Hold Me Tight ( boyslove)

Cinta?



Cinta?

Zeno yang mengerti keterkejutan Cherlin segera saja undur diri dengan berkas kekecewaan di wajahnya. Melangkahkan kaki dengan izin sebelumnya yang di katakan ingin melihat taman bermain kecil yang berada di tengah area restoran. Ya, yang meski pun nyatanya bocah itu hanya berputar mengelilingi anak lainnya yang seketika seketika kompak melenyapkan tawa bahagia mereka saat bermain. Tak ada yang bisa melawan kekagumannya terhadap sosok Zeno, termasuk dengan Cherlin yang sedikit pun tak memutus perhatiannya.     

Sementara Nathan yang nampak merasa tak enak dengan desak pertanyaan yang langsung menjurus dari Zeno, membuat pria itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dengan menampilkan raut wajahnya yang meringis pada Cherlin.     

"Dia selalu menanyakan itu, maaf ya, Lin."     

"Tak apa, itu adalah hal yang sangat wajar. Aku malah merasa kasihan dengannya, di saat anak lain mendapatkan dua sosok lengkap sebagai orang tuanya, ia malah merasa berbeda saat sejak awal hanya kau lah yang di lihatnya."     

Nathan yang mendengar rentetan ucap Cherlin yang begitu penuh haru turut menarik sosok pria itu sekalian.     

Hanya saja dalam waktu singkat hati Nathan seolah otomatis memperingati. Ia yang selama ini berusaha maksimal untuk menampilkan dirinya kuat sekali pun harus menipu diri. Bukan hal sepele jika mengenai Zeno, perkara rapuhnya tak pedulikan asalkan tak membuat bocah cerdas itu kembali mendeteksi perasaannya terlalu dalam seperti beberapa kali sempat terjadi.     

Alih-alih sebaliknya untuk sekedar meluapkan perasaan sebenarnya, Nathan malah lebih memilih mengalih topik dengan pertanyaan konyolnya.     

"Maka dari itu, bukankah lebih baik untuk kita menikah saja? Kau tak perlu cemas mengkhawatirkan tumbuh kembang Zeno, kita bisa membahagiakannya bersama dengan anak mu, kan?"     

"Hahaa... Tak semudah itu, kawan..."     

Cherlin menyemburkan tawa keras dengan telapak tangannya yang memukul-mukul meja, sampai menyita perhatian beberapa orang yang mendengarnya. Sementara Nathan yang biasa saja karena memang tak ada niatan serius seperti yang dikatakannya.     

Hanya saja perkiraannya yang terlalu percaya diri karena dapat mencairkan suasana dengan pelariannya. Malah di balaskan terlalu kejam oleh Cherlin yang tanpa aba-aba menggebrakkan sebuah benda di atas meja. Hampir saja membuat pria itu menyemburkan minuman yang di tenggaknya, terlebih saat wanita itu dengan mudahnya berkata,     

"Aku akan segera menikah."     

Rasanya seperti sebongkah batu yang mengganjal di pangkal tenggorokannya, saat sulit untuk menelan cairan yang terlanjur di tenggaknya hingga seperti mati-matian di dorong ke menuju lambungnya.     

Netra memerahnya bahkan sampai terbelalak, menangkap informasi tiba-tiba saja yang di beritahukan padanya.     

"Kenapa tak memberitahu ku sebelumnya?"     

"Rencana dadakan."     

Seketika saja Nathan menyabet undangan dengan namanya yang terukir sebagai tamu. Hanya selang empat hari dari tanggal saat ini, namun tak lebih membuatnya tercengang saat sebuah nama lain yang di ikuti Cherlin di bawahnya menjadi fokus.     

"Lin, apakah dia orang yang sama?"     

"Riki. Ya, ku pikir ia memanglah takdir ku. Seberapa jauh pun aku menghindar, nyatanya ada benang benang penghubung ku dengan pria brengsek itu untuk kembali bertemu. Bodohnya, aku malah seperti tertawan cintanya setelah lewat bertahun-tahun tak melihatnya."     

Nathan hanya mengangguk pelan, seulas senyum berganti terukir di bibirnya. Kenyataan Cherlin sudah berdamai dengan masa lalu turut membuatnya bahagia. Jika di tarik mundur pada perjuangan Riki yang memang tak kenal lelah. Menjadi bayaran yang setimpal saat pria yang di kenalnya itu mendapatkan buah dari hasil ketulusannya.     

"Ya, ku pikir cinta memang selalu menemukan jalannya untuk kembali pulang."     

"Lalu, bagaimana dengan kakak?"     

"Apa?"     

"Apakah cinta mu telah kembali?"     

***********************************     

Bagaimana Nathan harus menjawab pertanyaan singkat dari Cherlin jika secara beransur keyakinannya akan cinta semakin hilang?     

Tak pernah sekali pun titik terang yang membawanya pada sesosok peran yang dapat merubahnya menjadi layaknya orang lain yang dapat dengan mudahnya beralih kisah.     

Nyatanya Nathan tak pernah benar-benar serius menemukannya, bahkan terlalu membuatnya malas untuk beranjak jika lagi-lagi seperti tembok tinggi membentenginya untuk terdiam pada satu titik.     

Layaknya pandangan otomatisnya yang sekaligus terarah hanya pada satu sosok pria di antara sekian banyak orang yang memenuhi ballroom hotel tempat ikrar janji suci penyatuan Cherlin dan Riki sesaat lalu.     

Max di sana, sosok pria yang mengejutkannya dengan kedatangannya secara tiba-tiba. Setelah sekian tahun terpisah, layaknya serupa yang di katakan oleh Cherlin jika benang merah penghubung mereka yang masih saling bertaut. Ya, meski pun logikanya terus berspekulasi jika memang kebetulan yang lagi-lagi menarik keterlibatannya dengan pria itu. Sekali pun jantungnya yang masih tak terkontrol dengan pusat perhatian seolah tertarik segalanya untuk Max.     

Tentang bagaimana wibawa pria itu saat menarik pembicaraan dengan beberapa orang di sana. Gerak kecil dari lengannya yang mendukung spekulasi, sementara menjadi makin tak terkendali saat bagian dalam dirinya yang mencemburui semua orang yang dengan terang-terangan melontarkan pujian. Tanpa sadar umpatan terus memenuhi pikirannya, layaknya orang yang tengah linglung dengan perang batin dalam dirinya.     

"Pada akhirnya semua orang akan meninggalkan, bersama dengan pasangan mereka masing-masing dan memilih jalan pasti tentang kebahagian atas nama cinta."     

..... Aku pernah merasa sangat sedih saat nyatanya Ilham yang lebih dulu melepas ikatan persahabatan kita dengan tindakan brengseknya mempermainkan wanita. Lalu saat kau yang dulu hampir menjadi anggota pertama yang akan melepaskan masa lajang dengan pemikiran ku yang sudah seperti kalang kabut mengenai kesempatan makin besarnya kehancuran persahabatan kita,"     

..... Namun setelah makin dewasa, rasanya ku pikir hidup akan selalu berubah dengan peran baru yang akan memasuki. Galang dan Aki yang memilih jalan hidup mereka, tentang tujuan masa depan. Lalu, bagaimana dengan kita, Nath?"     

Nathan tersentak, saat sebuah tepukan keras di punggungnya memutus seketika fokus pandang pria itu. Membuatnya berjengkit dari tempatnya, dengan tanpa dosanya membalas raut protes Tommy dengan gurat kebingungan di wajahnya.     

Membuat Tommy yang seperti sudah megap-megap dengan otaknya yang berputar maksimal untuk merangkai kata indah, serta merta memancing emosi dengan lengannya yang terkepal erat menuntut wajah lebam Nathan saat balasan yang begitu singkat menunjukkan kejelasan dari keterdiaman pria itu yang seolah sedari tadi balas menatapnya dengan begitu intens.     

"Apanya?"     

"Sial! Setelah aku mengoceh panjang lebar, dan kau malah mengabaikan ku terang-terangan?"     

Sementara Nathan yang masih tak memahami letak kesalahannya, malah nampak begitu teliti menunjuk kesalahan Tommy yang setelahnya mengubah sepenuhnya posisi.     

"Tom...! Jangan bicara kasar di hadapan anak ku!"     

Tommy yang hampir saja melontarkan protesannya seketika saja menelan kembali kalimatnya saat telunjuk Nathan masih teracung untuk memperingati.     

Sementara Nathan setelahnya menundukkan pandangannya pada Zeno yang mengerutkan dahi saat tiba-tiba saja pandangan meliarnya terhenti dengan perannya yang di sangkut pautkan.     

"Zeno... Jangan meniru kalimat tak pantas yang di ucapan oleh paman Tommy, ya!" peringat Nathan dengan memberikan pemahaman pada sang anak. Sementara ia yang seperti melupakan kesempurnaan sang anak yang begitu cerdas.     

"Tidak, papa tahu jika aku tak akan mengoceh panjang lebar. Lagi pula kenyataannya, tak ada yang berani mengabaikan ku sekali pun aku hanya ingin terdiam."     

"Hemm! Ya! Dia memang anak mu, Nath! Sekali buka mulut layaknya belati yang langsung menancap di hati ku. Sungguh, rasanya sangat perih, kawan...!" Sela Tommy yang sampai mengurut dadanya merasakan kesakitan yang tergambar di depan rautnya.     

Namun di salah pahami oleh Nathan dan Zeno yang malah kompak menyemburkan tawa. Layaknya menjadi peran komedi, dengan keterpaksaan Tommy yang seketika saja memberenggut dengan kedua kakinya yang di hentak kasar ke lantai.     

"Nak Nathan?"     

Namun keberadaan ketiganya yang sudah mulai mencair, seketika saja langsung lenyap saat sebuah suara memanggil Nathan. Beransur menghilangkan senyum di bibirnya yang sebelumnya terulas begitu tulus, beralih sebaliknya dengan sekaligus wajahnya yang kaku. Nyonya dan Tuan pemilik acara menyambutnya, nampak terlalu di perlakukan istimewa saat seorang wanita paruh baya melemparkan tubuhnya pada dekapan Nathan.     

Setelahnya dengan alis bertaut yang menampak mimik wajah penuh haru, menakup rahang milik Nathan dengan jemari lembutnya yang mengusap.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.