Hold Me Tight ( boyslove)

Max dan Zeno yang tak terpisahkan



Max dan Zeno yang tak terpisahkan

0Nathan hanya bisa terdiam, sesekali pandangannya menangkap balas senyum antara Max dan juga Zeno dari meja kerjanya.     
0

Layaknya menjadi sesuatu yang baru dan sangat berkesan antusias, bahkan nampaknya bocah yang tengah tekun bersimpuh di atas sofa dengan kertas gambar yang di tumpu meja kecil sebagai papan rela membagi intens fokusnya terhadap pria dewasa yang menyandarkan tubuh raksasanya dengan kedua lengan terlipat di dada.     

Sementara meninggalkan batas yang cukup besar untuk Nathan yang seperti di abaikan. Membuat pria itu mencebik dengan dengusan kasar menghempaskan lembar kerjanya begitu saja.     

Beranjak dari kursi yang membuat pantatnya begitu terasa panas, menuju titik perkumpulan dengan sambutan senyum tipis dari Zeno yang memang menyadari. Entahlah bagaimana Max menatapnya, rasanya ia tak ingin lebih peduli lagi. Mengundang pria jangkun itu untuk masuk ke dalam wilayahnya saja merasa di sesali. Hal memalukan yang sempat di saksikan oleh Max saat dirinya menangis tersedu, rasanya masih bersambut saat ekor matanya menangkap kedutan di bibir dan juga batas kerutan di pelipisnya yang seolah tak puas untuk menertawai Nathan yang kali ini nampak jelas menipu gurat wajahnya dengan senyum.     

"Paman, benar yang kau katakan, saat kita mengarsir pensil warna dengan gradasi gelap terang, gambar akan menjadi terkesan nyata."     

Namun tak lagi berlaku di menit selanjutnya. Seketika saja Nathan melenyapkan tarikan di kedua sudut bibirnya. Gurat wajahnya yang semula di tunjukkan ceria, beransur meluruh dengan kernyitan di dahinya yang makin dalam.     

Rasanya begitu menyakitkan saat panggilan satu-satunya yang tersebut di bibir Zeno yang sejak puluhan menit lalu bungkam nyatanya bukan dirinya. Terlebih lagi seperti di hadapkan pada dua pilihan jelas antara dirinya dan Max yang duduk berhadapan dan di antara keduanya. Kemudian tanpa sedikit pun kepekaan Nathan yang seketika saja membelalakkan netranya, saat Zeno yang seperti tanpa bersalah meloncat dari atas tempatnya dan begitu saja membelot dari jalan seharusnya bocah itu berlari dengan sangat girang.     

Sampai-sampai Nathan yang sudah bersiap dengan kedua lengan terbukanya kembali melingkup. Rahangnya mengetat sembari bersamaan tautan lengannya yang semakin erat. Nathan sangat tak menyukai kenyataan yang di dapatkannya kali ini. Max yang baru saja kembali datang ke dalam lingkup kehidupannya, seperti berusaha menyita perhatian terlalu banyak selain dari pada yang seharusnya.     

Bahkan Zeno yang terkenal sangat dingin untuk di dekati, dengan mudah di gaet oleh Max yang seolah hanya dengan karisma kedewasaannya yang bisa mengayomi. Layaknya kenalan bertahun-tahun saling bertemu alih-alih terlihat kenyataannya hanya lewat satu kali pendekatan di acara pernikahan Cherlin dan Riki kemarin.     

Bahkan Nathan bisa melihat bahu anaknya yang mengepak dengan lembar karyanya yang di gelar di depan dada. Belakang telinga Zeno yang memerah di hapal pria itu jika sang anak tengah merasa begitu bahagia dengan senyum yang di tebaknya terukir dengan begitu lebar.     

Membuat Nathan sedikit merasakan iri, saat kerinduannya yang melihat sang anak yang seperti ini amat sangat jarang sekali terjadi. Dan terulang karena pengaruh datangnya Max?     

Sungguh, apa lagi informasi yang di lewatkannya mengenai kedekatan Zeno dan Max? Selain pemahaman tersiratnya saat keduanya seperti menyambung pembicaraan pribadi sebelumnya.     

"Lihatlah hasilnya."     

"Wow! Nyatanya kau begitu ajaib, nak. Prasangka ku bahkan tak semenakjubkan itu sesaat tadi."     

"Wah... Berarti paman sejak tadi meragukan ku, ya?"     

"Tidak, hanya standar ku yang menyamaratakan mu dengan anak-anak seusia mu," sahut Max dengan telapak tangan besarnya yang mengusap surai lembut milik Zeno.     

Sementara sang bocah yang nampak begitu bangga, dengan dadanya yang otomatis membusung. "Jelas berbeda, aku bukan seperti mereka."     

"Hem... Ku rasa aku masih perlu lebih dalam untuk bisa mengenali mu secara penuh. Segalanya tentang kau yang begitu spesial?"     

"Ya, harus. Apakah paman lupa jika saat ini kita adalah kawan?"     

"Hahah... Baiklah. Tapi aku meminta syarat."     

Nathan yang sedari dari mencuri dengar percakapan kedua pria itu, kemudian mengangkat pandangannya dari layar ponsel yang di jadikan tameng.     

Tau-tau saja Zeno sudah ada di pangkuan pria dewasa itu. Lebih membuat Nathan terkejut lagi saat netranya tak sengaja bertatap lurus dengan Max yang nampak menertawai kebodohan jelasnya kali ini yang seolah menguntit.     

"Apa itu?" tanya Zeno yang merasa penasaran, mewakili sekaligus Nathan yang setelahnya berpura-pura tak peduli dengan tubuhnya yang beranjak tergesa dan hendak kembali ke posisi seharusnya ia berada.     

Langkahnya menghentak dengan keriweuhannya yang selayaknya peran figuran tak berguna.     

Hampir saja sampai mejanya dengan susunan rencana pekerjaannya yang akan di selesaikan terlebih dahulu. Jika saja Max yang mengikuti langkahnya dengan pandangan intens tak mengutarakan maksudnya.     

"Begitu pun sebaliknya, aku ingin kau juga mengenal ku lebih dalam. Bagaimana?"     

"Deal!"     

Nathan benar-benar di buat kesal dengan prasangka dugaannya yang sampai meleset. Saat sebelumnya yang di kira jabat tangan antar pria timpang usia itu hanya semacam lelucon yang tak akan bertahan lama.     

Belum habis dengan memori beberapa hari lalu mengenai Zeno yang menghilang, nyatanya masih membuat Nathan hampir jantungan dengan ulang kejadian yang tak bisa lagi di pikir serupa.     

Nyatanya hubungan persahabatan yang di setujui sang anak dengan pria brengsek masa lalunya masih berlanjut setelah nyaris satu pekan yang membuatnya tenang dengan ketidakhadiran Max yang ternyata hanya sementara.     

Hampir saja ia kembali menampakkan dirinya lemah sebagai seorang pria saat papasan kedua kalinya ia dengan Max yang bergandengan menuju pintu masuk kantor bersama dengan Zeno. Mereka nampak tengah sumringah dengan bekas raut memerah yang seolah penat terlimpah terlalu banyak bahagia, sementara Nathan yang bertambah rasa panas di dalam dirinya saat kebencian seperti tambah memuncak setelahnya.     

Tanpa di ketahui sebelumnya oleh Nathan jika keduanya tengah mempermudah jarak dengan media komunikasi. Zeno yang tak pernah di izinkan Nathan untuk bermain ponsel karena belum waktunya, secara tiba-tiba saja menjadi sangat mahir dengan ponsel pemberian Max yang terlalu mahal yang besar untuk anak berusia lima tahun seperti anaknya.     

Pantas saja Zeno begitu tenang saat Max tak ada untuk menemaninya bermain, karena setelahnya bocah itu bercerita pada Nathan setelah di desak jawab jika pria jangkun itu tengah ada urusan penting sebagai alasan.     

Hari berlanjut, menjadi semakin rutin membuat Nathan geram akibat tanggung jawabnya sebagai seorang ayah di geser Max yang malah seperti dengan suka rela menjemput dan mengantarkan Zeno ke kantornya.     

Kekompakan Max dan Zeno, nyatanya semakin menenggelamkannya ke udara saat tak lagi ada fokus intens sang anak yang teralih padanya.     

Rasanya mimik wajah Nathan terlalu lelah untuk menunjukkan ketidaksukaannya pada Max. Giginya yang terus mengerat, bahkan bisa saja dalam satu waktu rontok tak tersisa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.