Hold Me Tight ( boyslove)

Bisa menerima



Bisa menerima

0"Jadi, kalian bertiga adalah kawan lama?"     
0

"Lebih tepatnya aku adalah mantan kekasih Max," timpal seorang pria yang memiliki lesung pipi saat menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum ramah itu.     

Nathan yang mendengar kalimat yang di perjelas pria bernama Anjas itu hanya makin tertunduk lesu, meski pun Max yang jelas-jelas menggenggam tangannya erat, menunjukkan pilihannya.     

"Namun kau tak perlu mencemaskan ku, aku sudah tak ada keterikatan apa pun lagi dengan kekasih mu," imbuh Anjas yang membuat Nathan mengerutkan dahinya masih coba untuk mempercayai.     

"Lalu, kenapa kau kembali? Terlebih dengan satu ruangan yang di pesan? Kau, Max, dan Lea?" Nathan mulai mengintrogasi. Menyangka tak karuan saat segalanya mulai tersusun rapi bersama dengan barang bukti peralatan bercinta. Dua orang pria yang datang, sementara Lea yang bisa di katakan telanjang dengan dalamannya yang sedikit pun tak berhasil menutupi daerah intimnya. Rasanya tak ada yang bisa berpikiran positif saat mendapati ketiganya yang bertemu.     

Nathan yang bahkan masih tak bisa mengerti, bagaimana pria yang duduk berjajar dengan Lea yang masih saja bersikap tenang itu.     

"Aku kembali untuk Lea."     

"Huh? Apa maksud, mu?" Nathan jelas saja terkejut. Ia tahu jika ketiga orang itu berteman sejak masa sma, namun yang membuatnya lebih tak memahami, kenapa pula Anjas menggenggam tangan Lea?     

"Karena wanita cantik ini adalah kekasih ku saat ini."     

Nathan jelas saja menganga setelahnya, langkanya yang menjadi kaku hanya menuruti Max yang merangkulnya. Minuman dingin miliknya bahkan masih tak tersentuh, di tinggalkan begitu saja akibat ia yang tak lagi sanggup menerima informasi lebih banyak secara beruntun.     

Nathan begitu lelah, emosinya bahkan sudah terkuras habis. Seperti menjadi hal yang sia-sia, saat kenyataan rupanya ditanggapinya terlalu negatif.     

Sampai di rumah, Nathan bahkan langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Menyerahkan sisanya pada Max, yang sigap menjemput Zeno yang pastinya sudah sangat kesal karena terlupakan sejenak karena kepergiannya yang tiba-tiba.     

Namun rupanya hal itu masih saja terpikirkan oleh Nathan. Ia masih mengkoreksi bagian celah yang membuatnya bertanya-tanya. Dari pria yang bernama Anjas yang menyukai pria, kenapa bisa berganti haluan dengan Lea?     

"Sungguh, aku masih tak bisa memahami sedikit pun."     

"Lea dan aku sejujurnya memperebutkan Anjas dulu," sahut Max yang tiba-tiba saja menyusup masuk ke dalam kamarnya.     

Membuat Nathan bangkit dari atas ranjangnya dengan keterkejutan. "Benarkah? Lalu, kenapa kau mau berteman dengan rival mu?"     

"Karena aku yang terlanjur berteman dengan wanita itu. Kami yang terlalu mengenal luar dalam, rasanya seperti sulit untuk memisahkan diri satu sama lain."     

Max melangkah semakin dekat ke Nathan, lantas beringsut masuk ke dalam selimut milik kekasihnya. Menggiring pria itu untuk membaringkan tubuh dengan saling berpelukan.     

"Lantas, kenapa akhirnya pria itu memilih Lea? Apa karena kembali dengan mu tak ada jalan?"     

"Entahlah, itu kisah mereka. Dan aku tak coba ingin tahu lebih dalam."     

"Tapi kenapa kau seperti terlibat di antara mereka?"     

"Karena Lea membutuhkan bantuan ku." Max menjeda ucapannya, memposisikan tubuhnya miring, menghadap lurus pada Nathan yang juga menatapnya.     

"Rasanya aku belum pernah bercerita pada mu jika Lea adalah korban pelecehan seksual," imbuh Max yang membuat Nathan tercengang.     

"Apa?" tanya Nathan memastikan pendengarannya. Sedikit tak menyangka jika wanita semenyebalkan itu mempunyai kisah yang naas.     

"Sejujurnya dia takut untuk berhadapan intim dengan pria mana pun, terkecuali aku. Dia seperti tak bisa mempercayai siapa pun, bayangannya semua pria adalah penjahat untuknya."     

"Termasuk Anjas?" terka Nathan setelah mengingat sikap Lea yang berubah menciut saat pria bernama Anjas itu datang.     

"Itulah sebabnya aku ada di sana. Lea ingin memberanikan diri karena cintanya yang masih begitu kuat, namun trauma sepertinya masih belum menghilang sepenuhnya dari dalam dirinya."     

Nathan menghela napas panjang, kemudian mengalihkan posisi tubuhnya menghadap langit-langit kamar. "Entahlah, tapi dia masih saja terlihat menyebalkan untuk ku."     

"Wajar saja, mungkin itu memang caranya menunjukkan dirinya baik-baik saja di depan semua orang. Dia bahkan seringkali membuat ku muak dengan sikap egoisnya."     

Nathan pun menolehkan pandangannya pada Max, mendetail gurat wajah sempurna milik pria yang empat tahun lebih dewasa dari pada dirinya itu. "Namun kau masih saja mempedulikannya." Nathan menjeda ucapannya, lantas tertarik mundur pada bagian yang masih belum terang sampai dengan sekarang. "Waktu kau meninggalkan ku dulu, apakah karena masalah trauma Lea?"     

"Ya, aku tak mungkin membiarkannya menenggak obat-obatan terlarang."     

"Sampai separah itu?"     

"Ya, tapi aku sulit berbelas kasihan saat dia yang terus berusaha untuk mengurung ku di rumahnya."     

"Katakan pada ku, sedekat apa kalian selain saling memahami? Maksud ku, apa kalian pernah memanfaatkan satu sama lain, semisal bercinta?"     

Nathan yang tiba-tiba saja ingin mengorek lebih dalam tentang kedekatan kekasihnya dengan Lea. Keduanya sangat terlihat intim, terlebih saat wanita itu yang seperti tanpa ragu menunjukkan lekuk tubuhnya pada Max.     

"Kalau aku jujur, apakah kau tak marah dengan ku?"     

Nathan mendapatkan sinyal kurang baik dari jawaban Max. "Tergantung seberapa parah saja."     

"Tak sampai bercinta. Maksud ku... Kami hanya saling membantu saja." Max yang berubah panik, saat tiba-tiba saja Nathan berniat beranjak dari dekatnya. "Jangan marah... Ku mohon pada mu, itu sudah berlalu."     

"Apakah setelah kau berhubungan dengan ku, kau masih saling menguntungkan bersama dengannya?"     

Max terdiam, membuat Nathan yang memahami pun tersenyum hambar.     

"Nath, aku hanya ingin jujur pada mu. Ku harap kau tak akan mempengaruhi kita."     

"Hem... Ku harap juga aku bisa memahami ini semua, Max."     

Nathan lepas dari genggaman Max, membuat pria jangkun itu mencegah kepergian sang kekasih dengan merangkul erat tubuhnya. "Kau marah pada ku?"     

"Aku ingin menemani Zeno tidur."     

"Itu bukan jawabannya, sayang..." Max merengek panik. Lantas memutar tubuh Nathan menghadapnya, menakup rahang kecil yang terasa di tapak tangannya itu. "Kalau mau marah, marahi aku sepuasnya seperti tadi, jangan hanya diam seperti ini," imbuh Max sembari menatap mata sembab milik Nathan yang masih nampak begitu jelas.     

"Ku pikir memang itu sudah berlalu, tapi rasanya melihat mu dengan Lea yang masih bisa sedekat itu sampai saat ini, membuat ku tak nyaman."     

"Jadi, kau cemburu?"     

"Hufh... Terdengarnya seperti hubungan remaja saja." Nathan yang wajahnya berubah semerah tomat, berniat pergi menyingkir dari Max yang seperti tanpa rasa bersalah menertawainya.     

"Kenapa kau begitu menggemaskan dengan sikap cemburu mu ini, sayang?"     

"Kenapa malah menggoda ku? Seolah tak punya rasa bersalah, saja." Nathan memberenggut, lantas menghempas lengan Max yang menggelitik bawah dagunya.     

"Nath, tapi aku serius mengatakannya. Jika kau menginginkan ku menjauhi Lea, akan aku lakukan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.