Hold Me Tight ( boyslove)

Tak sadar menduplikasi sosok yang di benci



Tak sadar menduplikasi sosok yang di benci

0"Akhh! Aku benci papa! Papa telah berubah! Aku benci!" jemari kecil milik Zeno terkepal, ia begitu marah. Lantas memutar tubuh, membanting pintu tepat di hadapan Nathan.     
0

Deg     

Jantung Nathan terasa seperti terlepas dari letaknya. Membuatnya tak bisa berkutik dan jiwanya yang melayang lepas dari raga. Setelah sentakan udara yang memasuki rongganya terlalu penuh, malah menjadi semacam bumerang yang mematikan saat bersamaan hantaman keras mengenai dadanya.     

Terlalu berat untuk memilih salah satu di antara ketakutan dan juga penyerahannya dengan rela mempertaruhkan. Nathan berada dalam dilema, tak lebih tentang ego tingginya yang tak sedia untuk di ganggu gugat.     

"Zen, jangan bicara seperti itu. Ku mohon katakan pada ku jika kau tak serius mengatakannya."     

Nathan bersandar di bilah pintu, tubuhnya jatuh meluruh dengan kepala menunduk dalam di atas lipatan lengannya saat tak sedikit pun suara menyahut permohonannya.     

Di pikir pertengkaran kecil mereka hanya tak lebih dari masalah yang tak berlarut. Nyatanya berkepanjangan, Zeno masih tak mau bicara dengannya hari berikutnya. Bocah itu hanya melengos saat di ajak berbincang oleh Nathan.     

Bahkan Nathan yang setelahnya menarik dua pengawalnya untuk tak lagi membentengi Zeno, masih saja tak merubah emosi baik saat ia mengusahakan sebisa mungkin untuk meluangkan waktu bersama dengan anaknya.     

"Tak masalah menemani papa bekerja seperti biasanya, kan?"     

"Tidak, aku bosan. Lebih baik aku tidur siang saja di rumah."     

"Zen..."     

"Aku mengantuk, pa."     

Nathan yang terus berusaha untuk membujuk Zeno, seperti tak mendapatkan balasan sedikit pun alih-alih sikap abai yang di dapatkan. Zeno terus saja menghindar, membuat Nathan merasakan rindu pada kebersamaan keduanya sejak awal, tanpa ada satu pun yang merecoki.     

Bahkan dalam lingkup dekat mereka, seperti mulai timbul tembok besar yang membentang. Zeno yang membuatnya, Nathan seperti tak di izinkan lagi untuk berada dalam jangkauan.     

Hanya bisa mengintip di celah pintu yang di bukanya terlalu hati-hati, membuat air matanya jatuh tak tertahankan saat mendengar isak tangis serupa yang ada di dalam ruangan.     

Nathan benar-benar bodoh untuk mengambil pilihan dan melangkahkan niatannya untuk berbaikan, ia terlalu takut jika harapannya tak sesuai dengan kenyataan yang akan di dapatkannya.     

Memilih menatap langit malam melalui pembatas kaca di ruangannya. Pikirannya yang berkecamuk dengan arah tujuan bertentangan membuat kepalanya makin berdenyut tanpa ada solusi terbaik yang bisa di tuju.     

Rasanya Nathan memang membutuhkan seseorang yang bisa mengerti situasinya yang begitu buruk. Mengambil ponsel miliknya, yang kemudian mendial nomor pencarian cepat nomor satu di ponselnya.     

Tak lama setelah dering ponsel menghubungkan, terdengar suara bising sesaat. Panggilannya kemudian di alihkan, pada panggilan video yang lekas di terima oleh Nathan.     

"Hei!"     

"Hei! Aku bisa menebak jika kau sedang ada masalah. Kali ini kenapa mata mu sembab?"     

Nathan menggelengkan kepala, berusaha mengulas senyum alih-alih bibirnya yang ingin mencebik seraya netranya yang makin berat menampung air mata. "Apakah kau tak sedang sibuk, Jev?"     

"Ada rapat bersama dengan dewan direksi. Tenanglah, tak jauh lebih penting dari pada urusan mu."     

"Jangan begitu... Kau bisa saja mendapatkan citra jelek dari mereka. Maaf, karena telah menghubungi mu di waktu yang tak tepat," sesal Nathan yang akan mematikan panggilan terhubungnya dengan Jevin, kalau saja pria itu tak buru-buru mencegah.     

"Tunggu dulu, Nath! Aku akan benar-benar marah pada mu jika kau mematikan panggilannya. Demi apa pun, posisi ku tak akan tergantikan, lagi pula alasan diare cukup logis untuk ku meninggalkan tempat membosankan itu."     

Baru setelah itu Nathan tergelak, tawa lepasnya menyembur, terlebih saat Jevin menarik posisi ponselnya lebih jauh untuk menampakkan posisi sebenarnya pria itu berada, toilet.     

"Santai saja, aku akan mendengarkan mu. Oh ya, ngomong-ngomong aku sangat merindukan mu. Meski bisa di katakan bohong, tapi ku rasa aku sedikit merindukan keponakan ku yang sangat jutek itu juga. Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihat wajahnya ketika tumbuh sampai sekarang, dimana dia?"     

Nathan yang mendengar sasaran peran tepat yang akan di bicarakan membuat bibirnya mencebik. Kepalanya lantas tertunduk dalam, setelahnya lagi-lagi menampakkan raut sedihnya pada Jevin yang jelas saja menjadi sangat panik.     

"Oh, tidak-tidak... Jangan menangis seperti itu. Sungguh, aku akan benar-benar menemui mu saat ini juga tanpa pertimbangan. Nath, persetan dengan semuanya!" sungut Jevin yang memang terlalu khawatir. Cukup lelah untuknya menahan rindu dengan jarak ribuan kilometer, tanpa bisa bertatap mata secara nyata, terlebih keinginan besar Jevin untuk mendekap Nathan yang saat ini tengah bersedih.     

"Jev... Bagaimana ini? Aku membuat kesalahan besar, aku sangat bodoh, Jev... Hikss..."     

"Katakan pada ku, Nath... Bukankah segalanya berjalan dengan lancar?"     

"Hikkss... Aku menyakiti hati Zeno, dia begitu marah kepada ku. Aku sangat takut jika ia tak akan pernah memaafkan ku."     

Jevin yang semula berpikir terlalu jauh, lantas seketika menghela napas lega saat hal itu nyatanya tak terjadi. Tubuhnya yang semula tegang, beransur luruh dengan raut wajah yang kembali menenangkan Nathan.     

"Hei, ku dengar hal itu wajar. Mengatur anak kecil memang tak semudah berdiskusi dengan seorang sebaya, kan? Kau tak bisa mengatur segalanya sesuai dengan keinginan mu. Hargai pendapatnya, jika dia ingin meminta waktu mu lebih, maka turuti saja. Aku yakin, perkara sepele seperti ia yang terlalu banyak meminta mainan, kan? Demi apa pun, dia akan segera melupakan semuanya. Jangan tanya kenapa aku seyakin itu, karena dulu aku begitu manja hingga seperti menginginkan segalanya yang ku pandang lebih dari tiga detik. Kau harus bisa bersabar."     

Sementara Jevin yang berucap terlalu panjang untuk menasehati, Nathan malah makin merasakan penyesalan saat menyadari yang di lakukannya memang salah.     

Poin pertama yang begitu jelas adalah karena keegoisannya. Bahkan Zeno yang tak pernah menginginkan apa pun darinya, di kecewakan dengan begitu parah saat satu permintaan kecil anak itu menjadi bagian tersulit untuk Nathan.     

Segera Nathan mematikan panggilan ponselnya. Beranjak dari tempatnya, dan tergesa membuka pintu ruangan yang tepat berada di depan miliknya. Ia tahu letak kesalahannya, memang tak seharusnya ia menyakiti Zeno dengan cara menghindarkannya dari orang yang membuat anaknya itu merasa nyaman.     

Bahkan terlalu buruk saat tanpa sadar Nathan menjelma menjadi sosok yang di bencinya sendiri. Ia seperti menduplikasi keegoisan sang mama, seolah pemikiran was-wasnya menjadi alasan yang patut di benarkan.     

"Zen, apakah kau sudah tidur? Papa boleh masuk, kan?"     

Menatap Zeno yang terbalut selimut di atas ranjangnya, kali ini terlihat begitu tenang tak seperti dua hari berturut-turut sang anak yang terisak.     

Melangkah penuh dengan kehati-hatian, seiring dengan air matanya yang meluruh makin deras. Ia begitu rindu, ingin mendekap sang anak dan menghantarkannya dalam mimpi indah. Ia begitu merindukan rengekan meminta perhatian saat Nathan yang terus menatap layar laptopnya. Ia sangat merindukan anaknya itu.     

Saat semakin dekat dengan posisi ranjang, Nathan pun mendudukkan tubuhnya di atas ranjang, mengambil posisi persis di hadapan Zeno yang meringkuk dengan kelopak matanya yang terpejam.     

"Aku ingin meminta maaf atas sikap ku, sayang... Sungguh, aku tak bermaksud membuat mu seperti ini," sesal Nathan dengan lengannya yang mengusap surai lengket milik Zeno.     

Tak di sangka setelahnya, kelopak mata Zeno terbuka. Namun alih-alih senyum manis yang di balaskan, malah isak tangis dan tubuh kecilnya yang melompat ke dalam dekapan Nathan sembari menangis kencang. "Pa... Hikss..."     

"Zen... Ya, Tuhan! Tubuh mu panas sekali, nak!"     

"Pa.... Hikss..."     

"Tenanglah, papa akan menghubungi dokter, sayang..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.