Hold Me Tight ( boyslove)

Max yang tak menyatakan tujuan jelas



Max yang tak menyatakan tujuan jelas

0Pria jangkun itu melangkah terburu-buru, membelah kerumunan yang menggangu jalannya. Semua orang jelas saja terkesima, bahkan sejenisnya pun nampak begitu rela untuk bertekuk lutut dengan pria dengan setelan yang menjerit mahal.     
0

Tampang rupawan dengan tubuhnya yang begitu atletis, seketika di maafkan walau raut datar itu tak segan menghempas jauh siapa pun yang coba mengikis jarak atau pun merecok.     

Jika tidak karena masalah penting, jelas saja Max tak akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat remang-remang dengan suara musik yang begitu bising. Kepalanya bahkan bertambah makin berdenyut, terlebih kegeramannya saat menghadapi seribu cara para wanita yang seakan rela menelanjangi tubuhnya di depan umum hanya untuk menarik perhatiannya.     

Pandangannya meliar ke setiap sudut ruangan, netranya yang menyipit coba untuk memfokuskan. Cahaya warna-warna yang menabrak terus berganti, sampai akhirnya seseorang yang menarik janji temu dengannya terlihat di salah satu meja.     

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, Max pun segera duduk di hadapan Tommy. Seorang wanita yang ada di pangkuan kawan Nathan yang pertama kali menyadari. Lantas berjengkit bangun dari posisinya, bukan untuk meninggalkan, melainkan berganti sosok yang di goda.     

Max yang tak sengaja bertemu pandang dengan wanita yang seperti nyaris menampakkan seluruh payudaranya itu, hanya menampakkan dirinya tak sedikit pun tertarik. Wanita yang semula memberikan godaan dengan sapuan lidah di bibir berpoles merah darahnya, lantas di buat memberenggut, terlebih saat Tommy yang merasa terkhianati, tanpa basa-basi langsung mengusir wanita jalang itu.     

Tak heran jika Tommy hanya menjadi pilihan yang kesekian, Max yang sempurna dalam segalanya, jelas tak coba untuk di sandingkan.     

Bahkan seperti tak ada yang bisa menolah kesempurnaan unggul milik Max. Ya, terkecuali Nathan yang bodoh dan tak menyadari pengaruh dahsyat dirinya yang bahkan bisa membuat pria berparas oriental itu tergila-gila.     

Entahlah, tapi mungkin Tommy akan menyebut kesempurnaan Max adalah sesuatu yang di dapatkan sia-sia. Pria jangkun itu seperti tak memanfaatkan sedikit pun untuk menggoda para wanita menggoda, alih-alih masih berputar pada pria yang masih saja tak peka dan buruknya begitu keras kepala.     

"Dia memberikan ku jam tangan itu sebagai bonus hadiah ulang tahun. Tapi, ya... Aku tahu jika itu pemberian dari mu. Rasanya aku tak berhak untuk bersikap tak lebih peduli tentang itu. Jadi... Ku kembalikan saja pada mu," jelas Tommy tanpa perlu basa-basi. Pertemuaan mereka memang untuk membicarakan benda itu.     

Sementara Max mendengarkan hal itu dari sosok pengirim jam tangan miliknya, merasa begitu miris saat mendapati Nathan yang masih tak berubah.     

Demi apa pun, bukankah Zeno yang bersaksi jika jam tangan itu selalu menjadi barang wajib kesayangan Nathan? Namun setelah lima tahun lamanya dan kemudian ia kembali, akankah Nathan yang menjadi tak nyaman lagi hingga memilih mengembalikan pemberiannya?     

Lantas makna Nathan yang selalu nampak mengenakan jam tangan itu sebelumnya, apa? Hanya selayaknya barang dengan kegunaan tanpa bekas kasih sayang yang di rasakan, apakah seperti itu Nathan memandang pemberiannya?     

"Hahah... Rasanya dia memang terlalu serius untuk membenci ku. Bahkan pemberian ku untuk Zeno pun di kembalikan," timpal Max dengan nada suaranya yang berubah miris.     

Ponsel untuk memudahkan komunikasinya dengan Zeno pun turut menjadi sasaran, Nathan nampaknya benar-benar membentengi lingkupnya terlalu kokoh untuk dapat di masuki lagi olehnya.     

"Ehmm... Benarkah?" sahut Tommy yang rupanya salah sangka. Pikirnya hari di mana ia bekerjasama dengan Nathan untuk memisahkan Max dan Zeno adalah waktu pastinya. Hanya ketar-ketir jika saja Max mengetahuinya yang ikut campur memisahkan, dan berada di kubu berlawanan dengan Max yang saat ini di temui.     

Tommy yang jelas saja merasa bersalah karena secara tak langsung membuat Max tak ada harapan sedikit pun untuk berkomunikasi lagi dengan Zeno, membuat pria itu merasakan belas kasihan untuk pria jangkun itu. Keduanya yang nampak begitu dekat dengan jangka waktu yang begitu singkat, di rasakannya kedekatan emosional antara Max dan Zeno yang mestinya tak bisa begitu saja di putuskan hanya karena perkara ego milik Nathan yang begitu tinggi.     

"Max, apakah kau masih mencintai Nathan?" Imbuh Tommy yang setelahnya mempertanyakan.     

"Waktu atau pun jarak jauh tak bisa membuat perasaan ku padanya menghilang begitu saja."     

"Lalu wanita yang dulu menjadi tunangan mu? Bagaimana kelanjutannya?"     

Max yang mengernyitkan dahi dalam, sedikit tak di pahami karena topik yang seakan tiba-tiba saja menarik peran. Bahunya terangkat acuh, setelahnya dengan penuh keyakinan berkata, "Tak ada yang berarti, aku dan dia hanya sebatas kawan sejak dulu. Bukankah aku sudah mengatakannya pada mu?"     

"Aku sudah menebaknya sejak awal!" gemas Tommy yang sampai meninju udara. Ingatannya pun lepas pada pembicaraan beberapa waktu lalu dengan Nathan. Sang kawan yang nampak begitu emosi setelah pengusiran paksa pria itu pada Max, nampaknya terlalu tak terkendali hingga bentuk kemurkaan Nathan pada Max makin menjadi saat mendapati Lea yang menghubungi.     

Jelas saja, Nathan tengah cemburu, kan?     

"Kenapa?" Max mempertanyakan raut Tommy yang dengan kurang ajarnya malah nampak girang. Gelengan kepala pun di dapatkan, hingga pembicaraan yang sedikit terhenti dengan Tommy yang menyodorkan gelas untuk bersulang.     

"Ku pikir Nathan salah paham terhadap mu, atau kau yang memang sejak awal tak memberitahukan padanya mengenai niatan kehadiran mu kembali?"     

"Maksud mu, Nathan salah paham?" tanya Max yang masih tak memahami  bagian itu.     

"Ish... Mulut ku ini!" Sementara Tommy yang tak berniat untuk terlibat pun menyesali perkataannya yang membocorkan amanah dari Nathan. Mimik wajahnya berkerut panik, bahkan permukaan bibirnya di pukul beberapa kali karena asal terbuka. "Harusnya aku tak membocorkan hal ini, terlebih pada mu, kan? Kawan macam apa aku?" sesal Tommy. Ya, karena sesaat lalu ia hanya terlalu antusias karena menemukan kunci permasalahan hubungan rumit antara Max dan Nathan itu.     

"Kau bisa meminta imbalan apa pun, asalkan beritahu aku semuanya," bujuk Max yang bahkan nampak begitu memohon.     

"Hei, semurah apa aku sebagai kawan jika caranya seperti ini?"     

"Bukankah aku adalah kawan mu juga."     

"Max... Tolonglah.... Jangan mendesak ku seperti ini."     

"Harus dengan cara apa lagi aku memohon pada mu?"     

"Bangsat!" Tommy mengumpat, tak ada jalan untuknya menarik ucapannya atau pun menolak permintaan Max yang begitu memelas. "Baiklah, aku hanya menceritakan yang ku tahu saja. Nathan tak ingin kau merebut Zeno darinya."     

Max lantas tak habis pikir dengan alasan konyol itu. "Hei, ku pikir dengan aku mendekati Zeno, papanya akan bersimpati pada ku."     

"Jangan salah, Nathan adalah manusia paling merepotkan di muka bumi ini. Seolah tak bisa menemukan jalan yang sederhana dan segera membuatnya bahagia, alih-alih memilih rute berliku yang membuatnya beransur seperti melupakan arti hidupnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.