Hold Me Tight ( boyslove)

Hanya sekedar alasan



Hanya sekedar alasan

"Ternyata kau di sini."     

Nathan menolehkan singkat pandangannya, mendapati Max yang berjalan mengendap-endap memasuki ruangannya.     

"Mau kemana lagi? Jelas aku tak mau kau yang cabul bertindak macam-macam di depan anak ku," timpal Nathan yang setelahnya terperangkap dalam dekapan Max.     

Seolah lebih percaya diri menempatkan dirinya yang di akui sebagai seorang kekasih, Max pun membalikkan tubuh Nathan untuk berhadapan dengannya.     

"Jelas aku tak sebodoh itu," sangkal Max dengan mendaratkan kecupan singkat di permukaan bibir Nathan.     

"Apakah kau melupakan bagaimana telapak tangan mu yang menyusup untuk mencengkram bokong ku?" sela Nathan yang masih merasakan bekas perih saat pria yang seperti tak ingin melewatkan sedikit pun kesempatan.     

Nathan kesal, padahal di tengah-tengah mereka ada Zeno. Meski pun bocah itu tertidur pulas, tetap saja rawan membahayakan, kan?     

Untuk itu lah, Nathan yang belum sempat terlelap pulas itu beranjak pergi. Ya, meski pun juga karena gangguan dering ponsel yang membuatnya terganggu.     

Max yang tak mempunyai alasan yang baik untuk menyelamatkan posisinya, hanya memilih menarik kedua sudut bibirnya dengan bahu terangkat ringan. "Bagaimana kalau kita melanjutkan tidur? Hari masih begitu pagi, dan aku yakin kau juga masih mengantuk, kan?" tawar Max sembari  menyentuh bawah mata Nathan yang menggelap.     

Namun meski pun begitu, Nathan menolaknya dengan menggelengkan kepala. "Kau tidur lagi saja."     

"Kau?"     

"Aku perlu mengoreksi pekerjaan ku."     

"Perlu bantuan?"     

"Tidak, aku bisa melakukannya sendiri," timpal Nathan yang segera di pahami oleh Max.     

Sekali lagi, pria jangkun itu pun mendaratkan kecupan di beberapa titik wajah Nathan sebelum beranjak pergi.     

"Max." Sampai di ambang pintu, tiba-tiba saja Nathan memanggilnya. Membuat pria itu mengangkat satu alisnya saat mendapati Nathan yang melipat tangannya di dada itu nampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.     

"Perlu bantuan?"     

"Ehm... Tidak. Aku hanya ingin bertanya pada mu, apa nanti siang kau ada waktu?" Max yang tersenyum girang, rupanya pertanyaan singkat Nathan terlalu di tanggapi macam-macam oleh pria yang mengerling mesum padanya itu. "Ehmm... Kau jangan salah paham, maksud ku tentang yang kemarin. Kau tahu jika mereka memberi alasan pada Zeno jika kita akan memberikannya kejutan, kan?" Buru-buru, Nathan memperjelas maksudnya.     

"Ah ya, aku mengingatnya."     

"Lalu, bagaimana rencananya?" lanjut Nathan yang kali ini berubah semangat.     

"Aku lupa mengatakan pada mu, hari ini aku ada urusan penting. Jadi... Bisakah kau menanganinya sendiri?" balas Max penuh dengan penyesalan.     

Sementara Nathan yang mendengarnya pun tersenyum miris. "Tak apa. Tak masalah, aku bisa mengurus anak ku."     

"Hem... Jelaskan juga kejadian kemarin, supaya dia tak memahami konyol tentang kedekatan kita yang kemarin," lanjut Max mengingatkan, hanya di balaskan Nathan dengan anggukan ragu.     

"Pasti."     

"Aku ke kamar Zeno dulu, dia pasti akan merengek saat mendapati ku tak ada di sampingnya," gurau Max sembari membuka pintu.     

"Ya, rasanya kau sudah begitu di anggap terpenting olehnya."     

"Itu bagian terbaiknya, sayang." Max melangkah pergi. Namun sebelum benar-benar menutup pintunya, tak lupa pria itu berpesan. "Jangan paksakan diri mu, jika lelah istirahat saja."     

Pintu tertutup kemudian meninggalkan Nathan yang mematung di tempatnya. Sementara genggaman tangannya pada sebuah benda, makin mencengkram erat.     

"Pa... Papa?" Sebuah tepukan di lengannya membuat pria itu terhenyak. Mendapati dirinya yang seperti masih terperangkap dalam ruang ilusi. Sampai tak menyadari waktu telah beranjak siang, membawanya serta pada sebuah ruang yang harusnya menjadikan otaknya berpikir keras, bukan malah sibuk dengan hal-hal tak jelas.     

"Papa kenapa, sakit?" imbuh Zeno yang menatap khawatir. Posisi tubuhnya yang pendek bahkan sampai berjinjit, menjulurkan tangan kecilnya untuk mendeteksi suhu tubuh Nathan. "Tidak panas, sama seperti ku," kesimpulan bocah itu setelah membandingkan suhu tubuh Nathan dengan miliknya.     

Nathan yang gemas pun lantas menggendong Zeno, memposisikan bocah belia itu di atas pangkuannya. Kecupan di pipi menggembung milik sang anak, membuat bagian yang berlebih daging itu seperti tergoncang. Sementara Zeno yang merasakan geli, terus saja terkikik dan meminta di lepaskan.     

"Sudah-sudah, pa... Hihih... Lepaskan aku..."     

"Tidak, salah mu sendiri yang begitu menggemaskan, nak."     

Tommy yang melihat keduanya begitu harmonis, lantas memutuskan undur diri. Tugasnya menjemput putra sahabatnya selesai untuk hari ini. Meninggalkan Zeno dan Nathan untuk menghabiskan waktu.     

Berpindah posisi, Zeno yang masih ada di dalam gendongan Nathan pun di boyong menuju sofa. Makan siang telah tersaji di sana.     

"Aku bisa makan sendiri, pa..."     

Ya, seperti biasanya, Zeno yang begitu mandiri. Meski pun Nathan yang sebelumnya berniat memanjakan sang anak, di sisi yang sama menghindari makanan yang pastinya jatuh berserakan sampai ke lantai.     

"Baiklah... Kau mendapatkannya, sayang..." Sahut Nathan yang tak bisa mengabaikan kehendak sang anak, lantas mengansurkan sendok garpu ke arah Zeno. Bekal makanan yang di buat Nathan sendiri, menjamin sang anak untuk mendapatkan menu seimbang. Ya, meski pun dengan itu ia jauh lebih penat. Tapi mau bagaimana lagi, pengasuh dan juga pembantunya itu tak kunjung kembali dari urusan izin mereka masing-masing. Bahkan sudah terlewat dari satu minggu yang di janjikan, sempat terpikir olehnya untuk mencari pengganti jika beberapa hari ke depan masih tak mendapatkan kabar.     

Sementara tugas sekaligus menjadi orangtua dan pemimpin perusahaan tak bisa di pilih terpentingnya salah satu. Termasuk mendidik sang anak supaya tumbuh menjadi sosok cerdas dan selalu berpikiran positif.     

"Zen, papa ingin mengatakan pada mu. Tentang kemarin malam, jangan lakukan hal itu bersama dengan siapa pun lagi, ya?"     

Zeno yang mulutnya penuh dengan makanan, lantas menolehkan pandangannya pada Nathan dengan raut bertanya-tanya. "Kenapa?"     

"Hanya tidak sopan saja, siapa yang mau di tindih seperti itu?" balas Nathan setelah sibuk berpikir keras mencari alasan.     

Namun rupanya masih tak begitu saja mudah di pahami oleh Zeno. "Lantas, kenapa paman Max melakukannya pada papa siang kemarin?" kritis Zeno setelah susah payah mempercepat kunyahan nya dan menelan.     

Bagian sulitnya memang berhadapan dengan Zeno yang terlalu menuntut kejelasan detail. "Karena aku dan Max dekat."     

"Oh... Harusnya papa tak usah menghawatirkan ku kalau masalah itu. Papa tahu jika aku tak punya seseorang pun yang dekat dengan ku, kan?" tanggapan ringan Zeno yang masih tak bisa di pahami Nathan tentang apa yang di tangkap oleh bocah itu. Tentang larangan yang jelas di katakan, atau mewanti-wanti Zeno untuk tak tumpang tindih sebelum seseorang memiliki hubungan dekat dengannya? Apa pun itu, harapan Nathan kelak Zeno tak sepertinya yang mempermalukan diri sendiri dengan cara kepergok berbuat mesum.     

"Paman Tommy bilang, kalau papa punya hadiah untuk ku."     

"Oh, ya... Bagaimana papa bisa melupakan hal itu?"     

Nathan menepuk dahinya, sedikit melupakan sesuatu yang di carinya dadakan.     

"Wah... Apa ini, pa?" heboh Zeno saat menerima kotak kado dari Nathan.     

"Kau bisa mencari tahunya sendiri."     

Zeno yang begitu girang, lantas tak sabar mencabik-cabik kertas kado yang membungkusnya. "Pensil warna?" tanya nya memastikan.     

"Dengan warna terlengkap."     

"Yeee.... Sayang, papa!" Zeno pun segera melompat ke dekapan Nathan, memberikan balasan kecupan di pipi sang papa.     

"Lalu, bagaimana dengan kotak berwarna coklat?" desak Zeno yang begitu bersemangat memanen kadonya.     

Sementara Nathan yang mendengarnya pun menjadi heran. "Papa hanya punya satu kado, sayang."     

"Tidak... Maksud ku dari paman Max..."     

"Apakah dia mengatakan pada mu jika akan memberi hadiah?" tanya Nathan yang berubah ketar-ketir karena pemikirannya yang menjadi semakin tak karuan dalam beranggapan.     

"Paman tak memberitahukan ku jika dia akan memberikan hadiah, hanya saja waktu di antarnya sekolah tadi, aku melihat ada sebuah kotak berwarna coklat di kursi belakang. Pa, itu untuk ku, kan? Paman Max akan memberikan ku hadiah juga, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.