastinya Max yang selalu tahu pemikirannya, selalu datang untuk coba menenangkan. Meski pun setelahnya ada niatan yang jauh lebih besar di lakukannya dengan terang-terangan.     

Lihatlah bagaimana kedua lengan berotot itu merangkulnya dari belakang saat ia sedang sibuk berkutat di meja dapur. Bahkan bukan sesederhana itu, jemari panjang milik Max yang seperti coba untuk menyusup masuk ke dalam tubuhnya, membuat Nathan sedikit menggeliat protes karena merasa terganggu. Ya, meski pun bagian jalang dari dirinya yang malah menyandarkan tubuhnya pasrah.     

"Pa... Papa..." Sebuah panggilan membuat Nathan tersentak. Begitu kelimpungan mengikis jaraknya bersama dengan Max yang masih saja bebal. Pisau miliknya sudah terlempar jauh, untung saja tak meleset untuk menghunus Max yang begitu tak tahu kondisi genting.     

"Ya, sayang..." sahut Nathan sembari menggeram kesal pada Max yang malah tersenyum girang, seolah memang ingin menunjukkan kemesraan keduanya pada Zeno.     

"Max... Menyingkirlah dari ku!"     

"Aku mau menggambar, dimana pensil warna ku, pa?"     

Nathan benar-benar terkejut, jantungnya seperti langsung saja jatuh ke lambung saat suara Zeno yang tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di pendengarannya.     

Untung saja Max tak terlambat sadar diri, langsung beringsut menjauh dari dekapannya pada Nathan sampai detik lalu.     

"Apakah kau lupa menyimpannya? Bisanya kau meletakkannya rapi di dalam laci mu kan, Zen?" jawab Nathan dengan napas tersengal seperti habis lari maraton. Pandangannya lantas melirik Max, yang seperti tak bersalah dengan raut wajah girang yang seperti tak lelah untuk tunjukkannya.     

"Tapi aku tak menemukannya, pa..." rengek Zeno yang sekaligus merasa perhatian Nathan tak sepenuhnya pada pembicaraan mereka.     

"Apakah kau mau paman bantu cari kan?" sela Max yang menjadi sangat tanggap.     

"Ehm... Tidak usah, deh! Kelihatannya paman sibuk membantu papa untuk menyiapkan makan malam. Aku akan mencarinya sendiri," timpal Zeno saat mendapati bahan-bahan masakan masih dalam kondisi mentah. Jujur saja, bocah itu rupanya sudah sangat lapar.     

"Pa, aku akan mengecek kamar papa juga, ya!" izin Zeno yang kali ini berjalan jauh lebih santai, kembali ke lantai atas.     

"Baiklah..."     

"Dia pintar sekali, memahami kesibukan orang tua," ucap Max yang setelahnya mencari perhatian dengan mencuri kecupan di pipi Nathan.     

"Kesibukan? Apa yang sibuk dari mu?" kesal Nathan yang setelahnya menolehkan setelah kepalanya untuk bertatapan dengan Max. "Kenapa kau malah cengar-cengir?"     

"Jadi, kau menganggap aku sebagai orangtua untuk Zeno, juga?"     

"Max..." panggil Nathan dengan nada suara khasnya saat ia tak bisa memberikan balasan pada ucapan Max yang selalu saja menemukan titik untuk menjebaknya.     

"Nath... Kau pria yang sangat multitasking, selagi memasak, bagaimana kalau satu ronde?"     

"Dasar sinting! Menyingkir dari ku!"     

Max mulai lagi dengan kedua lengannya yang menggerayah, membuat Nathan yang kesal, menyaduk rusuk pria jangkun itu sebagai pelajaran.     

Hidangan pun selesai tak berapa lama setelahnya. Max yang di titah untuk berjarak sedekat-dekatnya satu meter, lantas meloncat dari meja dapur kemudian memberikan kecupan sayang di bibir Nathan. Yang setelahnya tak lupa bantu memindahkan masakan lezat milik Nathan ke meja makan.     

"Bagaimana, sayang? Apakah kau mendapatkan pensil warna mu?" tanya Nathan saat Zeno yang akhirnya bergabung dengan mereka di meja makan.     

"Ternyata ada di kamar papa, kemarin aku kan menggambar di sana."     

"Oh, baguslah. Tapi sekarang lupakan dulu acara menggambar mu itu, makan malam sudah siap..."     

"Pa, apakah aku boleh bertanya sesuatu?" raut Zeno yang nampak begitu serius membuat gerakan tangan Nathan yang menyentong nasi ke piring ke tiganya terhenti.     

"Tentang apa?"     

"Siapa wanita yang ada di dalam ponsel ini? Apakah dia mama ku?"     

Nathan menjatuhkan cekalannya pada centong nasi, perhatiannya terarah penuh pada sebuah ponsel yang keluar dari punggung belakang Zeno. Itu adalah Lisa.     

Sementara lain halnya dengan keberadaan dua orang pria yang tengah berada dalam rencana liburan mereka. Di katakan harus bahagia karena hal ini adalah yang mereka idam-idamkan dari lama, namun nyatanya tak sesuai dengan realita yang di tunjukkan melalui mimik wajah salah satu dari mereka.     

"Aii, apa yang kau lamunkan?" Seorang pria mungil datang, langsung memberikan dekapan hangatnya dari belakang, menyentak lamunan pria bernama Ilham itu.     

"Tiba-tiba saja aku merindukan wanita itu, Ri..." ucap Ilham yang berkata sejujurnya. Ya, waktu memang membuat mereka belajar banyak tentang sebuah hubungan. Nyatanya sama halnya dengan Nathan dan Max, baik Rian atau pun Ilham masih bergantung satu sama lain.     

"Sudahlah, dia sudah tenang di alamnya sana," ucap Rian tulus, berusaha untuk menenangkan Ilham yang memang lebih pendiam akhir-akhir ini.     

"Tapi di dalam hati ku masih begitu mengganjal, Ri. Seperti tak bisa tenang bahkan saat aku mencoba begitu keras untuk menghilangkan dirinya dari benak ku."     

"Apa aku tak cukup di sini?"     

"Oh ayolah... Apa kau cemburu?"     

"Tidak, buat apa aku cemburu pada mendiang wanita malang itu?" sahut Rian yang merasa tertarik miris pada kejadian beberapa tahun silam. Ia yang menjadi sebab secara tak langsung hilangnya harapan hidup seseorang, bahkan tak bisa memperbaiki kesalahannya, karena yang terjadi adalah kecelakaan yang melenyapkan nyawa seorang wanita yang saat itu tengah hamil. "Atau mungkin saja, dia datang dalam ingatan mu untuk memberikan pesan?"     

"Apa?"     

"Kau mengabaikan begitu saja seolah segalanya berjalan dengan normal. Sampai-sampai kau melupakan hasil dari perbuatan mu, Aii... Apakah setidaknya kau tidak penasaran dengan wajah seseorang pria yang hadir dari benih mu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.