Hold Me Tight ( boyslove)

Zeno yang di jadikan perantara?



Zeno yang di jadikan perantara?

0Nathan hanya bisa terdiam, tak bisa sekali pun membujuk matanya terpejam sekali pun tubuhnya yang sudah berbaring nyaman di ranjang empuk kesayangannya.     
0

Pikirannya masih tentang kejadian beberapa jam lalu yang masih tak menemui kejelasan selain dirinya yang nampak jelas tak mengizinkan Max melangkah makin jauh dalam kisah hidupnya.     

Mengembalikan ponsel pemberian Max nyatanya gagal di lakukan, saat Zeno yang buru-buru menyadari kepemilikannya dan seakan tak sudi untuk melepaskan benda itu setelah tahu niatan sang papa.     

Bahkan saat Nathan yang sedari tadi mengusap lembut punggung kecil sang anak sama sekali tak mendapatkan atensi. Bocah itu lebih tertarik dengan pembicaraan virtualnya dengan Max sedari tadi.     

Mendesah letih, kemudian Nathan bangkit dari tempatnya dan memilih mengalihkan pemikiran penuh keburukannya pada pekerjaan.     

Tak di pedulikan matanya yang sudah sangat kering, pria itu masih saja mencoba memfokuskan deret angka serta keterangan kalimatnya untuk di pahami.     

Layaknya sudah teratur nyaman sejak latihannya bertahun-tahun, tak menunggu waktu lama untuknya menyelam dalam konsentrasi. Ya, kalau saja sebuah lengan kecil tak menggoyangkan kakinya yang berselonjor.     

Zeno di sana, menatapnya dengan netra mengiba layaknya anak anjing. Nathan yang jelas saja hafal kebiasaan sang anak sebelum tertidur, segera mengemas laptop miliknya dan mengangkat bocah itu ke atas pangkuannya dengan posisi tubuh berbaring tengkurap.     

Menggoyang-goyangkan sedikit tubuhnya dengan menepuk-nepuk pelan pantat Zeno, alih-alih sang anak yang menjemput tidur, malah Nathan yang jadi menguap dengan kelopak matanya yang seketika saja menjadi sangat sayu.     

Ya, Zeno yang sedang manja seperti ini adalah obat tidur untuknya. Hampir saja membuat pria itu terpejam dengan senyum terulas menyambut tidurnya yang akan nyenyak, kalau saja takupan lengan dan tepukan berulang di wajahnya tak mengganggu.     

Mana bisa marah pada Zeno yang menyambutnya dengan senyuman begitu manis? Bahkan pelukan sayangnya semakin di eratkan pada sang anak.     

"Pa, apakah papa mengenal paman Max sebelumnya?"     

Ya, rasanya memang Nathan sempat berpikir jika topik perbincangan mengenai Max tak akan pernah habis untuk Zeno yang seperti begitu mengagumi sosok pria jangkun itu.     

Meski sudut hatinya merasa begitu kesal, namun lagi-lagi masih di tahannya. Ia tak terlalu egois jika tandingannya akan membuat Zeno kecewa berat nantinya.     

Menghela napas panjang, yang kemudian mengulas balasan senyum pada sang anak yang beralih duduk di pangkuannya.     

"Ya. Ehmm... Tidak terlalu," balas Nathan sedikit tak yakin.     

"Sebenarnya jawaban yang benar yang mana? Aku bingung kalau papa setengah-setengah seperti itu," rengek Zeno dengan jemari kecilnya yang reflek menggaruk kulit kepalanya dengan raut wajah yang memicing.     

"Dua-duanya. Aku memang mengenalnya, tapi tak seperti yang kau pikirkan. Hanya sekedar saling tahu nama saja," putus Nathan yang memang mengambil jalan tengah untuk tak di tanyai macam-macam oleh Zeno yang memang begitu kritis.     

"Benarkah? Kalian setua itu, tapi hanya sampai tahap perkenalan saja?" sahut Zeno yang mempertanyakan dengan raut tak menyangka. Sementara menjeda singkat ucapannya dengan mimik wajah berkerut serentak dengan bola matanya yang melirik seolah tengah memunculkan bola lampu di sisi kepalanya. "Berapa? 1, 2, 3, bahkan usia papa sudah lewat perayaan yang ke tiga puluh, kan?" lanjut Zeno yang rupanya masih mengingat dengan jelas tahun kelahirannya.     

"Hufh...." Sementara Nathan yang lagi-lagi menghela napas panjang saat berhadapan dengan Zeno yang seolah menanyainya dengan lagak sebagai pengadil. "Sayang... Usia tak menjadi pengaruh orang lain untuk bisa mengenal semua orang. Ada banyak faktor yang harus di pahami, jika sampai tahapan hubungan dari dua orang tak bisa berkembang atau bahkan sampai memakan waktu lama untuk benar-benar bisa erat,"     

.... Bisa karena waktu yang terbatas dan tak bisa menyisakan intens untuk dua orang itu saling bercerita dan memahami. Tempat yang seringkali menjadi batas. Atau memang karena merasa cukup sampai di sana saja keterlibatan mereka," terang Nathan dengan mengeja kalimat terbatasnya sesederhana mungkin untuk bisa di pahami dengan Zeno.     

"Ehm... Aku memahaminya sekarang. Tapi apakah papa bisa menjelaskan pada ku tentang masalah ini?"     

"Jika aku bisa menjawabnya," balas Nathan dengan tubuhnya yang beransur luruh tak berdaya.     

"Jadi begini, aku punya dua orang anak yang akhir-akhir ini ku amati. Awalnya mereka begitu terlihat dekat sampai-sampai seperti mengabaikan yang lain untuk bisa masuk ke dalam lingkup mereka. Seolah tak ada yang bisa memisahkan, mereka hanya asik tertawa berdua saja. Namun yang membuat ku bertanya-tanya, saat akhir-akhir ini mereka seperti tengah menjaga jarak, tak bertegur sapa, bahkan seolah saling tatap pun seperti ogah. Itu karena apa? Maksud ku, bukankah sebelumnya mereka nampak nyaman bersama?"     

Ya, bukan Zeno nya yang begitu jenius jika tak berucap sedemikian detailnya. Memang bocah itu terlampau di katakan pendiam jika di bandingkan dengan yang lainnya, namun sekali buka mulut memang begitu membahayakan. Nathan saja harus memutar otak untuk bisa membalas pertanyaan sederhana yang di lontarkan oleh Zeno.     

"Kalau itu... Mungkin saja mereka memang sudah tak lagi nyaman? Atau ternyata, salah satu dari kawan mu itu melakukan hal yang tak di sukai oleh kawan mu satunya lagi?"     

"Berarti tiba-tiba saja bisa saling membenci?"     

Nathan menggidikkan bahu, sembari bibirnya yang mencebik dengan mimik wajah penuh perkiraan. "Ku pikir... Tak akan separah itu."     

"Ya. Rasanya sekarang aku bisa menyimpulkan."     

Sementara di hadiahi semacam kejutan dengan cara bocah itu memberikan daftar pertanyaan yang nyatanya berupa jebakan.     

"Huh? Menyimpulkan apa?"     

"Papa yang berbohong," tuduh Zeno sembari menunjuk wajah Nathan yang masih tak sampai pada maksud bocah terlalu cerdas itu.     

"Sungguh, aku tak memahami mu, Zen."     

"Paman berkata jika telah mengenal papa sebelumnya."     

"Ehmm... Ya, memang benar. Lantas dari bagian yang mana kau bisa menyimpulkan jika papa berbohong?"     

"Dua orang yang hanya sekedar kenal, tak mungkin begitu saja memutuskan untuk tinggal satu rumah, pa..."     

Hampir saja Nathan tersedak ludah sendiri. Zeno yang dengan gampangnya memberikan informasi mengenai dirinya. Jelas membuat Nathan seketika menegang.     

"Dia mengatakan itu?" Zeno menganggukkan kepala. "Lalu apa lagi? Dia mengatakan apa lagi pada mu, Zen?"     

"Kenapa aku harus menjawabnya? Toh, papa yang tahu benar, kan?"     

"Zen...!" peringat Nathan yang menitah sang anak untuk mengatakan segalanya.     

"Paman Max yang memberikan papa hadiah sebuah jam, katanya dia sangat gembira saat melihat papa menghargai pemberiannya. Jam yang mana, pa? Apakah yang sering papa gunakan dengan ukiran inisial di belakangnya itu?"     

"Katakan pada papa lebih banyak lagi."     

"Tidak ada lagi."     

"Zen...!"     

"Benar-benar tak ada lagi."     

"Ah, ya. Tapi aku punya kesimpulan satu lagi."     

"Pikiran apa lagi yang kau dapat, bocah?"     

"Hubungan papa dan paman Max yang seperti dua kawan ku. Kalian sedang ada dalam masalah dan akhirnya saling membenci, kan?"     

Sial! Nyatanya analisis mulus Zeno benar-benar mujarab untuk membuat Nathan tak berkutik. Terlebih lagi, apa maksud Max menceritakan itu semua pada Zeno?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.