Hold Me Tight ( boyslove)

Max yang tak pernah terbantahkan



Max yang tak pernah terbantahkan

0Demi apa pun, niatannya memang tak ingin macam-macam selain dari pada kebahagiaan sang anak.     
0

Mungkin memang faktor terbesarnya bukan tentang Zeno yang mengharapkan keinginannya bisa terpenuhi tanpa penghalang, Nathan yang tak pula terlalu lengah jika keteguhan dirinya masih mantap sedari awal. Namun memang Max yang menjadi makin semena-mena karena merasa di butuhkan, membuat pria itu semakin tak tahu malu untuk menunjukkan sikap aslinya yang begitu menganggu.     

Lihatnya siapa yang datang di waktu pagi buta dengan setelan lengkapnya, senyum lima jari yang seperti nyaris saja merobekkan bilah bibir pria jangkun itu. Nathan yang bahkan masih menatap buram dengan pandangan terbatasnya, harus memastikan terlebih dahulu yang berhadapan dengannya dengan punggung tangan yang menggosok mata dengan kuat.     

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Nathan dengan nadanya yang mulai bersungut jengkel. Bibirnya bahkan berkerut, hampir saja menggoda Max untuk menciumnya.     

Ya, alih-alih membuat Nathan jumpalitan karena rasa geramnya jauh lebih mengasikkan. "Ada belek," dengan santainya Max menunjuk area mata milik Nathan, membuat pria itu reflek panik dengan jemarinya yang mencungkil kedua sudut matanya.     

Bahkan tak sampai di situ,  Max yang sekuat tenaga menahan tawa pun, makin memajukkan wajahnya untuk meneliti detail raut milik Nathan yang berubah malu. "Lalu apa yang mengering di sini?" tunjuk Max di salah satu sudut bibir milik Nathan. "Itu air liur?"     

"Bangsat, kau menipu ku!" teriak Nathan saat sadar Max menertawainya. Bahkan benar-benar tak sungkan untuk menyusup masuk ke dalam kediamannya, makin dalam dengan raut girang sembari lengannya yang melambai.     

"Apakah aku memang benar-benar salah untuk mengizinkan Max kembali dekat dengan Zeno?" lirih Nathan yang mempertanyakan langkahnya untuk kali ini.     

Singkat pikirannya macam-macam, saat Max yang seperti tanpa ragu untuk mendekatinya. Namun hal itu nyatanya tak bertahan lama, senyumnya bahkan terbit dengan rasa bahagia saat mendapati Zeno yang begitu girang di gendongan Max.     

"Yey! Ternyata paman Max menepati janji ku untuk datang."     

"Tentu saja, bahkan aku sedia untuk datang setiap pagi dan lebih lama bersama dengan mu. Ingin tahu kabar baiknya?" Segera saja Zeno menganggukkan kepala begitu bersemangat. "Aku tinggal di samping rumah mu, sayang."     

"Benarkah?" Zeno nampak sangat terkejut, Max yang menganggukkan kepala sebagai jawaban pun segera mendapatkan kecupan bertubi-tubi di sana. "Yey!" Bocah itu terus saja bersorak, mengangkat tangannya ke udara, seolah bekas pucat pasi di wajahnya kemarin malam sudah benar-benar lenyap.     

Nathan yang menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, tanpa sadar merasakan haru. Sungguh, hanya baru kali ini ia melihat anaknya tertawa selepas itu. Seolah beban berat dan juga kekangan terlepas begitu saja. Zeno nampak menjadi bebas dengan keinginannya tersendiri, menyebutnya bagian baik atau lebih buruk karena lagi-lagi Max yang menjadi alasan.     

"Zeno jangan di mandikan dulu," cegah Nathan saat singkat mendengar pembicaraan Zeno dan juga Max.     

Mengambil alih Zeno dari gendongan Max, kemudian makin membuat bocah itu memberenggut saat Nathan memutuskan. "Cuci muka dan gosok gigi saja dulu, ya..."     

"Yah... Padahal aku ingin bermain air dengan paman Max, pa..." rengek Zeno yang berubah menjadi sangat manja. Kelopak matanya yang berkedip cepat dengan bola mata terangnya yang berbinar, seolah mencari dukungan dari Max yang di pikirnya dapat menuruti segala keinginannya.     

Namun gelengan kepala nyatanya membuat bahu milik Zeno bergerak turun dengan sangat lemas. "Zen... Bukankah kau baru saja sembuh dari sakit mu? Kau mau membuat papa dan aku merasa sedih lagi seperti kemarin?" terang Max yang coba memberikan pengertian.     

Zeno yang nyatanya mulai melunak pun lantas menggeleng pelan. "Aku tidak ingin melihat kalian sedih."     

"Itu bagus sekali, nak." Puji Max sembari mendekatkan wajahnya memberi kecupan di pipi kenyal milik Zeno. Masih tak beranjak menjauh setelah itu, dengan lengannya yang mengusap surai lembut milik Zeno, alih-alih pandangannya yang terpaku pada Nathan yang nampak kikuk.     

Tak lama setelahnya Nathan menarik mundur langkahnya, menghindari tatapan Max yang terus berusaha mengejarnya.     

"Aku akan mengurus Zeno dulu." Nathan meringis pelan, menyesali izinnya yang seolah menempatkan Max dalam posisi penting untuk berpendapat atau pun sekedar mengiyakan. "Maksud ku aku akan mandi juga. Jadi, kau bisa menunggu kami di bawah saja," ralat Nathan yang setelahnya terburu-buru ingin melewati posisi berdiri Max.     

Ya, kalau tidak Max yang menghentikan langkahnya. "Tunggu dulu." Di kira Nathan pria itu akan menggodanya, lagi alih-alih menatap Zeno yang ada dalam gendongannya.     

"Kau tak melupakan janji mu kemarin malam, kan? Sungguh, paman akan benar-benar marah pada mu jika kau tak mengatakan dengan sungguh-sungguh pada papa mu."     

Max yang berkata demikian, sementara Nathan yang ikut di sangkut pautkan pun mengernyitkan dahinya dalam. "Ada apa?"     

Zeno yang singkat menundukkan kepalanya, lantas menampilkan wajahnya yang berubah sedikit sendu. Jelas saja Nathan khawatir, menatap tajam Max yang mungkin saja menarik perjanjian berat pada Zeno yang nampak tak berdaya.     

Sebelum sempat Nathan membuka mulut dan menderetkan segala protesannya, jika tidak sebuah telapak tangan kecil yang menangkup rahangnya dan menarik perhatian.     

"Pa... Maafkan atas ucapan ku kemarin yang begitu keterlaluan. Harusnya aku tak mengatakan kalimat sejahat itu pada papa. Aku hanya kecewa saat itu, ta-tapi tak sedikit pun membuat rasa sayang ku pada papa berkurang atau bahkan beralih menjadi benci," Zeno menampilkan raut wajahnya penuh dengan penyesalan. Terlalu tulus, sampai-sampai netranya berubah menampakkan nanar. "Sekali lagi, aku minta maaf, pa..."     

Tanpa menunggu waktu, lebih lama, Nathan yang merasa terharu pun lantas menarik Zeno ke dalam dekapannya. Kecupan bertubi-tubi di arahkan pada bocah itu, sementara manik matanya yang terfokus pada Max yang mengulas senyum tipis. Tak bisa membuat Nathan menipu diri atas rasa terima kasihnya, ia yang mengeja singkat kalimat ucapan itu tanpa suara, diiringi sudut bibirnya yang tertarik lebar. Air matanya sekalian luruh, demi apa pun saat ini Nathan begitu lega. Ya, meski pun lagi-lagi karena Max.     

"Demi apa pun, apakah aku tak salah lihat, Nath!"     

Seorang pria yang menyangga kepala di atas meja kebesarannya itu pun tersentak, seseorang yang jelas saja dengan kurang ajarnya memasuki ruangannya tanpa permisi. Suara yang mempertanyakan seolah dengan nada tinggi membentak dan begitu menggelegar, menambah kelancangan saat setelahnya meja milik Nathan di gebrak.     

"Bangsat! Bisakah kau tak mengejutkan ku dengan kedatangan mu yang seperti preman pasar?" sindir Nathan yang nampaknya tak sedikit pun di pedulikan oleh Tommy yang lekas duduk di hadapannya dengan bahu menegang.     

"Bangsat! Apakah aku juga harus mengumpat mu seperti itu karena telah membuat ku terkejut?"     

"Apa maksud mu?" heran Nathan.     

"Jangan pura-pura tak mengetahui maksud mu. Cepat, jelaskan! Kenapa kau bisa datang ke kantor di antar oleh Max?!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.