Hold Me Tight ( boyslove)

Bagai lintah



Bagai lintah

0Nathan menatap Max dengan sorot mata tajam. Buku tangannya yang telungkup di atas meja, tanpa sadar mengepal erat dengan raut wajahnya yang memberenggut.     
0

Max masih di sana, seakan tak sudi meninggalkan sofa empuk yang membuat pria jangkun itu bersandar nyaman. Demi apa pun, Nathan menjadi tak fokus kerja saat ini, ia merasa terus di pantau dengan cara terang-terangan.     

Lagipula ia masih tak habis pikir dengan pola pikir Max yang seakan meremehkan segala hal dengan tingkahnya. Bahkan untuk pekerjaan, pria jangkun itu menjadi seperti tak lagi serius. Lihatlah, bagaimana cara pria itu memindahkan meja kerja di ruangannya. Bahkan berkas-berkas penting milik Max sudah bertebaran di sana.     

Atmosfir ruangannya menjadi tak nyaman. Terlebih saat perkara yang menyusup ingatan Nathan, saat Max yang tak sedikit pun menanggapi celotehannya mengenai sebuah nama yang di sebutkan. Sungguh, apakah sulit untuk Max menceritakan sedikit saja kabar wanita yang sejak dulu seperti membencinya itu?     

Tidak, Nathan bukannya merasa cemburu atau menjadi sosok posesif secara tiba-tiba. Hanya saja ia ingin memastikan tak ada penghalang untuk ke depannya. Ya, memang tak menutup kemungkinan jika mereka akan kembali bersama, kan?     

"Kau mau kemana?" tanya Max saat Nathan berjalan melewati posisinya. Lengannya begitu tanggap, menggenggam pergelangan tangan milik Nathan.     

"Menjemput Zeno, apa lagi?" sahut Nathan dengan nada suaranya yang malas-malasan. Sementara manik matanya menatap intens pada lengan kirinya yang tertawan, membuat pria berparas oriental itu peka untuk melepaskan.     

"Tidak usah."     

Jawaban Max membuat Nathan dengan cepat mengalihkan perhatiannya pada pria yang masih duduk santai di atas sofa. Kedua alisnya berkerut, pandangannya lantas mempertanyakan. "Maksudnya?" sahut Nathan yang masih tak mengerti.     

"Mama ku dan mama mu sudah menjemputnya."     

"Hei, siapa yang mengizinkan?!" Nathan menaikkan nada suaranya. Menatap Max semakin tajam seolah ucapan yang baru saja dikatakannya adalah sesuatu yang normal.     

Tidak, ini bukan masalah ego atau pun kecurigaan Nathan pada semua orang. Ia hanya tak suka dengan cara mereka yang semakin tak tahu aturan. Ia sebagai orang tua Zeno, setidaknya meminta izin terlebih dahulu padanya, kan?     

Max yang melihat Nathan masih jauh dari kata lunak, membuat pria jangkun itu bangkit dari duduknya dan segera memberikan dekapan.     

"Tenanglah, mereka tak akan menyakiti Zeno, sayang..." bujuk Max, tak peduli walau Nathan masih saja meronta meminta di lepaskan.     

"Bukan masalah itu, hanya saja mereka seperti tak menganggap keputusan ku penting, kan? Seenaknya saja mendekati anak ku." geram Nathan yang setelahnya berhasil memberikan sedikit jarak untuk berhadapan dengan Max. "Kau juga sama saja!" Imbuhnya sembari meninju dada Max.     

"Bisakah kau melihat segalanya dari sisi positif? Mereka yang begitu berbondong-bondong berusaha untuk mengenal Zeno, bukankah hal baik karena cinta berlimpah akan di dapatkan olehnya?"     

"Tapi kau tahu dengan pasti, dia sulit untuk bisa mengakrabkan diri dengan orang baru," sahut Nathan yang kali ini jauh lebih lembut. Seakan-akan tengah merengek, pada Max yang mengusap perlahan wajahnya dengan tatapan teduh.     

"Anggap saja sebagai latihan untuk Zeno, supaya lebih baik."     

Nathan sontak memejamkan mata, bibirnya setengah terbuka, yang setelahnya desah lirih keluar dari sana. Max yang berbisik, terasa begitu dekat ke telinganya. Menyusup makin dalam, sampai seperti mengalirkan sengatan yang membuat tubuhnya menggelinjang. "Ta-pi... Eunggh..." Pemikirannya bahkan sudah tak lagi bisa stabil. Meski pun ingat mereka tengah berdebat mengenai Zeno. Malah bibirnya yang terkatup, setelah lidahnya yang sedikit menjulur membasahi permukaannya yang mendadak begitu kering.     

"Stttss!" Max yang nampak begitu tergiur dengan cara Nathan yang jelas-jelas menggodanya. Mengangkat lengannya, kemudian melancarkan jemarinya dengan memberikan sedikit penekanan pada permukaan bibir bawah milik pria yang menjadi tak berdaya.     

"Sejenak saja, bisakah kau fokus tentang kita?" Imbuh Max, yang lagi-lagi menjatuhkan kepalanya di bahu milik Nathan. Menghadapkan posisi wajahnya di bagian leher pria itu, menghirup dalam aroma yang tercium memabukkan.     

Happ     

Dengan mudahnya Max mengangkat tubuh Nathan. Tanpa sedikit pun kepayahan meski pun Nathan yang jelas saja meronta meminta di turunkan.     

Namun tak di gubris oleh Max yang kali ini menempati bagian sofa panjang dengan Nathan yang sejajar berada di pangkuannya.     

"Apakah kau tahu saat ini aku sedang marah?"     

"Tahu... Namun bukankah alangkah baiknya, kau menenangkan diri terlebih dahulu?" timpal Max dengan memijat pelipis Nathan. "Sungguh, kita sudah di usia rawan, sayang... Semakin banyak kau mengerutkan wajah, kerutan mu akan semakin banyak."     

"Persetan, siapa yang mau peduli?" Nathan yang menghempaskan kedua lengan milik Max, lantas berusaha menegakkan kakinya yang tertekuk untuk segera beranjak dari posisi yang membahayakannya. Namun agaknya pria dominan itu masih tak menghendaki, pantatnya tertawan, di remas oleh telapak tangan besar milik pria itu. "Lepaskan..." rengek Nathan yang kali ini merasa semakin frustasi akibat godaan Max.     

"Sayang... Apakah kau tak merindukan milik ku berada di dalam mu?" bisik Max yang mulai membagi rata gerak sentuhnya. Satu lengan masih menguleni bagian belakang Nathan yang menggemaskan, sementara yang lainnya mengatasi bagian dada yang mulai mengeras. Membuat Nathan dalam posisi melenting tanpa di sadari.     

Bisa di bilang Nathan yang saat ini terbujuk rayu, berganti menyandarkan penuh tubuhnya pada Max. Bahkan bibirnya yang secara otomatis menarik kedua sudutnya, seolah melupakan adu mulut sesaat lalu. Max jelas mengambil kesempatan dengan menjilat permukaan kulit leher Nathan yang basah. Semakin gencar untuk melancarkan aksinya, masih berusaha memperdaya kekasihnya untuk bisa bertekuk lutut.     

Namun memang tak bisa sepenuhnya tunduk, Nathan yang terlalu kokoh membentengi dirinya dengan harga diri, masih sedikit bertenaga untuk memikirkan sindirannya pada Max. "Akhh... A-ku mulai mempertanyakan, kau kembali pada ku karena cinta, atau hanya sebatas nafsu?"     

Max menghentikan kegiatannya, meninggalkan bekas kemerahan yang di tinggalkan akibat kecupannya. "Kau pikir, bagaimana lagi cara dua orang dewasa mengutarakan cinta? Hanya sekedar jalan berdua dan bergandengan tangan di depan umum sebagai bentuk kepemilikan?"     

"Tidak juga," timpal Nathan sembari mengangkat bahunya ringan. Sesaat ia merasa gugup dan sedikit meragu, hingga sampai di saat Max menatapnya penuh dengan desakan. Ya, nyatanya ia termakan pertanyaan konyolnya sendiri.     

"Maksud ku, kau seperti sama saja dengan Max yang dulu," imbuh Nathan yang sontak langsung melemparkan pandangannya menghindari Max. Rahangnya lantas mengetat, tak berniat untuk membuka mulut lagi jika sama seringkali otaknya yang tak berjalan sinkron dalam memberi perintah.     

Jelas membuat pria jangkun itu merasa semakin gemas dengan sikap Nathan yang menjadi malu-malu. Wajahnya yang sampai merah padam, segera di berikan kecupan di beberapa titiknya. "Jadi, kau takut aku yang menyembunyikan rahasia dan sekejap meninggalkan mu?" tanya Max yang benar-benar kegirangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.