Hold Me Tight ( boyslove)

Mempertanyakan tujuan datang



Mempertanyakan tujuan datang

0"Aku memang benar-benar tak bisa menipu mu, ya?"     
0

"Ya, itulah kerugiannya berteman dengan ku yang terlalu peka?"     

Meringis pelan, Nathan nampak jauh lebih tenang dengan beransur tubuh menegangnya menjadi sedikit rileks.     

Tommy menambahkan dengan tepukan di bahu sang kawan, membuat Nathan sedikit bisa menarik napas lega.     

"Aku memang mempermasalahkan apa pun." Nathan mengangkat kedua bahunya dengan bibir mencebik. "Ku pikir memang begitu, Tom. Namun saat aku berpikir jauh lebih dalam, rasanya ada sebagian dari dalam diri ku yang seperti terpenjara pada memori lampau. Terlanjur sifat buruk yang ku ketahui, rasanya begitu sulit untuk bisa ku rubah sepenuhnya."     

Setelah itu Nathan bercerita tentang bagian terlewat mengenai perjalanannya sampai saat ini. Tak terlalu mulus walau setelah hubungannya dengan sang mama di katakan cukup membaik.     

Rasanya wanita paruh baya itu terlalu menjadi pengatur saat mengetahui celah kedekatan mereka. Perlahan menata hidupnya yang seolah tak sedikit pun menempati bagian yang benar.     

Tentang datangnya foto-foto wanita di tahun kedua setelah gagalnya pernikahannya dengan Cherlin, masih di pahami sampai coba di turuti oleh Nathan. Namun menjadi semakin tak logis lagi setelah di rasakan sang mama seperti terus mendesaknya untuk memilih, bagian terburuk yang tak bisa di terimanya adalah rencana usulan sang mama yang akan menghilangkan Zeno dari hidupnya.     

Di letakkan dalam panti asuhan dengan dalih perawatan dan kawan-kawan yang ramai dan bisa menemani Zeno, membuat Nathan benar-benar merasa murka hingga memutuskan keluar dari kediaman milik sang mama dan memilik kembali ke rumah sang papa yang hampir saja terjual.     

Sang mama memang meminta maaf dan berjanji tak akan mengulang pemikiran untuk memisahkannya dengan Zeno. Hanya saja meninggalkan waspada berlebih untuk Nathan sampai dengan saat ini. Sang mama yang berulang kali mempermainkannya dengan ulah egois, nampaknya memang tak akan sepenuhnya mendapatkan tempat penuh di hidupnya.     

Tommy yang mendengarnya jelas masih tak menyangka, merasa bersalah dan seperti tak berguna saat rapuhnya Nathan yang dahulu seperti tak bisa terobati. Ia yang terlambat datang dan terlalu terfokus pada obsesi gilanya menjajah wanita, layaknya menari di penderitaan sang kawan. Ya, saat itu memang sudah hanya dirinya  tersisa yang berada terdekat dengan Nathan, kan? Galang dan Aki yang telah memutuskan pergi, tak tahu lagi apa jadinya jika nanti ia yang terakhir dan meninggalkan Nathan yang masih begitu lemah.     

"Hei, apakah kau masih tak melihat tante Rara sebagai orang baik? Sungguh, dia telah berubah, Nath," balas Tommy yang berusaha memberikan pemikiran positif pada Nathan.     

"Ya, aku tahu."     

"Rasanya kau memang menjadi papa yang terlalu protektif untuk Zeno."     

"Ya, mungkin aku hanya tak ingin kehilangan lagi satu-satunya milik ku."     

Nyatanya setelah mencurahkan seluruh isi hatinya pada Tommy, Nathan masih saja merasakan ganjalan batu besar yang seperti menghimpitnya.     

Ia seperti tak benar-benar bisa merasakan lega sesaat tadi, karena setelahnya langkahnya kembali bergerak kalang kabut, memasuki mobil merah miliknya, dengan tancap gas kencang meninggalkan tanggung jawabnya di jam kantor. Tommy tak bisa mencegah, hanya menatap kepergian sang kawan dengan hela napas panjang penuh belas terhadap hidup Nathan yang seperti banyak cobaan.     

Tiba di saat yang begitu tepat saat anak-anak murid berseragam itu keluar dari dalam gerbang. Para orang tua yang telah menjemput kemudian menjulurkan tangan untuk menuntun anak mereka masing-masing.     

Netra milik Nathan masih meliar untuk mencari Zeno. Senyumnya terbit saat tak beberapa kemudian menatap sang anak yang berjalan elegan sendirian di deretan paling belakang murid-murid berseragam itu.     

Langkahnya sudah akan bergerak cepat dan membujuk segala macam untuk setidaknya bisa membuat Zeno memaafkan keterlibatan tak sengaja karena telah membuat bocah itu tak nyaman. Memberikan pelukan awal yang di yakini bisa membuat Nathan seketika merasakan ketenangan dan mendamaikan. Namun nyatanya tak terencana begitu saja saat kedatangan beberapa orang mendahului tujuannya. "Zen_" bahkan panggilannya pun terputus, rahangnya berubah mengetat terlebih saat bersamaan Zeno di tarik menjadi objek pembicaraan.     

"Ya, namun nyatanya aku lebih tak bisa mempercayai siapa pun lagi."     

Setelahnya Nathan membalikkan tubuhnya, kembali memasuki mobil dan memutar arah untuk kembali ke gedung kantor miliknya. Sesekali lengannya yang terkepal erat menghantam setir kemudi, segala perkara kecil mengenai kendaraan pelan yang menghalangi jalannya membuatnya mengumpat dengan bonus klakson berulang.     

Terlalu terburu-buru hingga mengabaikan Tommy yang hendak mempertanyakan keberadaan Zeno, Nathan bahkan seperti bisa saja menghancurkan pintu kaca ruangannya saat lengan terkepal erat itu menghantam.     

Saat yang turut membuat Tommy ngeri, tak bisa membayangkan suasana hati buruk Nathan terlebih saat sang kawan mendapati seseorang yang sudah menunggunya di dalam ruangan.     

Max di sana, membuat Nathan yang terlalu muak dengan raut wajah yang seperti tak menunjukkan sedikit pun kesalahan.     

Dengan emosi yang sudah mengalir ke sekujurnya, membuat Nathan yang tak lagi ragu untuk berpura-pura baik walau selayaknya dua orang asing sebelumnya.     

Mencengkram kerah kemeja milik pria jangkun itu, kemudian menghempaskan sekuat tenaga tubuh besar Max hingga membuat beberapa langkah mundur.     

"Bukankah sudah ku katakan pada mu untuk tidak terlalu dekat dengan Zeno?" peringat Nathan dengan lengannya yang tak lagi ingin sopan santun dengan menunjuk tepat di wajah milik Max.     

"Hei, apa yang kau katakan? Tenangkan lah diri mu."     

"Bagaimana aku bisa tenang saat kau selalu saja membuat masalah untuk ku?!" bentak Nathan yang kemudian meninju kepalan tangannya tepat di dada milik Max. Ia benar-benar terlampau emosi, netranya yang memerah bahkan menampakkan berkas nanar.     

"Maksud mu?"     

"Apa yang kau katakan pada anak ku? Bukankah kau terlalu lancang untuk mu bercerita tentang masa lalu yang tak penting itu?"     

"Memang kenapa? Kau tak memandangnya sebagai suatu yang membahayakan hidup mu, kan?"     

"Kau pikir?" Nathan yang muntlak menunjuk pelipisnya sendiri dengan tekanan yang keras.     

Max yang hendak berjalan mengikis jarak, tertutup batas seketika saat Nathan yang menyadari terburu-buru menghindar dengan pandangan yang melempar jauh selayaknya tak ingin terpengaruh.     

"Sudah, aku tak ingin melihat mu mempengaruhinya lagi. Pertemuan kita hanya sebatas kontrak pekerjaan, dan benar-benar tak akan ku izinkan kau untuk menyentuh anak ku!" Imbuh Nathan sebagai keputusan final. Membuat Max yang hendak memprotes seketika bungkam saat kembali Nathan memberikan peringatan.     

Nathan yang setelahnya memutar badan berniat memutuskan pembicaraan, melupakan kejadian sesaat lalu yang turut membuatnya merasa geram.     

"Katakan juga pada mama mu, untuk tak lagi mencoba mendekati anak ku. Demi apa pun, aku tak mengetahui tujuan kalian datang dan mengganggu ku seperti ini lagi."     

Drrtt     

Ponsel milik Max berbunyi, tanpa sengaja di terpampang kontak nama seorang wanita yang di kenalnya.     

Nathan yang kemudian terburu-buru mengambilkan benda milik Max yang tertinggal di meja, mendorong kasar benda milik pria jangkun itu di dadanya. Yang kemudian menjulurkan tangannya menunjuk pintu dengan mimik wajah yang berang. "Keluar dari ruangan ku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.