Hold Me Tight ( boyslove)

Terlalu lepas pertahanan



Terlalu lepas pertahanan

0 Hubungan Nathan dan adik wanita Max, yang nyatanya hanya persekongkolan saling menguntungkan dalam posisi terdesak, sekedar menenangkan ketakutan. Sampai dengan saat itu, entah perasaannya saja atau memang benar jika hati Max memang layaknya sebuah batu yang tak sekali pun berubah bentuk. Pria itu masih begitu menginginkannya?     
0

Hari bergulir dengan sangat cepat, memindah pagi, matahari berkedudukan tengah memeratakan siang, sampai dengan bekas menyingsing sumber panas bumi itu, mengganti suasana gelap dengan bantuan cahaya bulan sebagai pengganti mengakhiri.     

Max masih di sana, seolah masih saja tak bosan menemani bocah lima tahun yang sedari tadi tak berhenti tertawa. Nathan hanya mengamati dari sudut tempatnya, tak bisa membohongi sudut hatinya yang membuncah tiba-tiba. Ia merasa begitu bersemangat, bagian baik yang masih coba di artikan olehnya, Nathan merasa begitu lengkap?     

"Sejak kapan kau bisa memasak?"     

Seorang datang menyentak Nathan dari lamunan, objek pandangnya kembali menarik bagian intens pada sebuah sofa panjang yang ada di sisi dalam pembatas kaca yang memisah kolam renang. Hanya ada Zeno yang sibuk dengan ponsel di genggamannya, rupanya Nathan terlalu terlambat untuk menyadari pergerakan cepat pria jangkun yang berdiri persis di belakang tubuhnya itu.     

Jelas saja Nathan menjadi kikuk, genggamannya pada pisau yang mengiris bahan masakan nyaris saja terjatuh. Terlebih saat tubuhnya merasakan penghantar panas dari aura milik Max. Bahkan rasanya seperti tak ada jarak, Nathan yang hanya berusaha mengikuti saran Tommy untuk membuka diri, mencoba tak melarikan diri saat mendapati satu lengan Max yang memenjaranya di posisi belakang. Bagian kokoh yang menonjolkan jelas otot di sana, sedikit membuat Nathan meletakkan perhatian, dengan salivanya yang di tenggak kasar.     

"Waktu ku terlalu banyak untuk lima tahun terakhir, Max."     

"Hahaa.... Apakah karena tak ada aku yang menganggu mu?" sahut Max dengan begitu bersemangatnya. Menarik lengannya yang menumpu di pinggir meja keramik, kemudian tanpa sungkan menyusupkan jemarinya ke dalam kaos pendek yang di kenakan oleh Nathan. "Seperti ini?" Imbuhnya seolah kelancangan yang di lakukannya bagian dari pemberian menarik.     

"Eungh..." Nathan yang tak sengaja melenguh, kali ini lengannya benar-benar melemas dengan pisau yang di jatuhkan. Max terlalu blak-blakan, bahkan jemarinya yang dengan selektif mencari objek, tanpa pikir panjang mencubit titik puting milik Nathan dengan sesekali meremasnya.     

Hampir saja Nathan terbawa suasana, hembusan napas menderu yang menyapu bagian ceruk lehernya yang sensitif, makin di perparah dengan tonjolan keras yang terus saja memukul-mukul bagian belakang tubuhnya.     

Segera membalikkan tubuh, mengambil batas sejauhnya sampai membentur pinggir meja. Sementara telapak tangannya yang menghadang persis di dada Max mencegah pria jangkun itu semakin dekat.     

"Apakah menurut mu, kita tak terlalu melangkah terlalu terburu-buru setelah lima tahun lalu?" Imbuh Nathan mempertanyakan tindakan Max dan juga keterlambatan singkatnya yang sempat tergoda untuk menikmati lebih.     

Max yang mendengarnya nampak tak sepakat. "Justru kita yang paling terlambat. Bahkan Cherlin yang begitu membenci Riki saja sudah begitu menempel, seolah tak terpisahkan. Bahkan aku berani meyakinkan mu, jika mereka pastinya bergumul setiap malam dengan Kenzo yang selalu disusupkan di kamar mama dan papa. Mereka sangat curang," balas Max yang seperti tengah mengadu.     

Napasnya yang begitu memburu, nampak sangat kualahan, sampai-sampai menjatuhkan dahinya di bahu milik Nathan. Lengannya yang tak peduli di hempas kasar, masih coba meraba lekuk tubuh milik Nathan.     

"Kenzo?"     

"Anak Cherlin dan Riki."     

"Aku masih tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan keluarga kecil mereka. Pernikahan waktu itu terlalu sibuk," balas Nathan yang singkat mengingat-ingat memorinya. Namun sosok yang di katakan bernama Kenzo itu masih tak di terawangnya jelas. "Oh ya, bukankah usia Kenzo dan Zeno nyaris sama? Hanya jangka beberapa bulan saja, kan?" lanjut Nathan mengungkapkan kenangan yang di ingatnya.     

Max yang bahunya di dorong menjauh, lantas seperti lunglai untuk sekedar berdiri tegak menghadapi Nathan yang tiba-tiba saja banyak bicara. "Pasti kau nanti akan bertemu dengan mereka semua."     

"Ehmm.... Bagaimana Kenzo itu?"     

"Sama menggemaskannya dengan Zeno, hanya saja keponakan ku itu jauh lebih sering menangis," jelas Max yang sedikit menggambarkan sang keponakan.     

Nathan yang mendapatinya, hanya menganggukkan kepala tanda mengerti. "Normal, mereka masih anak kecil, Zeno juga masih terkadang seperti itu."     

"Jika anak ku jauh lebih suka menyendiri dengan hobi menggambarnya, bagaimana dengan Kenzo, apa yang dia sukai?" Imbuh Nathan yang menghentikan ucapan Max yang akhirnya sesaat hanya tertelan di ujung lidah.     

Menghela napas kasar, pandangannya bahkan sudah menatap manik mata Nathan dengan datar. "Aku tahu kau hanya berusaha mengalihkan perhatian ku. Nath... Kali ini hanya tentang kita."     

"Ehmm... A-apa yang kau harapkan? Kau tak terlalu percaya diri dengan cara ku yang seperti ini, kan?" timpal Nathan yang menjadi sangat jual mahal. Lengan Max yang coba untuk menggenggam saja di tepisnya.     

"Kau masih ingin menguji ku? Sungguh, apakah kau tak apa jika mendapatkan penis ku yang seperti sudah karatan karena tak tersentuh telapak lembut mu? Katakan pada ku, sampai kapan? Jika mengulang lima tahun lagi, ku pastikan aku tak bisa se yakin saat ini."     

"Max..." lirih Nathan dengan memekik keterkejutannya. Tiba-tiba saja lengan kanannya tertawan. Di giring pria jangkun yang masih lengkap dengan setelan kusutnya yang masih belum berganti ke antara pertengahan kaki panjangnya.     

Bagian pusat yang membuat Nathan tak bisa berkutik. Sangat keras, terasa bertekstur, dan panas?     

Bahkan Nathan hampir saja tak bisa bernapas dengan baik, ia tak punya kesempatan untuk melarikan diri, karena terlebih dulu Max telah menghadangnya dengan sebuah bisikan lirih tepat di depan telinganya.     

"Apakah kau merasakan milik ku? Tak ada yang bisa sehebat ini untuk membujuknya perkasa."     

Setelahnya Nathan memejamkan matanya dengan sangat erat. Wajah Max mendekat dengan amat cepat, di sangkanya jelas bibir yang tengah di sasar.     

Ya, mereka di pastikan akan bercinta habis-habisan, tak sekali pun mementingkan tempat. Alih-alih seseorang yang terlupakan sesaat yang nyatanya sudah menatap curiga interaksi kedua pria dewasa itu di dapur.     

"Kalian sedang apa?"     

"Ya Tuhan!"     

"Shit!"     

Tanya Zeno dengan menelengkan kepala mengamati posisi menempel antara sang papan dan paman Maxnya.     

Sementara pertanyaan lirih itu mampu menyentak Nathan dan juga Max. Keduanya meloncat cepat dan mengambil jarak dengan sisi berlawanan terjauh. Namun jelas saja sama-sama kikuk, pandangan polos Zeno rupanya terlalu mengkhawatirkan.     

"Ti-dak! Kita tak sedang berbuat apa pun. Me-mangnya kau melihat apa, Zen..."     

"Papa aneh, wajahnya begitu memerah dengan keringat yang keluar banyak. Paman, apakah papa sakit seperti ku? Ini pasti karena Bibi Tami tak segera kembali untuk membantu papa memasak," balas Zeno setelah meneliti Nathan yang mengusap peluh di pelipisnya.     

Dengan panik langkah kecil itu mendatangi Max, menarik kain kemeja milik pria itu yang memang di keluarkan. "Paman... Ayo kita periksakan papa ke dokter," mohon Zeno dengan netra beningnya yang begitu panik.     

Sementara Nathan yang menggosok belakang tengkuknya karena kekhawatiran polos Zeno yang salah kaprah.     

"Turunkan aku sekarang juga, paman gendong papa ku saja," Imbuh Zeno yang kali ini memprotes saat Max malah memilih menenangkannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.