Hold Me Tight ( boyslove)

Bagaimana langkah selanjutnya?



Bagaimana langkah selanjutnya?

0"Kenapa kau malah bertanya? Bukankah kau tahu pasti jika Max akan tetap keukeh pada keinginannya mengusik ku?" sindir Nathan sembari menyipitkan pandangannya.     
0

Tommy yang di tatapan demikian pun menjadi kikuk, manik matanya bahkan bergerak menghindar, kiri kanan. Dalam posisi awalanya yang menantang dan nampak mendesak pertanyaan, seketika saja beralih melemas. Tubuhnya bahkan beransur meluruh, menempati kursi di sampingnya dengan bahu meringkuk turun.     

"Loh, kenapa nada bicara mu seakan menuduh? Jangan-jangan kau mencurigai ku sebagai antek-anteknya, ya?" balas Tommy setelah sejenak menaikkan harga dirinya yang di curigai. Nathan yang nampak mencebik dengan satu lengan yang menyangga sisi samping kepala, nampaknya memang jauh lebih menisdas paksaan menyetujui jawaban dengan giliran satu alisnya yang terangkat.     

"Mau bilang apa lagi, kenyataannya sudah jelas. Kau yang awalnya memberi clue mengenai rumah sebelah ku yang di jual. Sekarang apa...! Max yang rupanya menjadi pemilik."     

Brukk     

"Apa?!"     

Bukan Nathan yang menggebrak meja, nyatanya Tommy yang datang dengan rusuh dan membuat sang pemilik terkejut dengan bunyi sentakan tiba-tiba itu. Masih saja tak bisa meredam personalnya yang tengah di nilai detail oleh Nathan yang diam-diam masih menilai, matanya yang tiba-tiba saja menjadi sangat jeli untuk melihat sedikit getir dari Tommy yang makin jelas saat ini.     

"Sebentar-sebentar, jadi Max memata-matai mu sampai sebegitunya?" Imbuh Tommy yang sampai memajukan setengah bagian badannya tak sabaran untuk mendapatkan balasan.     

"Cih!" Sementar Nathan yang mendengar Tommy tak mau mengaku, refleks berdecih. "Masih saja berusaha menutupi, kau kan bagian dari rencananya," tambah Nathan yang dengan kepastian menuduh sang kawan bermulut lebar.     

Tommy yang jelas tak terima dengan cap buruk itu pun mengangkat lengan kanannya dan menegakkan jari telunjuk serta jari tengah. "Sumpah demi apa pun! Aku tak memberikannya informasi mengenai rumah di jual itu." Tommy yang masih berusaha untuk meyakinkan.     

"Lalu mengenai jam tangan yang ku berikan kepada mu?"     

"Itu juga bu-kan..." Tommy menghentikan ucap balasnya. Kelopak mata pria itu bahkan sampai berkedip-kedip, memutar ulang pertanyaan Nathan dengan lebih teliti. Namun nyatanya masih tak cukup membuatnya terkejut dengan refles memukul moncong bibirnya. Nathan yang mengangkat lengan kirinya, lebih jelas menunjuk sebuah benda yang melingkar di pergelangan tangan milik sang kawan. "Ba-bagaimana kau bisa mendapatkannya kembali?" lanjut Tommy yang dengan kagok mempertanyakan.     

Sementara Nathan yang menjatuhkan tubuhnya di sandaran kursi, setengah memutar-mutar badannya dengan seringai tertuju pada benda yang menjadi permasalahan untuk posisi Tommy dan hubungan persahabatan mereka saat ini. "Karena dia yang memasangkannya di lengan ku," jelas Nathan yang mengingat-ingat kejadian beberapa jam lalu. Max yang sempat membuatnya terpaku karena ketelatenannya mengurus Zeno sampai dengan menguapi bocah bebal itu sarapan. Masih mendapatkan langkah terbesar lagi hanya dengan sekali keseriusannya mengatakan tujuan, tanpa peduli Nathan yang meronta dan jelas hendak melarikan diri.     

Ya, sampai akhirnya barang pemberian pria itu kembali lagi kepadanya.     

"Nath... Sungguh, aku tak ingin menjadi kawan yang berkhianat kepada mu. Kau tau, aku melakukan itu... Karena, y-a... Aku merasa tak berhak untuk ikut campur urusan kalian berdua."     

"Lalu menunjukkan bahwa aku telah berusaha melenyapkan pemberiannya? Kenapa kau tak menjadi pura-pura tak peduli saja dan menjualnya?"     

"Hei, itu malah menunjukkan kelancangan ku."     

"Benarkah? Bukankah niat mu untuk membuat ku bersatu dengan Max?"     

Tommy lantas terdiam, meringis tak punya pilihan jawab sembari menggaruk sisi kepalanya yang sama sekali tak gatal. Pria itu takut menjawab, karena ia mengetahui dengan pasti jika Nathan yang pastinya mempunyai pengalihan untuk membuat tindakannya menjadi amat bersalah dalam dua sisi.     

Hanya menggidikkan bahunya pasrah, sembari rautnya menampakkan permohonan untuk tak lagi di desak.     

"Baiklah, aku mengaku dahulu jika aku salah. Aku yang memang mengirimkan kembali jam tangan milik Max itu-"     

"Dengan imbalan seorang wanita untuk malam panas mu?" Nathan memotong ucapan Tommy, membuat pria yang belum memutus habis penutupannya malah membuatnya sesaat kehilangan cara berpikirnya untuk bernapas.     

Tommy yang jelas saja menjadi tersengal, hanya bisa mengangguk-angguk mengakui kesalahan yang diperbuatnya. "Yah... Sekali lagi aku meminta maaf pada mu, Nath. Tapi, sungguh... Tak sedikit pun ada niatan buruk atas perlakuan ku itu. Aku hanya merasa itu yang terbaik. Juga dengan sangkaan mu tadi, ku rasa memang kau harus membuka diri mu untuk Max yang segila itu mengharapkan mu."     

Nathan lantas menundukkan kepala dalam, raut wajahnya yang semula nampak begitu menegang seketika saja lenyap. Menarik garis lengkungnya menurun dengan pandangan sayu.     

"Aku juga ingin berpikiran positif seperti itu, sungguh Tom. Hanya saja segalanya begitu sulit untuk ku, aku takut untuk kembali merasa kecewa. Aku takut dia yang tak jelas memposisikan ku. Terlebih saat ini ada Zeno yang harus ku jaga. Aku sangat takut jika anak ku akan merasakan kekecewaan ku dulu."     

"Hei... Percayalah pada ku, semuanya akan baik-baik saja. Kau hanya perlu diam di tempat, nilai saja bagaimana cara Max memperjuangkan mu."     

"Kau memang mendukung ku bersama dengan dia?"     

"Percayalah, aku adalah orang yang juga merasa sakit hati saat perpisahan kalian. Karena aku tahu, baik kau atau pun Max saling memiliki cinta, sampai dengan detik ini," ucap Tommy terlampau yakin.     

Sementara Nathan yang di genggam erat lengannya oleh Tommy, masih tak memiliki keyakinan pasti. "Menurut mu aku dan Zeno bisa bahagia dengan Max?"     

"Aku yakin itu."     

"Dia tak akan menempatkan ku di posisi kesekian bila saja kawan baiknya datang dan meminta bantuan?"     

"Nath... Percaya saja... Jika kau memiliki Max, atur dia sesuka mu. Batasi segalanya yang kau anggap membahayakan," usul Tommy.     

Namun rasanya Nathan yang masih membuka setengah bilah bibirnya itu masih saja belum merasa puas. "Jika dia masih tak mempedulikan dan menganggap kehadiran ku sebagai sesuatu yang remeh?"     

"Bangsat! Maki dia seperti itu, tepat di depan wajahnya!" saran Tommy dengan berapi-api. Sesaat Nathan bahkan menjadi tak fokus dengan lengan kanan milik Tommy yang terkepal dan mengangkat di udara. "Kalau perlu tendang saja pantatnya, posisikan diri mu sebagai dominan," imbuh Tommy.     

"Tapi-"     

"Apa lagi!?" Tommy yang menyela pertanyaan Nathan yang seperti tak habis-habis. Membuatnya setengah kualahan alih-alih saran konyol yang terucap. Bodohnya malah di angguki oleh Nathan yang seolah menangkap pembenaran.     

"Apakah Jevin tak marah jika aku memutuskan membuka kedekatan dengan Max?"     

Nathan yang tiba-tiba saja merasa terharu, bibirnya di gigit kuat berusaha membendung air mata yang hendak jatuh membasahi. Kilas balik mengingatkannya pada kebodohannya lima tahun silam, pastinya meninggalkan bekas yang amat menyakitkan untuk Max yang nyaris tak punya harapan dengan sekaligus menjadi bagian yang di bohongi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.