Hold Me Tight ( boyslove)

Zeno yang terlalu merindukan Max



Zeno yang terlalu merindukan Max

0Saat ini Nathan begitu kalang kabut, langkahnya kebingungan mencari tujuan. Ia lupa jika dokter pribadinya tengah liburan, yang lebih parah pengasuh Zeno pun turut izin pulang beberapa hari karena urusan keluarga.     
0

Nathan benar-benar tak mengerti tentang apa yang harus di lakukannya. Pertolongan pertama untuk menurunkan suhu tubuh Zeno dengan mengompres dahinya, nyatanya tak sedikit pun membuahkan hasil setelah dua jam nyaris.     

Keringat di sekujur tubuh kecil milik Zeno bahkan semakin membasahi, membuat Nathan bertambah cemas dan ketakutan saat wajah pucat pasi anaknya itu nampak begitu lemah. Selimut tebal yang membungkus, nampaknya masih tak begitu berpengaruh sampai-sampai bibir bawah milik Zeno bergetar. Nathan yang bahkan memasukkan memasukkan lengannya untuk menggenggam erat buku tangan Zeno, masih saja tak berpengaruh.     

"Zen, tak punya pilihan lain. Kita harus ke rumah sakit, ya?" bujuk Nathan sembari membangunkan sang anak.     

Namun rupanya Zeno masih saja tak ingin menuruti, melepaskan rangkulan milik Nathan dan menghempaskan tubuh kecilnya kembali ke atas ranjang.     

Tubuhnya malah semakin menggeliat, kepala menggeleng sembari terus merengek menolak penawaran. "Ishhh... Aku tak mau ke rumah sakit. Di sana menyeramkan, aku takut, pa.... Hikss..."     

"Tidak, sayang... Papa bersama mu."     

"Tidak mau...! Hikss..."     

Sementara Zeno yang menangis makin kencang, sedikit tak di pedulikan Nathan yang saat ini coba menghubungi penjaga rumahnya untuk segera menyiapkan mobil. Demi kebaikan, Nathan yang tak sangat khawatir memang tak mempunyai cara lain selain paksaan.     

"Hikss... Aku tidak mau pergi! Aku tidak mau di suntik, pa... Di rumah sakit menyeramkan," jerit serta isak tangis Zeno semakin kencang, tubuhnya benar-benar menggeliat dengan kedua lengan terkepalnya yang meninju di udara.     

Nathan yang mendengar kesakitan Zeno pun ikut menangis, pandangan matanya yang sedikit memburam, namun tak sedikit pun mengurangi langkah tergesanya menuruni tangga.     

Rangkulannya makin di pererat, sesekali Nathan mengecup ceruk leher milik Zeno yang begitu basah dan panas.     

Pintu terbuka, bersambut dengan angin kencang yang otomatis menyerang. Nathan yang masih mengenakan setelah pendeknya, tak mempedulikan, Zeno yang dibalutnya dengan jaket tebal adalah yang utama.     

"Tenanglah sayang... Jika berobat, kau pasti akan cepat sembuh dan tak akan merasakan sakit lagi," terang Nathan sekaligus masih coba untuk membujuk.     

"Tidak mau! Hikss... Aku hanya ingin bertemu dengan paman Max, saja."     

"Pak, tolong bantu menyetir, ya?!" ucap Nathan pada seorang pria paruh baya. Zeno yang merasa tak di pedulikan, lantas meloncat dari atas pangkuan Nathan dan beranjak keluar dari dalam mobil yang sudah akan berjalan.     

"Zeno!" teriak Nathan sekaligus merasa terkejut. Buru-buru ia mengikuti tapak telanjang milik Zeno yang tersapu dinginnya paving.     

Namun belum sampai tubuhnya sampai dan menarik perlindungan pada sang anak kembali, pandangannya malah lebih dulu menemukan sesosok pria yang menjadi arah tujuan Zeno untuk pergi.     

Nathan hanya bisa diam membantu, sorot lampu mobil di belakangnya seolah memantul dan menerangi drama pertemuan dari dirinya yang sudah sangat kejam memisahkan.     

Tiba-tiba saja pria dewasa yang di rindukan oleh Zeno hadir, menapak tumpuan kakinya tepat di depan pintu gerbang yang di buka, seolah sadar batas dengan netra yang otomatis bertemu pandang dengan pemilik yang teralih perhatiannya.     

"Hikss... Paman Max... Aku merindukan paman..." Zeno yang masih saya menangis. Nampaknya bukan atas kesedihan atau pun kesakitannya karena tubuhnya yang tengah lemah, melainkan ekspresi kebahagiaan atas pertemuannya kembali dengan sosok asing yang langsung mendapatkan tempat di hati.     

Bahkan tak sampai hati untuk memisahkan keduanya, Nathan hanya bisa menatap penuh kecemburuan pada Zeno yang begitu manja di dalam dekapan pria jangkun itu. Seolah mendapatkan apa yang di harapkan, bocah itu bahkan malah mengangguk bersemangat saat Max mendatangkan dokter pribadinya untuk memeriksa.     

"Tuh, kan... Apa paman bilang... Kau tak akan di suntik jika setidaknya mau makan dan meminum obat."     

"Tapi aku juga tak suka dengan obat, ku dengar-dengar rasanya sangat pahit," rengek Zeno yang kemudian menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik Max.     

"Tidak... Percayalah pada ku, tak akan separah itu," bujuk Max sembari menyodorkan satu suapan bubur hangat yang baru saja dibuatkannya. Zeno yang menolak pun terus saja menggeleng, tak kuat menahan rasa pahit di mulutnya, terhenti pada suapan ketiga.     

Sementara Nathan melihat interaksi dekat keduanya. Tak berniat mengikis jarak, hanya memaku di tengah kamar Zeno dengan kedua lengannya yang terlipat. Pandangannya sesekali terlempar mengambil objek lain, layaknya masih tak siap untuk bertemu pandang dengan Max yang mengawasinya.     

Nathan yang masih merasa tak menemukan sedikit cela untuk bisa masuk di antara kedua orang yang tengah merindu. Memutuskan untuk membalik badan, dan  beranjak meninggalkan tempat.     

Max yang jelas saja menyadari, singkat tak bisa mencegah pemikiran Nathan yang bisa saja menerka lebih jauh. Zeno di sana, menariknya untuk ikut berbaring dan menggiringnya pada dekapan semakin erat.     

"Sungguh, aku merindukan paman... Papa jahat, dia yang memaksa ku untuk menjauhi mu juga, orang yang di bencinya," adu Zeno dengan netra sayunya yang menatap lurus pada Max. Tak lama setelahnya, setengah tubuh milik bocah itu menumpu di atas dada bidang milik Max, mengistirahatkan dirinya dengan iringan debar jantung milik pria dewasa itu yang mengiringi.     

"Hei, kau tak boleh mengatakan hal itu. Jika papa mendengarnya dan sakit hati, bagaimana? Dia akan sangat sedih, nak..." timpal Max yang mencoba untuk menasehati. Selayaknya memberikan pemahaman dengan cara merangkul baik dan tak memaksakan kehendak pembenarannya sejak awal. Lengannya bahkan terangkat, mengusap tubuh belakang milik Zeno yang tengkurap di atasnya, juga dengan surai basahnya yang di susuri perlahan.     

"Biarkan saja, biar papa merasakan kesedihan seperti ku saat ia berusaha memisahkan ku dari paman."     

"Apakah aku sudah memberitahu mu jika aku amat menyukai seorang bocah manis, menggemaskan, dan begitu baik hati?"     

Zeno yang mendengarkan itu pun langsung beringsut setengah badannya untuk menatap Max kembali. Dengan kedua alisnya yang berkedut, seiring dengan netra bening milik Zeno yang kembali berkaca. "Berarti paman tak akan pernah menyukai ku? Papa mengatakan jika aku adalah anak yang nakal," ucap Zeno dengan beransur bibir bawahnya yang mencebik.     

Max yang kali ini salah bicara, malah tak sengaja menemukan fakta bahkan memang Nathan seingin itu untuk dirinya pergi. "Hikss... Katakan pada ku, apakah paman akan meninggalkan bocah nakal yang tak paman sukai ini?"     

Seketika saja Max menjatuhkan Zeno kembali untuk di dekapnya. "Tidak, paman tak akan meninggalkan mu. Lagipula siapa yang mengatakan jika aku tak menyayangi mu, eh?"     

"Lalu, bagaimana dengan papa?"     

Max menarik kedua sudut bibirnya, pandangannya singkat menerawang, keyakinan penuh kemudian ditunjukkan pada Zeno yang penuh pengharapan. "Aku janji, akan segera berbaikan dengan papa mu. Apakah menurut mu itu ide yang bagus?"     

"Yey!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.