Hold Me Tight ( boyslove)

Cinta hanya tentang keduanya



Cinta hanya tentang keduanya

0"Zen, jangan mengada-ngada," timpal Nathan yang malu setengah mati.     
0

"Papa mu baik-baik saja, Zen... Kau tak perlu sekhawatir itu. Justru saat ini papa mu tengah bahagia. Coba tanya saja."     

Ya, rupanya Max memang tak menyia-nyiakan sedikit pun kesempatan untuk menggoda Nathan. Namun rasanya menjadi alasan pengalihan yang lebih baik, saat mendapati Zeno yang seketika berubah ceria, manik matanya yang begitu menghipnotis bahkan berbinar.     

"Benarkah, pa?"     

"Eh? Y-ya."     

"Bahagia kenapa?" Begitulah Zeno, sangat kritis untuk mencari kejelasan atas sedikit pun informasi yang di dapatkannya. Nathan lantas mengikis alasan dari otaknya yang seketika menjadi tumpul untuk sekedar merangkai kalimat bohong. Ya, untung saja Max yang masih baik hati mengambil alih.     

"Karena kau yang tumbuh semakin menggemaskan."     

"Benarkah?"     

"Juga dengan berita kau memiliki kawan baru, bagaimana tanggapan mu mengenai Kenzo, sayang?" Imbuh Max mempertanyakan pertemuan yang sempat terjadi antara Zeno dan keponakannya itu.     

Sementara Nathan mengingat kejadian yang membuatnya murka saat tahu Max dan mamanya bersekongkol untuk mendekatkan Zeno dengan keluarga pria berparas oriental itu.     

"Y-ya... Karena dia keponakan paman Max, aku menyukainya," balas Zeno yang jelas nampak berpasrah. Bahunya yang terangkat dan turun semakin jatuh, nyatanya menampakkan sebaliknya dari yang di ucap.     

"Baguslah kalau begitu."     

Sementara Nathan yang masih tak bisa sedikit pun merasa tenang, lantas jatuh meringkuk dengan kepalanya yang di pukul bertubi-tubi setelah Max dan Zeno pergi.     

Nyatanya ia terlalu lambat untuk bisa memperkirakan keberanian Max dalam melangkah. Nathan bahkan hanya sedikit membuka cela, namun nampaknya pria yang begitu bernafsu itu mendobrak pertahanannya tanpa sedikit pun peduli.     

Pertimbangan menerimanya masih dalam tahap uji coba, namun Max yang selayaknya ingin mendominasi seperti kepribadian khasnya, seperti mengobrak-abrik seluruh pilihannya yang hendak mencentang alasan untuk menutup kembali.     

Nathan tak yakin jika perkiraan Tommy ia yang bisa menjadi pengendali, nyatanya hanya sebagai pelengkap yang hanya di sediakan untuk menerima, sisanya Max yang bertindak, kan?     

Bahkan saat ini ia terlalu takut untuk sedikit saja lengah, Max tak bisa di terka dengan pemikirannya. Membuat pria itu mengunci rapat-rapat pintu kamarnya. Ya, bahkan ia yang selaku tuan rumah tak bisa mengusir seorang tamu yang menjadi tak tahu diri karena merasa tamengnya begitu kuat.     

Zeno yang amat manja, bahkan menomor duakan Nathan yang saat ini tidur seorang diri dengan kecemasannya.     

Rasanya bahkan Nathan tak bisa memejamkan matanya dengan pulas. Bangkit dari atas ranjangnya jauh lebih awal, memasuki kamar mandi dan kemudian bersiap dengan setelan rapinya ke dapur terlebih dahulu. Sedikit kesal saat izin pengasuh Zeno masih beberapa hari lagi dari total satu minggu. Terlebih buruknya dengan memori hangat tentang tingkah mesum Max malam kemarin.     

Ting Tongg     

Bunyi bel pintu rumah, membuat Nathan menghentikan acara memasaknya. Mematikan kompor yang belum sepenuhnya mengepulkan hidangan buatannya, pria itu melangkahkan kakinya lebih cepat sembari menerka tamu yang datang pagi buta seperti sekarang ini.     

Nyatanya tak bisa di tegur atau perlakukan tak sopan, saat seorang wanita paruh baya datang dengan pria yang digandengnya, kompak mengulas senyum yang begitu lebar, menampil tepat saat pintu di buka oleh Nathan yang masih membatu.     

"Hai, sayang... Apa kabar..."     

Bahkan Nathan tak bisa menampilkan dirinya sesuai, terlebih wanita paruh baya itu yang lebih dulu melemparkan tubuhnya ke dalam dekapannya.     

"Bagaimana kabar mu? Aku sangat merindukan mu, nak..."     

"Baik. Saya baik tante Nina," balas Nathan sembari menatap ragu pada mama Max yang menakup rahangnya.     

"Bolehkah aku masuk? Ku dengar dari Rara, Zeno baru saja sembuh dari sakit, ya?" Imbuh Nina yang nampaknya memang tak menunggu tanggapan Nathan mempersilahkan masuk. Wanita paruh baya itu sudah melenggang lebih dalam, bahkan melewati ruang tamu.     

Nathan yang masih saja tak habis pikir dengan kedatangan mereka, malah di buat canggung dengan tingkah Nina yang terlewat batas.     

Jonathan yang agaknya memahami, lantas menepuk bahu milik Nathan. "Maafkan istri ku karena membuat mu tak nyaman. Namun rasanya aku masih berharap, kau dapat memakluminya."     

Meja makannya saat ini rasanya begitu ramai, hidangan yang bertambah banyak saat Nina yang ternyata bantu mengatasi masalah dapur. Memuji bertubi Nathan yang saat ini bisa sedikit meracik rasa masakan, dari memori yang diketahui Nina saat dahulu yang sama sekali tak memiliki bekal.     

Namun meski pun Nina yang terus saja menimbun kalimat pembukaan tanpa henti, nyatanya tak bisa sedikit pun membuat suasana menjadi sedikit cair.     

Nathan di sana, memelotot pada Max yang tepat berada di hadapannya. Ia sudah menebak, pasti pria jangkun itu tak ingin mengaku karena telah bertindak memutuskan sesuatu di belakangnya tanpa kompromi. Tentang kedatangan orangtua Max yang lebih membuat canggung saat mulai mengintrogasi.     

"Jadi kau menginap di sini, Max?" tanya Jonathan dengan nada mempertanyakan biasa.     

Namun agaknya sedikit lebih berbeda dengan cara Nina mengomentari. "Sungguh, aku sangat bahagia karena kalian memutuskan untuk kembali bersama lagi."     

"Tidak." Dengan cepat Nathan menyahut. Membuat Nina yang berjingkrak terlalu bersemangat di kursinya seketika saja membatu dengan raut beransur murung.     

Max yang nampak memprotes dengan balasan Nathan, Jonathan yang mengurut kepalanya karena merasakan kesalahan sang istri yang lagi-lagi ingin ikut campur. Sementara Zeno yang berada di samping sang papa mengerutkan dahi, lebih ingin memahami pembicaraan orang dewasa di hadapannya itu.     

Nathan menundukkan kepalanya, meletakkan sendok garpunya dengan beralih kedua telapak tangannya yang memilin di atas pangkuannya. "Ku pikir tak bisa secepat itu. Kami baru saja bertemu setelah sekian tahun, masih membutuhkan waktu lebih untuk membiasakan kembali."     

Seketika saja Nina dan Jonathan menunduk lemas, turut merasa menyesal atas perilaku mereka yang dahulu menjadi penghalang cinta mereka yang bersemi. Sementara Nathan yang lebih tidak peduli dengan Max yang mengeram marah atas kesimpulan yang di dapatkan tentang kejadian tadi malam yang cukup sensual.     

"Loh, bukankah papa mengatakan pada ku akan berbaikan dengan paman Max?"     

Ya, nyatanya yang tak seharusnya mendengarkan pembicaraan mereka akhirnya malah angkat bicara. Zeno yang berganti menyerang Nathan dengan raut memprotesnya. "Jadi, papa bohong?"     

"Bukan seperti itu maksudnya, sayang... Kau masih tak mengerti."     

"Kenapa aku di anggap tak mengerti? Walau aku tahu papa yang kemarin masih begitu membenci paman Max dan berniat memisahkan kami?"     

Kacau sudah. Kedatangan kedua orangtua Max yang tiba-tiba membuat Nathan tak bisa lagi merasa tenang.     

Berusaha menarik diri dari Max yang menjadi bagian penyebab, meski di ketahui pria jangkun itu masih akan terus mengejarnya.     

Pintu ruangan milik Nathan tertutup, menarik secepat kilat Max yang menggenggam pergelangan tangan milik pria itu.     

"Bisakah kau sedikit bersabar dengan semua ini? Lihatlah yang sudah kau lakukan, lagi-lagi Zeno berpikir buruk tentang ku," kesal Nathan yang kemudian menghempaskan genggaman tangan Max.     

"Bukankah aku sudah mengatakan pada mu jika aku tak tahu menahu atas kedatangan mereka?"     

"Sama saja. Sedikit banyaknya pasti kau membocorkan kedekatan kita kembali, kan?" tuduh Nathan yang seperti tak ingin dibantahkan. "Demi apa pun, aku ingin melangkah dengan perlahan. Tanpa suara-suara yang mendesak dan mendorong ku untuk berlari tergopoh-gopoh menuruti kehendak mereka. Aku ingin hidup ku, aku yang menentukannya, Max..."     

"Baiklah. Aku memahami mu, dan aku masih dengan bodohnya bersedia untuk menanti mu sampai ku pastikan kau bertekuk lutut pada ku," putus Max dengan menaikkan sedikit nada suaranya. Kemudian menarik Nathan untuk di dekapnya erat, memberikan pria itu kecupan di dahi setelahnya.     

"Mustahil. Bagaimana kalau kau cari orang lain saja dari pada membuang-buang waktu? Lea misalnya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.