Hold Me Tight ( boyslove)

Apakah sebuah rencana?



Apakah sebuah rencana?

0"Oh sayang... Lama sekali tak berjumpa dengan mu... Sungguh, aku merindukan mu..."     
0

"Ya...?"     

Sekali lagi melemparkan tubuhnya dalam pelukan Nathan, membuat pria itu kebingungan dengan otomatis matanya menatap sang mama yang berdiri di belakang tante Nina dengan sejajar posisi dengan paman Hardi dan paman Jonathan.     

Namun ketiganya seperti kompak menggelengkan kepala tak mengetahui ketiba-tibaan Nina yang menjadi terlihat emosional seperti sekarang. Terlebih saat pandangannya jatuh pada tautan lengan Nathan yang masih bertahan pada sang anak.     

"Hei, kau pasti Zeno?"     

Pastinya Zeno yang tak nyaman, seketika saja beringsut menyembunyikan tubuh kecilnya di belakang sang papa.     

"Benarkah, Nath? Tampan sekali... Kenapa bisa benar-benar mirip dengan mu, Nath?" Lanjut Jonathan yang membuat mimik wajah penuh keheranan Zeno tampil.     

"Karena ku dengar kita sebagai anak akan meniru wajah salah satu orang tua kita, kan?" Ujarnya memberi jawaban. Yang langsung saja menarik intens semua orang     

"Oh? Ah ya.... Benar sekali. Kau sangat pintar sayang." Sampai akhirnya Nina yang turut melontarkan tanggapannya kikuk.     

Sementara Rara yang maju mengambil kendali, mengulas senyum pada Zeno sembari tubuhnya yang membungkuk pada bocah mungil itu.     

"Ya, dia sangat pintar dan begitu menggemaskan. Dia adalah cucu ku, Nin," ucapnya mencairkan suasana.     

Sementara setelahnya perhatian penuh tertuju pada Zeno. "Sayang... Oma dan opa sangat merindukan mu, apakah kau mau sedikit mengobatinya? Aku ingin mendengar cerita mu di sekolah. Supaya lebih nyaman, bagaimana kalau kita mencari tempat yang nyaman?"     

"Aku tidak mau kalau tanpa papa. Dia akan mengkhawatirkan ku."     

"Hei, mereka adalah oma dan opa, sayang..."     

Sementara Zeno yang terus saja di bujuk, bukan dengan menjadi bagian pertahanannya saat Nathan pun turut melepaskan.     

Meninggalkan sebagian besar, seperti menjadi bagian terencana yang saat ini mempertemukan Nathan dengan tatap muka pribadinya bersama dengan Nina.     

"Ku pikir dulu kau yang akan menjadi menantu ku. Nyatanya semua itu tak semudah yang di rencanakan."     

"Ya, karena memang takdir tak bisa di paksakan."     

"Kau sangat hebat, nak. Di saat segala peristiwa buruk datang beruntun pada mu, kau masih bisa menjalani hidup mu dengan penuh kerelaan."     

"Ya, karena aku masih memiliki Zeno dan juga Jevin di hidup ku. Mereka adalah segalanya saat ini. Jika tanpa mereka... Entahlah, aku tak yakin masih bisa melihat dunia di sisi baiknya saat kenyataannya selalu menimpaku sebaliknya."     

"Hei, kau masih memiliki kami semua." Nina yang nampak terdesak tangis, setelahnya menarik lengan Nathan untuk di genggamnya erat dengan lengan keibuannya.     

Menakupnya semakin erat, yang setelahnya tanpa peduli mencium punggung tangan Nathan, walau pun jelas pria itu tak nyaman. Dengan tatapannya yang begitu tulus, bahkan senyumnya nampak terlihat di paksakan dengan desakan seperti ingin mencebik. "Sungguh, maafkan aku atas tindakan ikut campur ku dulu. Aku terlalu menganggap pemikiran ku adalah hal benar yang mutlak. Nyatanya aku salah, aku yang menghancurkan kebahagiaan mu, nak."     

"Ku rasa semuanya sudah berlalu, aku tak lagi ingin memikirkan masa lalu. Lagi pula saat ini adalah hari bahagia untuk Cherlin, harusnya juga milik tante yang tak sepantasnya bersedih hati seperti ini."     

Lantas setelahnya Nina yang menggelengkan kepala tanggapan Nathan yang salah kaprah.     

"Jika saat ini aku menyesal dan ingin memperbaiki segala?"     

Setelahnya seperti mengisyaratkan sesuatu. Saat Nina yang menggiringnya pada objek pandang yang berjarak dengan keduanya.     

Zeno di sana, tetap menjadi bintang yang di puja semua orang. Terlebih dengan dukungan satu sosok yang berkomunikasi dengan anaknya. Apa maksud mereka mendekatkan Zeno dengan Max?     

**********************************     

"Tom! Bagaimana kau bisa begitu teledor?! Pasti kau terhalang godaan wanita sampai-sampai kau melupakan tugas kecil mu, kan?!"     

Hari ini Nathan panik besar, belum habis tentang pemikiran penuhnya mengenai pekerjaan serta peristiwa tadi malam yang bahkan membuat jatah tidurnya berkurang drastis, masih di tambah beban kekhawatirannya saat kabar Zeno tak di temukan di sekolahnya terdengar di telinga.     

Jantung pria itu bahkan seperti berhenti berdebar untuk sesaat, tubuhnya lemas, yang kemudian kembali jatuh di kursi kuasanya.     

Lengannya terangkat lantas memijat pelipisnya yang berdenyut menyakitkan, terlebih pikiran terburuk hadir di dalam benaknya. Peringatan Tommy beberapa hari lalu masih mendoktrin ketakutannya, seperti tak bisa sekaligus menenangkannya untuk sesaat terlebih dengan pria itu sendiri yang teledor dalam menjalankan tugas.     

"Nath, aku benar-benar serius jika masalah pekerjaan. Aku sudah berjanji sejak awal pada mu. Terlebih mengenai Zeno, bagaimana kau bisa meragukan ku?"     

"Lalu bagaimana kau bisa menjelaskan tentang ucapan mu sebelumnya?"     

"Demi apa pun, aku bahkan sampai lebih awal. Menyaksikan saat para siswa berbondong-bondong keluar dari gerbang sekolah yang baru saja di buka," sungut Tommy yang seperti merasa terdesak dengan tuduhan Nathan.     

Sementara Nathan yang sesaat lalu begitu buntu dengan tanpa solusi penyelesaian, seketika saja berjengkit dari tempatnya dan bergerak gusar menarik ponsel serta kunci mobilnya.     

"Panggil semua orang! Sebar ke beberapa titik, temukan anak ku! Sungguh, aku tak ingin ada sesuatu yang buruk menimpa anak ku, Tom!"     

Yang kemudian tanpa menunggu jawaban, langsung beranjak dari ruangan dengan ponsel yang di matikan dan di cengkram dengan begitu erat.     

Bahkan mengabaikan sang sekretaris yang hendak menghentikan langkahnya dengan rentetan pertanyaan karena kepanikan Nathan yang begitu jelas.     

Dengan napasnya yang memburu saat sampai di depan lift miliknya, menekan tombol terbuka dan siap melangkahkan tubuhnya sebelum sebuah suara terdengar menyambutnya.     

"Pa?"     

Zeno di sana, baru saja melangkahkan kakinya keluar dari bilik besi sisi lainnya.     

"Astaga!" Nathan yang jelas saja terpekik, secara bersamaan mendapatkan angin segar di dalam dirinya. Tubuhnya kemudian jatuh luruh, tak mempedulikan Zeno yang beraut tanya saat sang papa memberikannya pelukan begitu erat.     

"Zeno? Syukurlah kau baik-baik saja, sayang..."     

"Pa... Aku bukan anak kecil lagi."     

"Hikss... Kau jelas-jelas masih begitu kecil. Sangat kecil hingga membuat ku selalu mencemaskan mu. Bagaimana kau bisa begitu tega membuat papa jantungan karena kepergian mu tanpa izin, eh?"     

"Aku ada janji dengan kawan baru ku, bukankah aku sudah mengatakannya kemarin?"     

"Apa?" Dengan wajahnya basah karena air matanya yang jatuh tak tertahankan, memandang sang anak dengan rautnya yang kebingungan saat sesuatu tak di dapatkan dalam memorinya.     

Memutar bola mata, dengan bibir tipisnya yang berdecih saat prasangkanya benar. "Itulah buruknya papa, selalu tak benar-benar memperhatikan ku."     

Kemudian Zeno yang melepaskan diri dalam pelukan Nathan, menunjuk seorang pria yang berdiri menyandar dengan raut menahan tawanya.     

"Dia adalah paman Max. Ku rasa papa perlu mengenalnya hingga pikiran papa tak melulu buruk saat aku tak di temukan oleh paman Tommy yang begitu berisik itu. Ya, ku pikir aku akan lebih sering bermain dengan paman Max."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.