Hold Me Tight ( boyslove)

Menghapus jejak



Menghapus jejak

0Sungguh, setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Nathan masih saja tak bisa memahami niatan Max untuk kembali dalam hidupnya.     
0

Masih di pikir biasa saja saat awal mula keterlibatan mereka hanya sebatas urusan pekerjaan. Di pikirnya, ia bisa berperan sebagai sesosok asing, setelah lima tahun yang memisahkan.     

Namun selayaknya tak ingin menunggu waktu lama untuk segera di sadari olehnya, satu per satu peran yang terlibat dalam masa lalunya lantas hadir. Benar-benar membuat muak saat yang di tarik intens termudah adalah anaknya.     

Max benar-benar sudah membuatnya naik pitam dengan cara pria jangkun itu mendekati Zeno tanpa batas. Seolah perkenalan dan saling sapa saja tak cukup, pria berparas oriental itu lantas menjadi amat lancang dengan kedekatannya yang tak berizin.     

Bercerita segala hal tentang masa lalu yang melibatkan mereka. Bertambah makin parah saat dengan mata kepalanya sendiri, Nathan melihat tante Nina- Mama Max coba untuk ikut campur dengan ketertarikan serupa.     

Sang mama yang kali ini turut tak bisa di percaya, layaknya menjadikan Zeno sebagai miliknya pula, dan seolah memberikan ruang terbuka terlalu lebar untuk peran lain masuk.     

Max yang saat itu berada di ruangannya, alih-alih menjemput Zeno seperti yang sebelumnya, membuat Nathan semakin yakin jika ketiganya terlibat untuk mengusik hidupnya lagi.     

Tahun-tahun terakhirnya yang begitu damai tanpa gangguan, seperti seketika saja lenyap dengan menyisakan kecemasan dan pemikirannya yang berkelumit.     

Nathan tak mengerti cara supaya semua orang memahami kepemilikannya yang tak bisa di usik, yang di lakukannya saat ini hanyalah sebatas meletakkan benteng kokoh untuk menghindari penyusup yang tak tahu aturan seperti mereka.     

Memang upaya pertahanan, namun tak memungkinkan juga untuknya bertindak lebih jika memang di butuhkan. Ya, rasanya bukan hal yang di katakan terlalu terlambat, jika saja ia tak terlalu mengambil sisi baik dari suatu pemberian.     

Segera ia mengangkat ganggang telpon, menekan saluran penghubung cepat pada sang kawan untuk segera datang ke ruangannya.     

Tak menunggu waktu lama untuk Tommy datang dan membuat kegaduhan hanya dengan membuka tutup pintu, jalannya yang bahkan sama sekali tak elegan, seperti terlalu menghentak dan jelas saja mengganggu pendengaran.     

Layaknya paket komplit yang meramaikan, bibir yang terbuka sesaat setelah mendudukkan bokongnya di kursi seberang meja milik Nathan. Bersuara dengan begitu keras seolah sang boss harus benar-benar memasukkan ucapannya ke dalam pendengaran. "Ku harap bukan suatu masalah yang kau ceritakan pada ku. Demi apa pun, bisakah sedikit saja tentang ku?"     

Tommy terlihat memberenggut, tubuhnya bahkan condong ke depan seolah ingin menantang adu fisik terhadap Nathan yang di protes.     

Selayaknya tak menggubris ucapan tak jelas dari sang kawan, Nathan hanya tersenyum tipis sembari kepala yang menggeleng, tak menyangka jika Tommy akan sangat menjijikkan jika menampakkan dirinya manja seperti saat ini.     

Melihat respon Nathan yang tak sesuai dengan harapan, Tommy yang melipat ke dua lengannya di dada hampir saja menyambung kalimat sindirannya. Jika saja Nathan tak membuat pergerakan dengan mengambil sesuatu di laci meja kebesarannya.     

Seketika saja sumpah serapah tertahan di ujung lidah, mengganti sekaligus responnya menjadi berubah seratus delapan puluh derajat, Tommy sudah seperti membatu dengan mulut yang menganga.     

"Selamat bertambah tua. Ku harap tak terlalu kekanakan dengan hadiah yang selalu kita tukarkan masing-masing setiap tahun," ujar Nathan dengan menggidikkan ringan kedua bahunya. Kemudian mendorong kotak berwarna hitam elegan dengan ukiran merek berkelas, membuat Tommy begitu tercengang dan setelahnya begitu bersemangat membuka hadiah miliknya.     

"Serius kau membelikan ku jam tangan mahal ini? Bukan karena aku yang mengkode mu melalui pesan beruntun berupa artikel penerbitan barang mewah ini, kan?"     

Nathan menghela napas panjang, kemudian rautnya di buat membanggakan dengan kerah kemeja yang di tegaskan. "Ku rasa aku cukup peka untuk menyamai mu, itu saja."     

Keduanya lantas terbahak, Tommy yang begitu gembira, tak menunggu waktu lebih lama lagi untuk memasang jam tangan bentuk kebanggaan diri itu di pergelangan kanannya.     

Menarik lengannya tinggi dengan netranya awasnya yang menyipit tajam seolah menempatkan posisi terlihat supaya bisa di pandang orang. Kanan adalah letak paling baik untuk bisa memamerkan hadiah mahal dari kawannya itu. "Sungguh, ini benar-benar sangat indah. Nath, nampaknya hanya baru kali ini saja aku bisa merasakan keuntungan bertahan menjadi kawan mu selain posisi tinggi yang kau tempatkan pasti pada ku."     

"Sialan! Kau pikir hadiah ku selama ini tak berharga?"     

"Ya, ku katakan hanya sebatas berkesan saja. Hei, tahun depan akan lebih mahal dari ini, kan? Misalnya kau yang akan membantu ku mencicil rumah megah yang di jual di samping rumah mu?"     

"Hei, kau pikir aku adalah mesin uang berjalan berkedok kawan untuk mu?"     

"Setidaknya kau harus melihat harga atas kehadiran ku yang seperti psikolog pribadi mu ini, Nath." Tommy yang dengan bangganya menepuk dada dengan kepala terangkat, memancing Nathan untuk terkekeh lebih lepas.     

Nathan pun singkat menundukkan pandangannya, menarik intens pada benda terbungkus lain yang masih ada di dalam laci. Sedikit membuat tarikan bibir di kedua sudutnya memudah, jika bukan karena tujuan utamanya yang harus di laksanakan.     

"Ya, rasanya kau memang begitu berharga untuk ku."     

Nathan mengansurkan kotak lain pada Tommy yang ternganga di tempat hadapannya. Tak lekas di ambil, pria itu malah menatap kebingungan, yang jelas dahinya yang berkerut dalam masih tak menyangka pemberian untuk hari spesialnya akan sangat bernilai tinggi.     

"Hei, ku rasa kau mulai menganggap ku sebagai seorang kawan yang matre." Tommy berubah sungkan, dengan ringisan sedikit menyayangkan, kembali mendorong kotak serupa mahal hanya dengan merek yang berbeda itu.     

Sementara membuat Tommy makin mendesis merasa gemas, terlebih saat Nathan menghadang dan meletakkan kotak itu tepat di hadapan sang kawan yang berubah malu-malu. "Itu hanya sekedar bonus."     

"Bonus? Orang gila mana yang mengatakan barang dengan harga setinggi langit ini semacam hadiah sampingan seakan tak ternilai? Nath, ini terlalu berlebihan. Sungguh, dalam hati ku sudah begitu bungah, jangan membuat ku seperti dalam mimpi yang tiba-tiba saja kejatuhan hoki seperti ini."     

Nathan pun menghela napas gusar, niatannya untuk memberikan tanpa penjelasan rasanya mengganjal. "Aku tak membelinya, ku harap kau mau menerima bekas pemberian orang lain untuk ku. Maksudnya, tak mungkin aku menyia-nyiakan barang seperti ini dengan hanya menghancurkannya begitu saja, kan?"     

Tommy yang menyipitkan mata, saat memahami ucapan Nathan. Buru-buru membuka kotak kedua itu dan mengamati detail jam tangannya.     

"Ehmm... Jika kau tak mau, kau bisa menjualnya, kan?"     

"Bukankah ini dari Max?" sergap Tommy dengan netranya yang berubah menyipit tajam. Menunjuk jelas ukiran inisial dari gabungan nama di belakangnya. Demi apa pun, pria itu sudah tak lagi merasakan harapan tinggi untuk bisa menerima. Bukannya tak sudi menampung barang dengan bekas memori yang tertinggal di sana, hanya saja Tommy tak ingin Nathan menyesal karena begitu saja memberikan kenangan berharga atas hubungannya begitu saja. "Ku pikir aku tak bisa menerimanya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.