Hold Me Tight ( boyslove)

Berusaha menjadi alasan bahagia



Berusaha menjadi alasan bahagia

0Ya, mungkin memang Nathan sedang merasa cemburu. Max yang sudah begitu intim dengan wanita berkedok melebihi batas pertemanan, terlebih parah keduanya seperti tak bisa terpisahkan satu sama lain walau saling tahu sifat busuk masing-masing.     
0

Namun ia yang datang pada pertengahan, apakah sopan mengobrak-abrik masa keterikatan Max dan Lea yang sudah sangat lama terjalin? Menjadi seseorang yang berpikiran kolot, atau bahkan dirinya yang masih mengisahkan banyak keresahan negatif di benak, rasanya Nathan harus menghilangkan keburukan itu terlebih dahulu jika menginginkan hidup tentram, kan?     

Nathan mencintai Max, rasanya tak perlu di jelaskan tentang awal mula benih-benih cinta itu mulai tumbuh, bahkan ia pun seperti tak menyadarinya. Entah karena ego tingginya yang terus menyangkal, atau memang karena perasaannya dulu yang masih belum begitu kuat.     

Dari proses, jelas Nathan menginginkan yang terbaik. Tak menunggu hasil baik yang datang mengimingi terlebih dahulu, perbaikan diri untuk menjadikan kebahagian yang datang nantinya layak di tujukan padanya, rasanya menjadi hal yang begitu baik. Ada titik pengorbanan dan perjuangannya jika tarik mundur. Ya, Nathan ingin berubah, yang pertama di lakukannya adalah berdamai dengan diri sendiri. Menerima takdir kebahagian terlewatnya yang jauh dari kata cukup, serta mendokrin pemikirannya jika ia bisa menjadi alasan orang lain untuk setidaknya mengulas senyum tipis.     

"Selamat pagi sayang... Apakah tidur mu nyenyak?" sambut Nathan dengan begitu sumringah. Membungkukkan tubuhnya, lantas mendaratkan kecupan di dahi milik Zeno yang rupanya masih menguap dengan telapak tangan kecilnya yang mengusap mata.     

Hanya menanggapi Nathan dengan segaris senyum, lantas beralih menempati meja makan dengan kepalanya yang di jatuhkan di sana.     

Nathan yang menatapnya jelas saja merasa gemas dengan Zeno yang nampak berusaha membuka matanya yang terpejam. Mendapatkkan pasokan penyemangat yang mengawali hari, senyum Nathan pun terukir dengan begitu lepas pagi ini. Sementara Max yang melangkahkan kakinya mengambil posisi Zeno sesaat lalu, masih menunggu sambutan yang sama seperti yang di dapatkan percuma oleh bocah itu.     

"Sekarang giliran ku," ucap Max sembari menyodorkan wajahnya yang tak pantas di buat menggemaskan.     

Nathan pun terkikik geli, tanpa di sangka oleh Max saat secara tiba-tiba saja dirinya menakup rahang pria jangkun itu. Menekannya kencang, sampai membuat bibir tipis milik Max berkerut. "Kau tak pantas manja seperti ini."     

Sementara Max yang membatu saking terpesonanya. Wajahnya yang benar-benar maskulin, tiba-tiba saja lenyap saat telapak tangan Nathan yang menakup rahangnya itu terlepas, mulutnya setengah terbuka.     

"Apakah kau tak bosan menggunakan warna kemeja yang sama?"     

"Huh?"     

"Bukankah rumah mu begitu menempel dengan milik ku? Apakah kau tak berniat untuk mengunjungi rumah mu yang sangat dekat itu sesekali?" bujuk Nathan sembari telapak tangannya yang mengusap setelan rapi yang sehabis kering di cuci itu.     

"Tidak boleh! Paman Max tidak boleh pergi dari sini. "     

Max yang masih mencoba menangkap ucapan Nathan, sementara pendengaran Zeno yang tajam pun langsung saja menimpal balas dengan raungan protesnya.     

Seakan menjadi bergas, bahkan bocah itu melompat dari kursinya, dan secepat kilat bergelayut manja di kaki Max. "Papa tidak boleh mengusir paman Max, jika papa tak mengizinkan paman yang sesekali tidur di kamar papa... Maka biarkan saja paman Max tidur dengan ku saja selamanya."     

Max mengangkat Zeno ke dalam gendongannya, mendapatkan dukungan yang tak terelakkan, membuat pria berparas oriental itu menampilkan gurat penuh kemenangan.     

"Aku tidak berniat mengusir Max, sayang... Hanya saja sesekali paman Max harus menengok rumahnya yang menjadi terbengkalai, kan?" timpal Nathan sembari alisnya yang berkerut. Zeno mengatakan jika dirinya menyediakan tempat seluasnya untuk Max, sementara kalimat lanjutan bocah itu membuat Nathan tercekat. Apakah Zeno menyadari Max yang seringkali menyusup paksa ke ruangannya? Yang lebih parahnya lagi, apakah anaknya itu pernah memergoki mereka bermesraan?     

Nathan belum mempunyai cara untuk memberitahu Zeno mengenai hubungannya dengan Max. Memang bocah itu nampak sangat menyayangi pria berparas oriental itu, namun dalam status yang mengikat lebih intim, ia masih sedikit ragu jika Zeno kecil dapat memahami perbedaan.     

"Awas saja jika papa berani memisahkan ku kembali dengan paman Max." Bahkan Zeno yang kembali mempertegas peringatannya saat mereka bertiga sudah berdiri berjajar di depan gerbang sekolah.     

Nathan pun menyanggupi, lantas membungkukkan setengah badannya ketika lengan kecil Zeno menariknya. Tiga kali kecupan di kedua pipi dan dahi Nathan pun di balaskan serupa. Jelas menjadi perbincangan tersendiri dari mereka yang memperhatikan, saat Max yang rupanya mendapatkan kasih sayang yang sama.     

Zeno pun beranjak pergi sembari melambaikan tangan, meninggalkan Nathan serta Max yang di sasar dengan tatapan mata menyipit tajam dari beberapa wali murid.     

"Menurut mu, apakah Zeno mengharapkan keluarga seperti kebanyakan yang di lihat?" tanya Max, membuat Nathan yang mempertanyakan sama pun menggidikkan bahu.     

"Entahlah, namun yang ku tahu, saat ini Zeno mulai menggambar aku dan kau yang menggenggam tangannya."     

Max yang rupanya mendapati hal serupa, membuat raut wajahnya mengurai senyum. Tanpa mempedulikan mereka yang terlalu menjadi pemerhati, Max bahkan menggenggam tangan Nathan dengan begitu erat. "Percayalah, aku juga mencemaskan hal yang sama saat prasangkanya tentang sebuah keluarga normal tiba-tiba saja di temuinya berbeda dalam kehidupannya."     

"Tapi ku rasa kasih sayangnya pada mu tak akan membuatnya berubah kalau pun dia tak bisa menerima hubungan kita," sahut Nathan yang nada suara teduhnya.     

Hanya saja Max yang seperti sulit untuk serius, malah menarik Nathan masuk ke dalam mobil, begitu saja mengungkungnya menempel di pintu. Wajah yang begitu dekat seolah tak berjarak, membuat Nathan menahan napas dalam beberapa detik. "Kalau dengan kasih sayang mu pada ku, bagaimana?" goda Max sembari mengerlingkan mata.     

"Apa?"     

Max pun memberenggut saat mendapati nada tanya yang begitu singkat dari Nathan.     

Beranjak menggenggam tangan Nathan, lantas memberikan kecupan di punggung tangan kekasihnya itu.     

"Selain berselisih paham, bukankah kita tak pernah membicarakan tentang cinta?"     

"Kenapa tak kau jelaskan lebih dulu tentang perubahan sikap mu yang berubah manja ini?" Sahut Nathan yang berganti mempertanyakan.     

Sedikit membuat Max tak terima karena pengalihan topik dari Nathan. "Karena aku yang begitu menggilai mu. Rasanya sangat nyaman berada di dekat mu, untuk itu aku tak ingin menjadi kaku seperti yang orang lain lihat," jeda Max, yang kemudian menakup rahang milik Nathan. "Giliran mu menjawab pertanyaan ku. Singkat saja, apakah kau mencintai ku?"     

"Kalau tak begitu, kenapa aku perlu berbaik hati untuk mengizinkan mu mendekati anak ku?" Nathan mencicit, berniat mengalihkan menyembunyikan wajahnya yang merah padam.     

Sementara Max yang menangkap artian dari ucapan Nathan yang jual mahal, tanpa basa-basi menerjang sang kekasih dalam ciuman intim bersamanya. Semakin dalam, mencampur adukkan cairan sedikit berasa manis dan saling meneguk rakus.     

Bahkan jika memungkinkan waktu, mungkin saja mobil milik Max akan berguncang di sepanjang perjalanan karena percintaan mereka. Ya, hal gila yang pernah mereka lakukan, meski kali ini hanya bisa sebatas berpangkuan dengan lengan Nathan yang bertugas menggerayah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.