Hold Me Tight ( boyslove)

Bagaimana arti sebuah keluarga?



Bagaimana arti sebuah keluarga?

0Nathan memberenggut, saat Max dan Zeno nampak sibuk dengan interaksi mereka yang sefrekuensi. Sementara dirinya yang seperti tak bisa menyela pembicaraan akibat ketidakpahamannya sejak awal mengenai hobi mengagumkan anaknya itu, membuat Nathan memilih untuk mengasingkan diri.     
0

"Mau kemana?" tanya Max saat menyadari Nathan beranjak dari tempat duduknya di sisi lain ranjang.     

"Ke dapur, aku ingin buah. Apakah kalian juga?"     

"Aku jelas tak mau, papa..." sahut Zeno yang membuat Max tercengang.     

"Zen... Buah baik untuk kesehatan, loh!"     

"Tapi aku tak menyukainya, paman... Kebanyakan rasanya asamnya membuat ku tak suka. Lebih baik aku titip bawakan kue saja, pa."     

Ya, sifat dan kegemaran Zeno mengingatkan Nathan akan sosok kawannya yang di rindukan. Sejenak membuatnya mengharu biru, sampai akhirnya Max yang sedikit memahami memberikannya kode mata menanyakan kondisinya.     

Nathan pun menggidikkan bahu, lantas mengukir senyum tipisnya pada Max.     

"Papa akan menuruti mu kali ini, tapi lain kali... Kau harus mencoba untuk memakan buah, sayang..." bujuk Nathan yang sedikit pun tak mendapatkan tanda-tanda kesanggupan dari Zeno.     

"Bilang pada papa kalau kau akan melakukannya, Zen..." Sampai akhirnya Max yang turun tangan, menangkap bocah mungil yang masih sibuk dengan pensil warnanya. Membuat bocah itu terkikik geli, Max menggelitik Zeno.     

"Hahah... Baiklah pa, aku akan mencobanya besok. Haha... Paman, lepaskan..!"     

Nathan makin melebarkan senyumnya saat mendapati interaksi Max dan Zeno yang begitu dekat. Bahkan saat kehadirannya sudah tak di tempat untuk mengawasi, suara tawa bahagia itu masih mengikuti langkah Nathan.     

Sampai hilang di telan jarak, Nathan yang sudah berada di lantai dasar dengan kesibukannya menyiapkan buah, sampai akhirnya harus terhenti karena suara bel pintu.     

Nathan pun langsung saja mendengus kasar, prasangka penuhnya mengarah pada tetangga sebelah yang tak tahu diri dan sering merampok bahan belanjaannya. Terlebih saat ini adalah akhir pekan, mungkin saja Tommy beralasan konyol untuk merampok uang Max.     

Namun nyatanya tak terbukti saat akhirnya Nathan memilih membuka pintu. Bukan sebuah senyum seringai bodoh yang menyambutnya, melainkan dua sosok yang salah satunya lebih menyeramkan dengan tatapan tajamnya.     

"Kau kemari?"     

"Karena Max ada di sini," balasan singkat yang begitu terdengar sengau di pendengarannya, membuat Nathan mengusahakan raut wajahnya tak menampakkan hal sama.     

Dia adalah Lea, bersama dengan pria yang pernah memiliki status istimewa dengan Max.     

"Hei, ku harap kau masih mengingat ku."     

"Anjas, kan? Aku masih ingat, kok!" sahut Nathan yang berpaling sepenuhnya pada pria yang berlesung pipi itu. Membuat Lea yang merasa terabaikan atau mungkin terlalu cemburu dengan interaksi ringan antara Nathan dan Anjas, membuat wanita itu menyela.     

"Apakah kami boleh masuk?"     

"Silahkan."     

Nathan membuka jalan, mempersilahkan satu pasang kekasih itu memasuki rumahnya lebih dulu.     

Setelahnya ia pamit undur diri pada Lea dan Anjas yang sudah duduk nyaman di atas sofa, berniat memanggil Max untuk turun melayani.     

"Tumben sekali kalian mendatangi ku, ada apa?"     

"Kami ingin pamit."     

Nathan yang baru sampai dengan minumannya, tiba-tiba saja di kejutkan dengan jawaban Lea yang begitu singkat. Beringsut perlahan, dan menempati posisi di samping Max.     

"Rencana berlibur?" tanya Max dengan raut wajah datarnya.     

"Ku rasa aku akan menetap di Paris, mengikuti Anjas."     

"Rupanya kalian benar-benar serius, turut bahagia mendengarnya. Tapi kenapa jauh sekali?"     

"Anjas kerja di sana, dan ku rasa juga akan sangat menarik tinggal di kota asing seperti itu."     

Hanya Max yang mungkin saja menangkap raut wajah sekilas mendung dari Lea. Mereka yang sudah bersama dengan banyak bertukar kisah, rasanya jauh lebih menghafal perilaku satu sama lain walau berusaha menutupnya sekali pun.     

Nyatanya Lea memang masih menyimpan kesedihan saat keterlibatannya dengan sosok penghancur hidupnya jelas tak bisa terputus sepenuhnya karena keterikatan hubungan sampai akhir hayat. Bagian yang melibatkan wanita itu menjadi salah satu anggota keluarga yang sedikit pun tak di harapkannya.     

Mungkin juga bercampur aduk dengan haru karena setelah sekian lama ada yang menarik wanita itu untuk pergi dari lingkaran yang menekan hidupnya. Max benar-benar merasa terharu, sampai-sampai menarik kawannya itu untuk di peluknya erat.     

"Aku yakin, perlahan segalanya akan membaik untuk mu," bisik Max yang begitu tulus untuk Lea. Nathan yang mendengarnya, merasa turut terharu dengan persahabatan keduanya.     

"Ku harap juga begitu."     

"Paman? Tidak, tidak boleh ada yang menyentuh paman Max ku."     

Sebuah teriakan di sambut tapak alas kaki yang beradu dengan lantai, membuat keempat orang dewasa itu mengalihkan pandangan pada sumber suara.     

Zeno berlari dari pertengahan anak tangga, membuat Nathan yang begitu khawatir lantas bangkit dari tempatnya. Namun tahu-tahu saja ia terlewati, Zeno yang berlari begitu kencang, lantas melemparkan tubuh kecilnya ke dalam rangkulan Max.     

"Pergi sana!" imbuh Zeno yang terlihat bersungut menatap Lea.     

"Zeno..." Nathan pun coba memperingati sang anak untuk bersikap lebih sopan.     

"Hei, sayang... tenanglah... Dia adalah teman ku," tambah Max yang menjelaskan. Sedikitnya, Zeno nampak masih tak mempercayai dengan raut wajah berkerutnya itu.     

"Tapi dia tak akan merebut paman Max dari ku, kan?"     

"Haha... Kenapa aku harus merebut pria berwajah datar itu jika aku sudah mendapatkan yang jauh lebih manis, anak kecil..." Lea yang berganti menyela. Lantas menarik Anjas dengan malu-malu untuk di genggamnya.     

"Benarkah?"     

"Lea, perkenalkan juga Anjas, dia adalah kekasih ku."     

"Kekasih?"     

"Lebih tepatnya, wanita cantik yang merupakan kawan paman kesayangan mu ini akan menjadi istri ku," lanjut Anjas yang membuat Lea semakin bersemu merah.     

"Seperti kalian yang akan hidup bersama di sebuah rumah dengan anak kecil yang di rawat?"     

"Ehm... Ku rasa semacam itu."     

"Bukankah itu seperti kita bertiga pa? Aku, papa, dan juga paman Max?"     

Keempat orang dewasa itu pun tercekat dengan kesimpulan cepat Zeno. Namun masih tak di pahami sedikit pun dari mereka yang menangkap pemahaman bocah itu yang seperti menyamaratakan dua kasus berbeda.     

Dua pasang kekasih yang merupakan perwujudan dari perbedaan, Lea dan Anjas yang normal terlihat, atau seperti Max dan Nathan yang terkesan tabu yang di anggap sama saja oleh Zeno? Atau yang lebih buruk, apakah bocah itu mengkode Nathan dengan gambaran sebuah keluarga yang dimengertinya?     

"Dari pada menggambar pemandangan, saat ini aku malah lebih ingin menggambar sebuah keluarga kecil. Paman, turunkan aku..."     

Bahkan Zeno nampak begitu bersemangat dengan rencananya. Kembali melangkahkan kaki kecilnya menggaris titik kedatangannya semula.     

"Bukankah itu anak dari mendiang kawan mu yang telah meninggal, Nath?" tanya Lea yang begitu penasaran. kenyataannya memang seperti itu, namun saat melihat rupa bocah mungil yang seperti perwujudan Nathan membuat wanita itu sedikit mempertanyakan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.