Hold Me Tight ( boyslove)

Pagi yang terencana



Pagi yang terencana

0Nathan bangun lebih pagi dari biasanya, membiarkan tubuhnya berbaring nyaman sejenak dengan fokus pandangnya pada langit-langit kamar yang tak berubah warna sejak dulu.     
0

Pikirannya di biarkan melambung tanpa arah, membuatnya sejenak lebih lepas sembari membangun suasana hatinya menjadi lebih baik.     

Tekk     

Bunyi tulang berbunyi diiringi ringisan kesakitan saat mendapati posisi bangun tiba-tibanya yang tak hati-hati. Menjadi semacam bumerang untuk keinginan hatinya memulai hari jauh lebih baik, jika saja sekujur tubuhnya yang menjadi seperti penghianat saat sebelumnya nampak terasa baik-baik saja menambah permasalahan. Sekujurnya benar-benar kaku saat di coba di gerakkan.     

Lantas memaksakan diri untuk bangkit dari atas baringannya, mengambil posisi tegak di samping ranjang. Lengannya berkacak di pinggang, kemudian memutar tubuhnya untuk menyentak tulang kaku yang ada di bagian belakangnya. Begitu pun dengan kepalanya yang di lemparkan pada hadap satu per satu, kemudian memutarnya hingga kembali mengeluarkan suara mengerikan yang sedikit membuatnya merasa lega.     

Nathan hampir tak pernah berolahraga, terlebih dengan intens kerjanya di kantor yang menguras tenaga dengan posisi duduk hampir memakan waktu seharian. Wajar jika membuat kondisi tubuhnya semakin lemah, faktor beban pikiran yang menumpuk yang bisa jadi menjadi pengaruh pendukung yang besar pula.     

Nampaknya kebisingan Nathan yang tengah berusaha merenggangkan otot-otot di bagian tubuhnya itu mengganggu Zeno yang sebelumnya masih nampak tidur lelap.     

Nathan yang sebelumnya merasa amat merasa bersalah terlebih sang anak yang memberikannya tatapan maut. Membuat pria dewasa itu meringis dengan jemari yang mengacak surainya. Ia tahu jika Zeno adalah tipe anak yang sama sekali tak ingin di usik saat tengah tertidur, Nathan yang awalnya mengira akan sangat sulit membujuk seperti sebelum-sebelumnya, dengan ajaib mendapatkan alternatif yang segera di patuhi tanpa upaya peringanan.     

"Papa harus mengurus ku sampai aku rapi mengenakan seragam."     

"Siap kapten!"     

Keduanya langsung saja terkikik geli, saat awalnya Nathan yang mengeluh keberatan untuk menggendong sang anak, sampai saat keduanya yang berperang air di dalam bak mandi.     

Nampaknya Zeno yang kali ini berubah ingin manja dengan sang papa, di balas memuaskan dengan Nathan yang nyatanya seperti mendapatkan peran pendukung yang membuat suasana hatinya jauh lebih membaik.     

Bergaya layaknya dua orang dewasa yang berpose di depan kaca besar dengan handuk menutup setengah badan bagian bawah, menekuk lengan layaknya binaragawan dengan kemustahilan otot menonjol di sana. Terlalu memalukan saat perang mimik wajah menyeramkan lah yang membuat keduanya lantas tak berhenti terbahak saling menertawakan.     

Setelahnya mengenakan pakaian kebesaran mereka dengan masing-masing, lantas ke luar dari dalam ruangan mereka dengan tubuh semerbak wangi dan begitu segar. Keduanya telah siap memulai hari.     

Namun saat tiba di pertengahan anak tangga, sambutan membuat tarikan bibir keduanya beransur menghilang. Seseorang di sana, menyambut Nathan dan Zeno yang seperti tak sabaran dengan mengabaikan tempat duduk yang tersedia serta lengan bertaut sembari senyum terlalu lebar menunjukkan deretan gigi rapi wanita paruh baya itu.     

"Hai, cucu oma...! Kemarilah sayang!" pinta seorang wanita paruh baya itu sembari mengkode panggilan datang dengan kedua lengannya yang di rentangkan.     

Namun yang membuat canggung adalah saat sedikit pun Zeno tak beranjak dari tempatnya untuk menuruti. Pandangannya malah di alihkan pada sang papa, dengan bibir memberenggut merasa tak nyaman.     

Benar saja, Nathan langsung menarik ingatannya sampai mundur beberapa waktu ke belakang, Zeno yang syukurnya begitu terbuka terhadapnya, tanpa di sangka mencurahkan isi hatinya tentang ketidaknyamanan bocah itu pada Rara- Mama Nathan.     

Di pahami, jika Zeno yang tak mudah untuk menarik simpati atau pun kedekatan pada orang lain, menjadi semacam kesulitan tersendiri untuk Nathan yang memang tak bisa memaksakan kehendak. Ya, terlebih saat dirinya sendiri yang memang masih tak bisa sepenuhnya menjadi sosok lapang dada setelah semuanya.     

Sebisa mungkin mengambil jalan tengah untuk tak membuat keduanya merasa tersinggung, Nathan dengan senyum tipis menghias di bibirnya pun membujuk Zeno untuk datang bersama pada Rara yang sudah memberenggut.     

"Mama datang pagi sekali, apa ada masalah?" tanya Nathan yang kemudian mencium punggung tangan milik Rara, Zeno yang rupanya mengerti kodean dari sang papa pun mengikuti untuk menjadi bocah manis penuh sopan santun.     

Rasanya perihal kecil itu membuat Rara sedikit membaik, saat tubuhnya yang sesaat tadi meluruh lemas kembali bergas dengan raut bersemangatnya.     

Mengabaikan pertanyaan Nathan yang seperti sengau di pendengarannya, kemudian malah mencoba peruntungan dekat dengan menarik lengan kedua pria itu untuk mengikuti jalannya menuju meja makan.      

"Tidak, memangnya aku perlu alasan untuk datang kemari?" sahut Rara yang setelahnya menarik intens pandang Nathan pada sesuatu yang ada di atas meja.     

"Apa itu?" tanya Nathan dengan raut wajahnya yang penasaran.     

Sementara Rara yang di tanyai hanya mengabaikan singkat dengan gerak tangannya yang begitu telaten membuka bungkusan di dalam kotak makan.     

Seorang wanita paruh baya yang mengurusi keperluan rumah tangga datang dan membawakan keperluan yang di butuhkan oleh Rara. Tiga piring dengan peralatan makan, lantas beberapa lauk tersedia dan mengisi bagian tengah.     

Rara yang kemudian merasa bangga karena merasa membuat Nathan dan Zeno terkesima dengan perhatiannya, lantas kemudian menjadi sosok pengatur yang tak terbantahkan saat kedua pria itu di hantarkan pada tempat duduk masing-masing dengan Rara yang membuntuti akhir.     

"Sarapan untuk kita," ucap Rara yang kemudian menyuguhkan tampilan makanan lezat miliknya seolah gaya penyajian produk iklan.     

Namun sayangnya tak mendapatkan respon yang di harapkan dari Nathan dan juga Zeno yang malah kompak bungkam dengan kedua lengan terlipat di atas meja.     

"Harusnya tak usah, bibi pasti sudah membuatkan sarapan tadi."     

Merasakan perih di sudut hatinya saat mendapati sang anak yang seperti tak menghargai sedikit pun usahanya. Senyumnya bahkan menjadi begitu miris dengan pandangannya yang jelas menjadi nanar. Ya, kalau-kalau saja ia tak menguatkan diri.     

"Tidak, aku sudah mengatakan padanya untuk tak menyiapkan apa pun, karena aku ingin kau memakan masakan ku kali ini."     

"Baiklah...?" Sementara Nathan yang menyahuti kesediaannya dengan nada meliuk penuh keraguan mengakhirinya.     

Senyap untuk detik selanjutnya, sementara denting alat makan yang beradu dengan piring keramik mendominasi. Nathan yang sesekali mengusap sudut bibir sang anak yang masih begitu belepotan untuk makan, menjadi pemandangan mengharukan untuk Rara yang berhadapan dengan keduanya.     

Mengerti jika tengah menjadi objek pandang, Nathan pun menangkap intens netra sang mama, yang kemudian berniat membuang kecanggungan dengan perbincangan ringan.     

"Ehmm... Pa-paman Hardi tak ikut?" tanya Nathan yang awalnya sedikit ragu untuk mengganti panggilan semestinya untuk suami dari mamanya itu.     

Rara yang masih memaklumi pun menganggukkan kepala ringan, yang setelahnya menjawab, "Dia harus buru-buru berangkat ke restoran cabang barunya. Kau tahu, dia adalah orang yang sangat detail."     

"Bukan karena hal lain, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.