Hold Me Tight ( boyslove)

Menjadi semakin keras kepala



Menjadi semakin keras kepala

0"Sepertinya memang aku tak bisa mentolerir bentuk terkecil sekali pun. Entah alasan barang mahal atau kenangan yang sempat terpikir dalam benak ku indah." Nathan berucap lirih dengan rautnya yang berubah begitu datar. Lantas membuat Tommy bergegas beranjak dari tempatnya saat Nathan yang seperti tergesa untuk meninggalkan ruangannya.     
0

"Nath, jangan gegabah," redam Tommy yang masih mencengkram erat pergelangan tangan Nathan.     

Membuat pria yang terhalang jalannya itu menarik kedua sudut bibirnya begitu tipis. Sempat di rasanya lepas kendali dari raut dingin yang di tampilkannya sesaat tadi. "Hei, Tom... Aku sudah tidak merasa jika jam tangan ini milik ku. Jika kau tak ingin menerimanya, orang lain tak mungkin menolak, kan?"     

Segera saja Tommy menarik tubuh Nathan ke dalam pelukannya, menyalurkan ketenangan dengan telapak tangannya yang mengusap lembut belakang tubuh milik sang kawan. Menganggukkan kepala, tak ada cara yang lebih buruk dari pada pura-pura buta atas kesakitan dari sang kawan yang pastinya meninggalkan bekas luka yang mustahil lagi untuk di tunjukkan, sekali pun terhadap dirinya.     

"Ku rasa ini adalah ulang tahun dengan kado termewah sepanjang hidup ku. Sekaligus mendapatkan dua jam tangan dengan dua merek berkelas?"     

Nathan yang menerbitkan kembali senyum di bibirnya saat mendapati Tommy yang secara tak langsung mengatakan jika menerima barang bekas kenangannya. "Hanya jika kau tak berekspektasi tinggi saja setelah tahun selanjutnya." imbuh Nathan yang lantas terkekeh geli.     

"Ah... Bahkan aku tak menunggu waktu lebih lama lagi, sekarang saja aku sudah benar-benar rakus setelah kau unjuk secuil harta mu."     

Nathan tergelak, lantas melepaskan dekapannya dan memberi pelajaran pada Tommy yang terlalu jujur. Getokan di puncak kepala membuat pria itu meringis kesakitan.     

Nathan yang kemudian meletakkan jam tangan ke dalam kantung kemeja milik Tommy. Menepuknya sejenak, lantas memutar badan setelah menghadiahi bonus keduanya berupa lidah menjulur dan bagian bawah dari satu mata milik Nathan yang sengaja di tarik untuk meledek.     

Setidaknya Tommy bisa melihat kawannya sedikit lebih baik, kan?     

"Nath, apakah kau masih dalam mode dermawan mu?" Tommy mempertanyakan, membuat Nathan yang bertopang dagu di mejanya mengangkat satu alis.     

Kemudian pria itu berjalan semakin mendekat, menumpu satu lengannya dengan yang lain berkacak pinggang tepat di samping Nathan yang memutar kursinya untuk menghadap. "Rasanya sekedar makan malam berdua saja dengan mu sebagai bentuk perayaan, bukan lagi menjadi ekspektasi ku. Benar-benar ingin memanjakan satu-satunya kawan yang masih bertahan sampai saat ini dengan mu, kan? Sungguh, apakah permintaan ku meminta satu wanita untuk bercinta tak memberatkan mu?"     

"Bangsat, dasar tak tahu diri kau!"     

***********************************     

Ponsel yang di letakkan Nathan di atas meja kerjanya bergetar, membuat Nathan semula fokus pada pekerjaannya menjadi terganggu sejenak.     

Tanpa melihat nomor yang tertera di sana, Nathan yang intens pandangnya masih terpaku pada layar monitornya pun menggulir panggilan untuk menerimanya. Sebelum sempat bibirnya terbuka untuk menyapa, terlebih dahulu sebuah suara rengekan melepas tubuh tegangnya.     

"Pa, bukankah aku sudah mengatakan jika aku tak suka sendirian di rumah?"     

"Bukankah ada bibi Tami yang menemani mu? Kau bisa mengajaknya bermain, sayang."     

"Tapi dia membosankan, terus menyuruh ku tidur siang jika pertanyaan ku tak bisa di jawabnya."     

"Hahaa... Aku bahkan tak bisa menjawab pertanyaan mu yang terlalu kritis seputar gambar mu itu, sayang. Lagi pula di jam segini, biasanya kau juga tertidur, kan?"     

"Ya, karena papa di samping ku dan aku bisa mengawasi."     

"Tapi aku tahu kau tak nyaman untuk merebahkan tubuh mu hanya di atas sofa, kan?"     

"Tak lebih buruk dari aku yang merasa kesepian seperti sekarang."     

"Ya, ada baiknya untuk diri mu mulai beradaptasi dengan lingkungan, kan? Aku tak bohong, kau tak lagi merasa kesepian jika memiliki setidaknya satu teman."     

"Bukankah aku sudah mengatakan tak mau berteman dengan siapa pun?" tekan Zeno yang membuat Nathan menjatuhkan tubuh lelahnya untuk bersandar ke kursi. Sang anak menjadi semakin mirip dengannya, layaknya tak patut membuatnya naik darah jika nyatanya memang seperti memprotes dirinya sendiri.     

"Zen, kita adalah makhluk sosial, tak bisa selamanya kau berprinsip seperti itu."     

"Aku sudah memilih satu, tapi papa mempersulitnya, kan?"     

"Maksud ku yang sebaya, Zeno..."     

"Kenapa papa berubah semakin menyebalkan? Sungguh, aku tak masalah lagi jika kantor papa tak lagi di mengizinkan ku untuk bermain, tapi setidaknya bisakah papa memberikan ku ruang bebas untuk bertemu dengan paman Max?"     

Zeno merengek, suaranya berubah melengking dan membuat Nathan yang harus lebih bersabar mengatur emosi. Pengaruh Max memang tak bisa di hilangkan dalam ingatan Zeno yang sudah tertipu daya. Sogokan berubah kiriman mainan selama nyaris satu minggu ini nyatanya tak berlaku untuk Zeno. Anaknya bukan tipe yang memang mudah teralih fokus, ia terlalu teguh pada keinginannya, dan itu adalah jelas bagian tersulitnya.     

Mendengus kasar saat setelahnya dengung ponsel yang di matikan secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.     

Nathan lantas memijat pelipisnya yang terasa makin berdenyut, terlebih saat nomor tertera asing yang baru saja menghubungkannya dengan Zeno. Anaknya jelas saja masih menyimpan benda pemberian dari paman kesayangannya itu. Rasanya tak terlalu maksimal walau ia yang sebelumnya melemparkan bekas memori pria berparas oriental itu.     

Zeno yang awalnya hanya diam saat dua orang pria yang mulai di perintahkan untuk mengawal, rasanya sebagai bentuk kekesalan yang menumpuk saat di ketahui bocah itu tentang tujuan sebenarnya Nathan melakukannya.     

Nathan hanya ingin memisahkan kedekatannya dengan paman Max saja, tak mengerti inti kebencian dari yang di simpulkan bocah itu mengenai permasalahan orang dewasa.     

"Aku bisa membersihkan bibir ku sendiri."     

"Tapi masih ada bekas yang tertinggal di sana, sayang..."     

"Ishhh! Ku bilang aku bisa membersihkannya sendiri."     

Setelahnya hubungan ayah dan anak itu makin memburuk. Zeno yang tak lagi menampilkan wajah menggemaskannya dengan bibirnya yang mengulas senyum. Alih-alih terus saja memberenggut, lantas menyeruakkan bentuk protesnya setelah itu beranjak pergi meninggalkan dengan hentakan langkah kecilnya yang begitu kasar.     

Sarapan atau pun makan malam bersama keduanya tak lagi sama dengan bentuk perhatian yang saling di tunjukkan. Menjadi bagian yang paling menyakitkan, saat Zeno yang lebih memilih untuk melawan rasa takutnya untuk tidur sendiri di bandingkan dengan menyusup dalam selimut sang ayah seperti sejak awal.     

Nathan menatap nanar pada celah pintu terbuka milik sang anak. Zeno di sana, meringkukkan dengan terlihat getar tubuh yang terbalut selimut. Sayup terdengar isakan tangis dari dalam sana, bohong jika di katakan tak bermasalah sedikit pun untuknya. Hati Nathan terasa di sayat-sayat, rasanya begitu perih saat mendapati alasan Zeno miliknya itu bersedih.     

Namun memang tak bisa membuat niatan keukeh nya berubah begitu saja. Pemikirannya masih begitu batu, yang masih di pikir baik-baik saja lepas waktu yang nantinya mengambil alih.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.