Hold Me Tight ( boyslove)

Yang masih begitu mencintai



Yang masih begitu mencintai

0Sementara pagi yang begitu menggembirakan ada sebuah kediaman megah. Seorang wanita paruh baya yang begitu lincah di usia senjanya, berkutat di dapur dengan menu hidangan yang rutin di suguhkan sebagai kebanggaan.     
0

Seorang bocah berseliweran dan mengganggu pergerakannya, namun sedikit pun tak memancing emosi, alih-alih menyerang sang cucu dengan ciuman bertubi yang membasahi seluruh wajahnya.     

"Huekkk! Mama..." Sementara bocah yang merasa tak nyaman itu lantas mengeluarkan jurus tangisnya. Menjerit keras, dan berlari kencang mencari perlindungan dengan pandangan terbatas akibat netranya yang basah penuh air mata.     

Seorang pria jangkun di sana, terkekeh geli yang setelahnya mengendong sang keponakan yang seperti tak pernah melewatkan satu hari pun dengan mata sembab. "Hei, ada masalah apa kali ini, eh?!"     

"Hikk.... Oma membuat wajah ku basah, dan aku sangat tak menyukainya."     

"Hei, sementara kau melupakan air mata mu yang malah makin memperparah itu, nak."     

Seseorang datang menyahuti, mengambil alih gendongan dari Max, dan membawa anaknya itu untuk di tenangkan. Bukan solusi baik untuk Cherlin yang sama sekali tak pandai untuk membujuk, mendatangi meja makan dan menyansurkan sang anak pada Riki- suaminya itu.     

Jonathan yang ada di sana ikut bantu menghibur sang cucu, sementara Cherlin yang mencuri kesempatan lengah dengan mengecup pipi milik Riki.     

Max yang hanya diam mengamati di posisinya, lantas menarik senyum merasakan bahagia atas gambaran harmonis dari rumah yang sudah sangat lama di tinggalkannya itu. Sedikit pun tak membuatnya menyesal, karena nyatanya sang adik yang telah menjadi makin dewasa dengan penyelesaian masalahnya untuk menjadi sosok yang begitu lapang dada.     

Bukan hal yang membuatnya bisa menerima saat kenyataan adiknya menjadi korban pelecehan seksual semacam itu. Riki yang menjadi beralih sangat di bencinya, bahkan hampir saja meregang nyawa di tangannya. Tak ada pengampunan sedikit pun saat itu, tak ada pula yang berdiri di satu pihak untuk melakukan pembelaan atas penghakimannya terhadap Riki.     

Namun setelah melalui itu semua, nyatanya tak sedikit pun membuat Max merasakan sesal jika tahu akhirnya. Sedikit kesempatan untuk membuka jalan takdir, nyatanya mengubah segalanya yang berkelumit menjadi bagian yang tak pernah terpikirkan saat tarikan ujungnya di tarik dengan penuh kehati-hatian.     

Cherlin yang begitu bengal dan sempat merasakan depresi hingga di larikan pengobatan di luar negeri untuk menghindari pemberitaan lebih buruk setelah pernikahannya yang gagal. Riki yang menjadi pria yang tak pantang menyerah untuk mendapatkan kehendaknya. Adiknya bahagia bersama dengan Riki, terlebih tak ada alasan lain yang jauh lebih mengagumkan saat bocah pria menjadi pengikat hati keduanya.     

"Hei, apa yang kau lamunkan." Sebuah suara menyentak keterdiaman Max. Senyuman indah keibuannya, membuat pria itu ikut tertular hingga tak segan memberikan kecupan di pipi sang mama. "Jangan hanya berdiri di sini, atau kau akan melewatkan sarapan dengan menu terlengkap kesukaan mu kali ini, Max."     

Pria jangkun itu pun terkekeh, menampakkan sedikit kerutan di bagian sudut matanya yang makin menyipit. Tanpa pertimbangan lain, lantas mengikuti jejak langkah sang mama yang kemudian bergabung di meja makan.     

Pembicaraan ringan diiringi dengan tawa yang menyembur, menyelingi suapan asupan makan mereka yang seperti makin menambah napsu. Bukan hal yang mengherankan selain dengan masakan sang nyonya tuan rumah yang begitu menggiurkan, akibat kebersamaan dari dua peran baru menambah keharmonisan semakin maksimal.     

"Aku bertemu dengan bocah itu lagi beberapa hari yang lalu."     

Yang kemudian berganti topik dari Nina yang nampak berbicara serius. Semua orang yang mendengarnya nampak bertanya-tanya, menarik pandang yang nyatanya serupa persis, tak ada yang menemukan jawaban.     

"Haduh... Anaknya Nathan itu loh... Siapa namanya Max?"     

"Zeno."     

"Sumpah demi apa pun, anak itu begitu menggemaskan Max..."     

"Lalu anak ku tak menggemaskan, begitu?" sambar Cherlin dengan suara protesnya. Riki yang ada di sampingnya dengan sang buah hati yang ada di antara mereka, lantas menenangkan rajukan kecil dari Cherlin yang memberenggut.     

"Bukan, sayang... Maksud ku mereka berdua tampak begitu menggemaskan saat berinteraksi. Kalian tahu, saat itu aku membawa Kenzo, kan?" jelas Nina yang kemudian baru mendapatkan kelegaan dari Cherlin. Ya, alih-alih kecupan dari sang suaminya lah yang meredam dan membuat kedua pipinya merona. Max melihat kecentilan sang adik di depannya pun lantas berdecih.     

"Aku sangat iri, karena saat acara pernikahan Cherlin dan Riki membuat ku sangat sibuk dengan jamuan para tamu. Aku bahkan belum sempat mengingat persis wajah bocah itu, sayang," timpal Jonathan, yang membuat tawa semua orang menyembur.     

Nina yang mengompori, kemudian menggenggam tangan Jonathan sebelum kenyataan perih terucap di bibirnya. "Akui saja sayang... Kau sudah sangat tua hingga ingatan mu tak sebaik dari terakhir tahun lalu, haha...."     

Setelahnya waktu mengikis jarak dari mereka, satu per satu mulai beranjak pergi, di dahului dengan Riki yang dihantarkan oleh Cherlin dan Kenzo yang masih begitu manja di gendongan sang papa.     

Max yang akan beranjak dari duduknya, kemudian tertahan oleh sang mama yang penuh dengan semangat berkata, "Aku ingin meminta bantuan Rara lagi untuk bertemu dengan Zeno."     

"Ma.... Bukankah kau sudah mengatakan pada ku jika kali itu yang terakhir?"     

Nina yang mendengarnya pun memberenggut, meminta bantuan sang suami untuk memberikannya dukungan dengan lengan yang di ayunkan.     

"Sayang.... Aku memang tak bisa memungkirinya, aku begitu merasa tertarik untuk terus melihat bocah menggemaskan yang begitu pendiam itu...."     

"Ayolah, Max.... Apakah kau tega melihat mama mu bersedih?" timpal Jonathan yang saat ini ikut bersuara.     

"Bukankah ada Kenzo, apakah itu tak cukup?"     

"Oh ayolah.... Mereka adalah dua bocah yang berbeda sayang. Kenzo dengan sikap uniknya, sementara Zeno dengan keistimewaannya, dan aku menginginkan keduanya..."     

Max pun menghela napas gusar saat sang mama yang terus saja membujuk. "Tak semudah itu lagi, ma... Nathan sudah sangat sulit untuk di dekati."     

"Kenapa kau tak coba cara penekanan bisnis mu saja? Bukankah hal itu sangat mudah? Atau kau mau papa yang meminta Riki mengundangnya atas nama hubungan persahabatan lama dari perusahaan kita dengan milik Nathan? Makan malam bersama?"     

"Pa...."     

Sementara Nina yang begitu girang di atas beban berat Max. "Aku setuju! Bukankah itu ide yang sangat bagus?"     

"Ma..."     

"Ayolah sayang.... Setidaknya aku buat mama mu ini bahagia dengan cara sederhana itu. Lagi pula bukan hal yang merugikan untuk mu juga, kan?"     

Max berdecih, kepalanya terlempar jauh dengan saat tak ada sedikit pun celah untuknya bisa menolak. Orang tuanya terlihat begitu bahagia dengan pengharapan datangnya hari di mana semua orang bersatu.     

Namun tak bisa di pikir semudah itu walau pun memang usulan sang papa mutlak mendapatkan keberhasilan. Ia hanya tak ingin Nathan semakin membencinya. Dalam jarak jauh sekian tahun yang begitu menyiksanya habis-habisan, tak akan semudah itu mempertaruhkan kebencian yang semakin meradang dari Nathan untuknya.     

Terlebih saat Max yang baru saja memasuki ruangannya dengan pemikiran penuh, mendapatkan sesuatu yang mengejutkan dari dua kotak pengirim atas dua nama orang yang berbeda. Max mengenal masing-masing dari keduanya, membuat pria itu buru-buru merobek kertas aman yang membungkusnya, sebelum hantaman keras mengenai sudut hati pria itu.     

Apakah Nathan memang benar-benar bermaksud untuk kembali menyingkirkannya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.