Hold Me Tight ( boyslove)

Rencana mahal Max



Rencana mahal Max

0Perlahan, semakin cepat hingga suara benturan tubuh keduanya menambah irama erotis selain dari pada raungan desah keduanya yang saling menikmati.     
0

Keringat di tubuh keduanya lantas mengucur deras, seimbang dengan pergerakan yang semakin gencar. Max memposisikan tubuh Nathan meliuk dengan memeluknya erat, bergerak makin gila-gilaan. Nathan yang terus di gempur dari bagian bawah hampir saja membuatnya melupakan cara untuk bernapas. Namun di sisi bersamaan seperti membangkitkan sisi liarnya untuk bergerak berlawanan.     

"Max...  Akshh... Ishh... Jangan membuat ku malu..." mohon Nathan saat mendapati Max yang menyeringai saat dirinya begitu bersemangat mengejar kepuasan.     

"Hei, jangan cegah aku yang memang jatuh pada pesona mu."     

Plakkk     

"Ahh-Ahh..." Nathan mendesah makin kencang, merasakan panas di bokongnya yang pastinya meninggalkan cap merah tapak tangan Max.     

Bukan menjadi pelepasan terakhir saat Nathan yang akhirnya menggelinjang dengan spermanya yang terbuang sia-sia mengenai kemeja Max yang harusnya masih rapi.     

Max yang rupanya masih begitu perkasa, lantas menggiring Nathan mencapai spot baru. Menjadi yang paling gila saat pemandangan kota dari atas ketinggian gedung perusahaan Adikusuma menjadi saksi penyatuan mereka setelah sekian lama. Berkali-kali, seolah tak ada lelah untuk keduanya saling mengagumi.     

Nathan bangun dari tidurnya, merasakan tubuhnya yang begitu remuk saat sedikit saja ia coba peralihan.     

Sebuah lengan yang turut mendekapnya terlalu erat, membuat Nathan sedikit menggeram kesal, meski setelahnya sudut bibirnya malah berkedut, memaksa untuk menarik senyum.     

Bahkan tubuh atasnya yang sudah setengah bangkit kembali di jatuhkan. Beringsut mengalihkan posisi baringannya, menatap Max yang masih pulas.     

Max nampak sangat mengagumkan walau dengan tidur pulasnya sekalipun. Napasnya yang beraturan bahkan seperti sebuah irama yang memasuki pendengarannya. Bahkan lengan Nathan yang kali ini begitu gemas untuk mengusap surai kecoklatan milik Max yang akhirnya berantakan.     

"Bagaimana kau bisa membuat ku seperti ini, Max? Bahkan aku seperti sudah tertawan oleh mu," lirih Nathan sembari mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah pulas itu. Sedikit haru di rasakannya, saat mendapati perjuangan pria itu selama bertahun-tahun dan kembali masih dengan cinta yang utuh untuk di persembahkan kepadanya.     

Bahkan mengingat percintaan mereka yang baru selesai beberapa jam lalu, merasakan betapa tergila-gilanya Max kepadanya. Seolah ingin menetapkan hari penuh untuk keintiman mereka, sampai-sampai menyisihkan Zeno sekejap untuk tak berada di samping mereka.     

Senyum Nathan terukir dengan begitu lebarnya, masih tak habis pikir tentang cara keluarga Max memberikan bujukan pada Zeno yang nyatanya berhasil.     

Drtt     

Sebuah dering ponsel di atas nakas membuat Nathan dengan keterpaksaan beranjak dari atas baringan nyamannya. Mendudukkan tubuhnya yang masih telanjang, mengambil ponsel miliknya yang layarnya telah menyala.     

Sebuah pesan di sana, dengan kontak tersimpan yang membuat senyum Nathan terbit semakin lebar.     

"Di sana pasti sudah pagi. Nath, kapan jarak dan waktu ini hilang dari kita?"     

"Aku merindukan mu."     

"Apakah kau masih tidur?"     

"Jangan katakan kalau kau sedang ada masalah!"     

"Nath.... Aku ingin pulang... Ku abaikan pekerjaan ku saja, ya?"     

"Aku mulai mengantuk, di sini sudah larut malam. Dan kau masih tak menjawab pesan dari ku."     

Pesan beruntun dari Jevin berakhir lima menit yang lalu. Rengekan yang sama tentang perpisahan mereka karena keadaan, membuat Nathan turut merasa miris. Adiknya itu berjuang terlalu keras untuk mewujudkan impian sang bunda yang sudah tenang di alamnya.     

"Ku harap kita bisa bertemu secepat mungkin. Aku ingin bertukar kebahagiaan dengan mu, Jev. Ya, dan ku harap kau bisa secepatnya melihat Zeno yang malu-malu."     

Itulah pesan balasan yang di ketikkan oleh Nathan, di panjatkan penuh dengan harap supaya takdir benar-benar mengutuhkan kebahagiannya bersama dengan orang-orang tercinta.     

Hari libur di manfaatkan Nathan dengan baik. Semangat menggebu di dalam dirinya, seperti mengalahkan habis keremukan sekujurnya.     

Membersihkan tubuhnya yang begitu lengket terlebih dahulu. Memungut setelan pakaiannya bersama dengan Max yang berserakan di lantai kamarnya, lantas melemparkannya ke mesin cuci.     

Max nampaknya masih pulas dengan tidurnya, sementara Nathan yang kali ini sibuk berkutat di dapur untuk makan siangnya.     

Namun bunyi bel pintu rumah membuat gerak cekatan Nathan terhenti. Melangkahkan kakinya untuk mempercepat datangnya ke pintu masuk, awal perkiraan serta penyambutannya yang begitu berlebihan saat nyatanya bukan Zeno yang datang, melainkan seorang pria dewasa yang menampilkan cengiran mengesalkannya     

"Piuwit! Kawan ku seksi sekali mengenakan apron..."     

Segera saja Nathan menentang tulang kering milik Tommy. Menambah olokan tanpa rasa bersalah saat pria itu meringis kesakitan.     

"Rasakan, seenaknya saja mulut mu berbicara."     

"Hei, apakah kau tak mengerti bahasa? Aku sedang memuji mu, Nath."     

"Aku tak butuh pujian mu, karena dari pada menangkapnya demikian, aku malah merasa jika kau tengah meledek ku."     

"Sayang... Ada apa?"     

Tommy dan Nathan yang tengah berdebat di ambang pintu, lantas di kejutkan oleh kedatangan Max yang tiba-tiba saja datang menyela dengan tubuhnya yang mendekap mesra sang kekasih.     

"Tommy meledek ku karena mengenakan apron, Max... Aku kesal sekali."     

Nathan yang mengadu, sementara Max yang bertambah gemas atas rengekan sang kekasih membuatnya mendaratkan kecupan di leher menambah bekas kemerahan di sana.     

Tommy yang melihat kemesraan dari Nathan dan Max, membuatnya yang seperti teriris karena merasakan keirian atas sikap romantis keduanya.     

Membuatnya seperti tak betah untuk menjadi penonton di antara dua orang kasmaran itu, lantas mendorong sebuah kotak ke dalam pelukan Nathan.     

"Apa ini?" tanya Nathan kebingungan, karena dalam sejarahnya, tak pernah sekali pun Tommy repot-repot memberikan barang kepadanya.     

"Masakan dari mama ku."     

"Oh, benarkah? Apa mama mu merindukan ku?" tebak Nathan saat mengulang memori tentang seberapa seringnya ia dulu bermain di rumah kawannya itu.     

Namun gelengan kepala Tommy membuat Nathan malah mengernyitkan dahi.     

"Lantas, ada acara apa?"     

"Sekedar rasa terimakasih satu keluarga ku untuk mu dan juga Max. Karena berkat kau yang merupakan kawan dekat ku ini, berjumpa dengan pria dermawan yang begitu sempurna seperti Max."     

"Aku masih tak mengerti."     

"Hei, aku akan menjadi tetangga mu, Nath... Ini berkat suami mu yang memberikan ku bantuan sebegitu besarnya. Bahkan seperti mendapatkan bonus, dua asisten rumah tangga yang bantu membersihkan rumah baru itu pun juga sangat berguna untuk ku."     

Jelas saja Nathan tercengang, membalikkan pandangannya pada Max untuk menuntut jawaban dari sang kekasih yang nampak tenang seperti biasanya.     

Sungguh, sedikit pun ia tak mempersalahkan biaya yang jelasnya sangat besar yang di keluarkan oleh Max. Namun yang membuatnya tak lebih habis pikir adalah karena sangkaannya yang menghubungkan. Pantas saja dua asisten rumah tangganya tak lekas kembali dari izin yang di beritahukan. Nyatanya sebuah pengaturan yang telah di rancang dengan begitu sederhana oleh Max. Ya, hanya untuk bisa memiliki waktu pribadi bersama dengannya?     

"Tommy adalah kawan kita yang sangat berjasa, sayang."     

Ya, rasanya jawaban itu jauh mengharukan untuk di dengar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.