Hold Me Tight ( boyslove)

Memori terselip



Memori terselip

0Rara yang berniat menguapkan makanan ke dalam mulutnya pun di batalkan. Mengeja pertanyaan yang terlontar dari bibir Nathan yang setelahnya membuat kernyitan di dahi wanita paruh baya itu makin dalam. "Kau pikir memangnya apa?"     
0

"Tidak, hanya saja ku rasa dia seperti menghindari ku saja," sahut Nathan yang langsung menyumpal mulutnya dengan makanan.     

Sementara Rara yang kemudian tersenyum getir. "Haha... Maklumi saja, dia mungkin tak ingin membuat mu merasa tak nyaman."     

"Ehmm... Padahal aku biasa saja," gerutu Nathan masih dengan mulut penuhnya yang terisi, tapi nyatanya cukup jelas masuk ke dalam pendengaran Zeno atau bahkan Rara yang berada di seberang.     

Setelah menandaskan makanan di piring masing-masing, ketiganya pun lantas beranjak dari atas tempat duduk mereka. Berjalan beriringan menuju pintu keluar.     

Dalam posisi Nathan yang mengambil tengah akibat Zeno yang beringsut begitu mudah untuk menyembunyikan tubuh mungilnya.     

Namun rasanya tak bisa bertahan lebih lama lagi saat langkah kompak terpaku di sisi dua mobil yang terparkir di pekarangan rumah.     

Nathan yang masih menanti keinginan selanjutnya dari datangnya sang mama, lantas di sisi lain mengabaikan cengkraman tangan mengetat dari genggaman Zeno.     

Membuat bocah itu kemudian memberenggut, dengan hentakan kasar kaki mungilnya saat perhatian Rara yang kemudian teralih penuh kepadanya.     

"Oh ya, cucu oma... Kenapa aku bisa mengabaikan mu, sayang... Apakah kau tidak merindukan oma mu ini?" ucap Rara yang kemudian menarik bocah menggemaskan itu keluar dari tempat persembunyiannya. Nathan yang seperti tak bisa berkutik, lantas mendapatkan tatapan tajam penuh protes dari Zeno yang di anggap tak bersekutu.     

"Nath, bagaimana kalau aku yang mengantar jemput Zeno hari ini?" Imbuh Rara yang membuat tubuh Zeno meluruh lemas.     

Nathan yang kemudian coba untuk membantu, baik-baik mencoba mendorong niatan sang mama supaya tak membuat Zeno makin kesal. "Kenapa? Maksud ku, apa tak merepotkan mama?"     

"Ishh... Sebenarnya kau menyindir mama atau bagaimana, sih?" sungut Rara saat yang di katakan Nathan merepotkan tak ada sedikit pun alasan darinya.     

Rara yang sudah dari dua tahun lalu pensiun dari kantor, tak ada kegiatan yang lebih berarti dari rutinitasnya menghabiskan harta milik sang suami dengan hobi belanjanya yang menjadi gila-gilaan. Bahkan seperti amat jarang untuk mendapatkan jadwal dadakan seperti pertemuaan pribadinya dengan sang kawan, alih-alih lebih memilih menyendiri. Ya, bahkan sejujurnya untuk mengumpulkan niatnya sepenuh hati dengan tameng tebal mendatangi rumah sang anak yang masih saja sangat sulit untuk di dekati.     

"Bukan seperti itu, hanya saja terkadang Zeno sulit untuk di atur."     

Nathan yang coba menyelamatkan, malah di salah pahami Zeno untuk kedua kalinya. "Apakah menurut papa, aku nakal?"     

Nathan yang menghela napas panjang dengan netranya yang memelotot, meringis ringan dengan sedikit merasa dongkol. "Tidak, sayang... Bukan begitu."     

"Lantas maksud papa mengatakan hal tadi?"     

Nathan pun merubah mimik wajahnya menjadi datar, refleks memutar bola mata dan melemparkan pandangnya pada objek tak terencana.     

"Baiklah, mama boleh mengantar jemput Zeno jika itu keinginan mama."     

Lihatlah, bahkan setelah ultimatum perizinan di gaungkan dari bibir Nathan, Zeno masih saja tak memahami upaya pertolongannya sejak awal.     

Meninggalkan Nathan yang melambaikan tangan pada Zeno yang baru memelas untuk meminta tolong di selamatkan, terlalu terlambat saat mobil milik Rara perlahan bergerak dan meninggalkan rumah.     

Zeno memang bocah yang begitu cerdas dan sempurna di usia belianya, namun entah menyebutnya sebagai hal baik atau sesuatu yang menguji kesabaran, Zeno pastinya masih begitu polos, begitu sulit untuk di ajak kerja sama mengenai kebohongan, atau pun kalimat yang semestinya di tangkap tak bermakna sesungguhnya.     

Selayaknya kejadian tadi, menyisakan Nathan dengan rasa bersalah dan juga kekhawatiran akan suasana hati sang anak. Pekerjaannya bahkan tak membuat fokusnya teralih sedikit pun. Ia hanya berjalan mondar-mandir ke setiap sudut ruangannya, sembari lengan yang memijat pelipis coba meredakan kepalanya yang berdenyut.     

Detik jam yang bersahut dengan debar jantung untuk mengisi kesunyian, nyatanya jauh lebih membuat Nathan tak lagi bisa bersabar.     

Melangkahkan kakinya tergesa menuju pintu, membukanya cepat dan membawanya pada perhatian yang sontak tersorot padanya yang datang mengejutkan.     

Salah satunya di datangi oleh Nathan, menarik sang kawan dari balik kursinya dan membawa pria itu dalam perbincangan tersembunyi ruang menepi.     

Lantai teratas yang rasanya terlalu luas untuk di pilih, membuat Tommy berdecak kesal saat lagi-lagi yang hanya bisa terpikirkan oleh Nathan adalah arah perjalanan ke dalam kamar mandi.     

Bahkan selayaknya menimbulkan kecurigaan dari wanita yang menempati meja di sampingnya, prasangka mengenai hubungan terlarangnya dengan sang boss seolah mewakili kernyitan dahi dengan bibir menganga lebar.     

Hampir saja Tommy memprotes tindakan Nathan yang bisa saja turut mencoreng predikat pemain wanitanya, kalau saja sang kawan tak mendahuluinya dengan raut frustasi.     

Tommy yang menghela napas kemudian memilih mengalah, menanti Nathan siap dengan ceritanya dengan ia yang melipat kedua lengan di dada, tubuh belakangnya lantas bertumpu pada sisi wastafel.     

Sementara Nathan yang menarik surainya begitu ketat, meninggalkan memerah dengan tarikan otot di wajahnya yang begitu terlihat tegang.     

"Tom, menurut mu apakah Zeno baik-baik saja saat ini?"     

Pertanyaan Nathan membuat Tommy mengernyitkan dahi. Ia jelas masih mengingat tentang pembicaraan Nathan tadi pagi mengenai Zeno yang di antar ke sekolah oleh Rara. Ia yang bahkan tak menangkap ada hal yang terlalu berbeda mengenai itu, namun Nathan yang menjadi seperti ini, rasanya terlalu berlebihan menurutnya..     

"Tunggu dulu, apakah kau ingin mengatakan jika kau tak mempercayai tante Rara? Nath, bukankah segalanya telah berubah dari waktu silam?" sahut Tommy yang mempertanyakan keheranannya. Yang di ketahui adalah lima tahun silam di mulai hubungan baik antara ibu dan anak itu, selebihnya Tommy tak mengorek info lebih dalam lagi.     

Nathan yang mendengarnya, lantas melemparkan pandangannya dengan hembusan napas kasar.     

"Bukan tentang itu, hanya saja Zeno bukan tipe anak yang mudah berbaur, dia masih belum terbiasa dengan siapa pun."     

"Terkecuali diri mu dan juga Max?"     

"Tom...!" Nathan memperingati. Nada suaranya tanpa sadar meninggi dengan delikan mata tajam pada Tommy yang seperti tak merasa bersalah sedikit.     

Demi apa pun, sedari tadi Nathan berusaha tak mengingat sosok pemilik nama itu. Akibatnya memang melancarkan ingatannya terlalu jauh dengan segala memori yang tak mengenakkan.     

"Alasan mu itu, apakah bisa di percaya sepenuhnya?"     

Sementara Tommy yang terus saja berusaha untuk menggali, membuat Nathan lagi-lagi harus menghindar dari sang kawan yang coba mengartikan raut wajahnya.     

"Memangnya kau pikir apa lagi selain hal itu?"     

"Percayalah, berteman dengan mu setelah sekian tahun, bukan hal sulit lagi untuk bisa mengartikan raut wajah mu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.