Hold Me Tight ( boyslove)

Tak ingin mengulang



Tak ingin mengulang

0Seolah memiliki rencana tahapan drastis yang membuat Nathan menjadi jengah, bahkan termasuk ruangannya yang seperti di paksakan sewa oleh Max yang melanjutkan setelah waktu kerjanya selalu di kantornya. Ya, alasan apa lagi jika bertamengkan Zeno sudah lebih kuat tak terbantahkan?     
0

Makin membuat Nathan sengsara menjalani harinya terlebih dengan Tommy yang seperti di pihak lawan dengan tahan tawa cekikikan saat sang kawan berkeluh kesah.     

Plak     

Lengan Nathan yang menjadi amat gatal pun lantas menoyor belakang kepala Tommy dengan kekuatan tak terkontrolnya. Tak di pedulikan rintih kesakitan sang kawan, alih-alih malah membekap mulut Tommy dengan netra melotot yang memberikan peringatan.     

"Baiklah-baiklah... Hufh-hufhh... Aku benar-benar tak bisa bernapas dengan benar, Nath," mohon Tommy dengan napasnya yang tersengal.     

Nathan yang melepaskan telapak tangannya pun kemudian menganggukkan kepala dengan senyum puasnya.     

"Bagus, aku mau kau membawa Zeno pergi, apa pun alasannya."     

"Sialan! Jadi kau menculik ku ke kamar mandi berduaan seperti ini hanya untuk minta bantuan supaya memuluskan rencana mu?"     

Tommy yang lagi-lagi mendengungkan suaranya terlalu keras membuat Nathan begitu jengah. "Iya, lakukan sebisa mu. Dan aku ingin kau membuatnya meninggalkan  ponsel yang terus di genggamnya."     

Tommy yang mendengarkannya malah makin membelalakkan bola matanya. "Jadi kau memang benar-benar tak ingin di ganggu saat berduaan dengan Max?"     

Tommy berdecih, saat Nathan yang malah dengan yakinnya menganggukkan kepala. "Sungguh, katakan alasan cerita kekesalan mu pada Max yang kau tempatkan pada bagian intro tadi. Nyatanya setelah itu kau malah memohon pada ku untuk melancarkan usaha mu dalam menggodanya? Kau benar-benar sudah tak betah dan ingin segera bercinta dengannya, ya?!"     

"Sialan!" Nathan mengumpat, lagi-lagi memberikan pukulan pada Tommy yang berotak lamban dan seringkalinya menjurus pada pemikiran yang macam-macam.     

"Aku tak ingin mengancam sahabat ku sendiri, tapi demi apa pun, Tom... Setidaknya bantu aku untuk masalah ini."     

Entah Tommy yang langsung iba atau hanya untuk menghindari pukulan bertubi darinya saja, karena setelahnya pria itu lari terbirit-birit dan meninggalkan Nathan sendiri dengan sakit migrain nya yang makin parah.     

Menyalakan keran air di wastafel, kemudian membasuh wajahnya yang panas. Hela napas panjang terdengar, sembari bias wajah basahnya yang terpantul di cermin dengan tampilan mengerikan. Insomnia miliknya nyatanya bertambah parah, membuat kondisi tubuhnya pun otomatis begitu lemah. Sungguh, Nathan ingin cepat-cepat membasmi sosok perkaranya, ia benar-benar tak ingin terlibat lagi dengan pria masa lalunya itu. Hidupnya sudah bahagia, ia tak ingin di usik lagi.     

Untung saja setelahnya angin segar datang, ponselnya bergetar dengan rencana Tommy yang akhirnya berhasil membawa Zeno. Sedikit membuat dahinya berkerut dalam, entah karena beruntungnya atau memang sang kawan yang menjadi semakin terlatih dadakan untuk menakhlukkan Zeno.     

"Aku sedikit sibuk, jadi Zeno ku sarankan untuk menerima tawaran Tommy untuk ikut dalam rencana kencan buta di jam kantor?"     

Ah, ya. Rupanya perkiraan Nathan salah. Bukan tentang pengaruh keberuntungan untuknya atau Tommy yang berperan penting, nyatanya lebih membuat Nathan muntlak saat Max yang kali ini seperti dengan terang-terangan menunjukkan keterlibatannya dalam mengatur Zeno.     

Nathan yang kemudian hanya terdiam, menutup buku pelajaran milik Zeno yang berserak di atas meja, yang baru setelahnya duduk berhadapan dengan Max yang masih tak beranjak dari intens pandangnya pada layar tablet.     

Menarik napas panjang, yang setelahnya di hembuskan terlalu lepas hingga geraman kesalnya ikut keluar. Tak di pedulikan Max yang seperti terusik dengan otomatis pandangannya yang terangkat padanya.     

Mengeluarkan sebuah ponsel yang sempat di titipkan Tommy pada sekretarisnya, kemudian menjulurkan benda itu semakin dekat  pada Max.     

"Maaf, jika Zeno sedikit merepotkan mu," ucap Nathan menjawab raut tanya Max.     

Lantas membuat pria jangkun itu menutup layar kaca tablet miliknya, setelah tak melirik benda pemberiannya pada Zeno yang di wakilkan kepulangannya oleh Nathan.     

"Kenapa kau pikir begitu? Dia adalah anak yang cerdas, begitu menggemaskan dan juga menyenangkan. Aku tak menemukan sedikit pun sifat merepotkan yang kau katakan," sahut Max yang mengatakan sebenarnya.     

Sementara Nathan yang ingin sekali meluapkan emosinya masih di tahan mati-matian, di rasanya lebih baik menampakkan dirinya yang baru dengan tanpa bekas kebencian masa lalu, atau Max yang nantinya akan jauh lebih percaya diri saat mendapatinya yang masih sama seperti dahulu.     

Wajahnya yang kaku, di usahakan semaksimal mungkin menampilkan dirinya penuh dengan sopan santun yang seperti semestinya.     

"Ah, bukan begitu. Maksud ku tentang waktu mu. Kau tak perlu seserius itu dengan mengatakan kesiapsiagaan mu dua puluh empat jam untuknya. Ku pikir dengan melihat ku sebagai cerminan orang dewasa, Zeno bisa lebih memahami."     

"Cerminan orang dewasa melalui diri mu yang seperti apa yang kiranya di pahami oleh anak sebelia itu?"     

"Maksud mu?"     

Nyatanya memang begitu sulit untuk berhadapan dengan Max yang masih menyebalkan. Dengan rangkaian kata yang mempertanyakan pembenaran dari anggapannya, membelot dari artian baik yang seperti tergambarkan di mimik wajahnya. "Tentang kau yang terlalu sibuk dengan pekerjaan mu dan seperti mengurutkan kepentingan anak itu di bawahnya?"     

"Tunggu dulu, aku seperti merasa jika kau salah menangkap ucapan ku," kekeh Nathan yang jauh ingin menyembunyikan suaranya yang mendesak bersungut-sungut. Ia memang ingin menyelesaikan sangkut paut tak penting ini dengan cara baik-baik dan dewasa sebisanya.     

"Tidak, aku memahami ucapan mu sepenuhnya. Bahkan di bagian tersirat yang seperti mendorong ku keluar dari garis lingkaran, kenapa?"     

"Hei, rasanya tak tepat jika seseorang baru seperti menghakimi tentang cara ku memperlakukan Zeno. Lagi pula aku tak ingin membuatnya berharap terlalu lebih, kalau-kalau saja seseorang berubah pikiran dan memilih meninggalkan begitu saja tanpa kejelasan."     

Nathan rupanya sudah keluar dari fokusnya, membuat pria yang tengah menyesal itu meringis jengkel, terlebih dengan Max yang meneliti tiap kata yang di ucapkan oleh pria itu, yang jelas saja mengundang senyum sumringah pria jangkun itu.     

"Tentang siapa yang kau katakan?"     

Nathan masih melempar pandang untuk menghindar, dengan kepala berdenyutnya yang di urut perlahan. "Tidak, aku mengatakannya tak bersubjek, hanya seringnya orang yang membuat janji memang cenderung mengingkarinya, kan? Dan aku hanya tak ingin melihat Zeno yang nantinya akan kecewa seperti seseorang."     

"Nath_"     

Kemudian Nathan yang tak lagi ingin memperkeruh suasana, lebih memilih beranjak dari tempatnya untuk berjalan cepat ke meja kerjanya mengabaikan panggilan pria berparas oriental itu.     

Buru-buru menyalakan pc nya dan membuka lembar kerja. Pandangannya yang meliar di sibukkan, setelahnya dengan senyum tipis terukir pada Max yang berdiri di depannya.     

"Ekhem! Ada baiknya jika kita kembali ke topik pembahasan. Bukankah keterlibatan kerja yang harus kita manfaatkan semaksimal mungkin?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.