Hold Me Tight ( boyslove)

Terpisah jarak sementara dengan Jevin



Terpisah jarak sementara dengan Jevin

0Beransur satu per satu dari mereka yang sadar untuk tak mempermalukan diri lebih lagi pun membalikkan badan. Memutar arah, yang kemudian membubarkan diri masing-masing dengan tubuh yang meluruh lemas.     
0

Dengan cepat Nathan menggerayah dalam kemejanya, menangkap ponsel miliknya yang kemudian di japit dengan bahu untuk menempel ke sisi telinganya. Dengan cekatan menyalakan mesin mobil miliknya, sementara pandanganya yang mengintip jam tangan di lengan kirinya.     

Hanya lima menit waktu tersisa, sementara rapat rutinnya akan segera terlaksana. Membuatnya berspekulasi, kemudian menyela bicara sang penelpon dengan berucap,     

"Ya, halo. Aku akan datang ke kantor segera."     

"Jika yang kau katakan kantor adalah di New York."     

Nathan kemudian menghentikan arah memutar mobilnya yang hendak keluar dari parkiran, membuatnya membentang tak beraturan begitu saja. Dahinya mengernyit, kemudian menarik ponselnya untuk melihat layar menyala miliknya. Satu nama tersimpan di sana, membuat hatinya sedikit bungah dengan bibir yang menarik sudutnya begitu lebar.     

"Jevin?"     

"Hei, Nath. Aku begitu merindukan mu."     

Nathan berusaha tak menyemburkan tawanya, seolah pria yang menghubunginya itu berada tepat di hadapannya hingga Nathan yang secara refleks merubah mimik wajahnya dengan mencerung. Tak mungkin membuat Jevin merasa senang jika saja jawabannya membalik sama mengenai ungkapan pria itu. Ya, tak ingin membuat sang adik besar kepala saja. Hingga membuatnya kemudian bersuara sewot.     

"Rasanya terlalu berlebihan jika kau mengatakannya. Oh ayolah, Jev.... Bahkan komunikasi kita terlalu sering hingga aku sangat menghafal daftar pertanyaan dari obrolan mu."     

"Baiklah... Ku harap kau tak merengek di setiap malam hanya karena merindukan ku."     

"Wekk! Mana sudi!"     

Nathan yang kemudian terkekeh, terlebih saat suara dengusan kasar terdengar di seberang sana.     

Menjalankan mobilnya, dengan mengganti sambungan ponsel dengan earphone supaya lebih memudahkannya. Ia tak sejahat itu untuk kembali menolak panggilan pria itu, hanya karena kali ini Nathan yang sedang berbaik hati saja. Terlebih dengan waktu batas kesibukan mereka yang dengan drama perbedaan waktu yang cukup signifikan.     

"Hei, bagaimana kabar anak mu?"     

"Zeno? Dia baik."     

"Benarkah?"     

Nathan yang mendengar tanya singkat Jevin malah mengerutkan dahinya tanpa sadar.     

"Kenapa kau nampak tak percaya dengan bimbingan ku?"     

"Tidak, hanya saja sepertinya aku terlalu terdoktrin dengan mimpi ku yang datang berturut-turut. Seorang anak kecil yang begitu dingin, raut wajahnya yang bahkan terlihat begitu menyeramkan dengan netranya yang menyipit tajam. Amat gila saat aku malah seperti terintimidasi di dalam mimpi itu. Dia hampir saja membuat kulit lengan ku terkelupas dengan gigitan dari giginya yang bahkan masih belum lengkap."     

"Dan kau yang menjerit tak berdaya karena itu?" Terka Nathan yang kemudian terbahak di sela fokus kemudinya dari jalanan ramai. Menjadi tantangan pagi tersendiri untuk Nathan yang lebih memilih mengemudikan mobilnya sendiri tanpa bantuan, kendaraan roda dua yang seringkali menyalip tanpa kira, membuatnya harus ekstra waspada.     

Namun komunikasinya dengan Jevin tak mungkin di tinggalkan, terlebih dengan kesenangannya membuat pria itu memprotes dengan panggilan menggeramnya.     

"Nath..."     

"Kenapa kebetulan sekali? Bahkan Zeno mengatakan pada ku tentang mimpi buruknya. Seorang paman menyeramkan yang di katakan akan menculiknya?"     

"Sialan! Jelas aku bukan paman yang di katakan. Kau pikir aku setua diri mu apa?"     

"Jika di bandingkan dengan Zeno?"     

"Baiklah... Aku diam."     

Perbincangan keduanya pun terhenti sampai di situ, tak ada yang lebih penting dari pada sekedar saling bercanda tawa meski jarak sementara yang memisahkan. Ya, ada saatnya untuk Jevin kembali sesuai impian pria itu sendiri. Jika semuanya telah terkendali, remaja yang kali ini sudah beranjak dewasa itu bahkan sudah mengemban tugas lebih besar dari pada dirinya. Mengurus warisan perusahaan dari mendiang keluarga sang bunda yang ada di New York. Keduanya memang harus berjuang dengan begitu keras setelah meninggalnya sekaligus ke dua sosok tameng mereka.     

Memasuki ruangan yang telah beberapa tahun ini di tempatinya, namun meski pun begitu masih saja meninggalkan bekas perih di dalam hatinya saat aroma familiar di sekitarnya seolah masih menemani sosoknya setiap waktu. Selalu mengambil potret kebersamaan keluarganya yang masih lengkap, papa, mama, bunda, Jevin, Zeno, bahkan paman Hardi yang sudah menjadi ayah sambungnya setelah menikahi sang mama.     

Ya, saat itu menjadi kebahagian terlengkap untuknya, membuat hatinya yang membuka lapang beransur mulai pulih. Yang di simpulkan adalah menerima segalanya, meski pun sangat berat saat lagi-lagi takdir naik-turun begitu drastis di dalam hidupnya.     

Sebuah ketukan pintu mengejutkannya saat beransur cahaya matahari mulai menyengat dan memasuki bilah kaca pembatasnya. Hanya sekedar menyahut singkat, pandangannya bahkan fokus pada kedua lengannya yang mengemasi berkas menumpuk yang berserakan di mejanya dengan tergesa.     

Pria yang datang dan melihatnya pun hanya menelengkan kepala dengan kedua lengannya yang terlipat di depan dada. Masih menanti untuk di perhatikan Nathan yang saat ini seperti selip dengan kedua kakinya yang sontak merapat saat berhadapan dengan Tommy.     

"Nath, kita nanti ada janji temu dengan klien," ucapan Tommy yang langsung saja di sambut geraman kesal oleh Nathan yang langsung bergerak mundur dengan belakang tubuhnya yang bersandar pada sisi tepi meja kebesarannya.     

"Jika hanya sekedar formalitas, tolak saja, Tom," ringan Nathan sembari lengannya yang menghempas udara.     

"Tidak bisa, aku terlanjur menyetujuinya."     

Seketika saja Nathan membelalakkan mata, wajahnya jatuh dengan tubuh yang menegang. Tak berapa lama bibirnya mengetat, buku tangannya mengepal seolah begitu gemas untuk menguyel wajah asisten pribadinya itu.     

Ya, kesalnya memiliki rekan kerja seorang sahabat seperti Tommy, pria itu sering kali memutuskan segalanya tanpa konfirmasi terlebih dahulu dengannya. Seolah terlalu percaya diri jika pemikiran mereka sama, alih-alih Nathan yang sejujurnya tak ingin terlalu berambisi dengan persaingan bisnis.     

"Bagaimana bisa kau melakukan itu tanpa konfirmasi terlebih dahulu dengan ku?" Kesal Nathan saat harus mendapatkan resiko lebih parah dengan cara Zeno yang akan mendiaminya lebih parah. Ya, itu terjadi beberapa kali saat bocah itu tak mendapatinya yang menjemput, sekalipun setelahnya Zeno yang akan bersama dengannya dan menemaninya bekerja.     

Nathan benar-benar kapok dengan respon Zeno yang begitu mengerikan untuknya, sekali pun Tommy yang memberikan alasan jelas.     

"Karena dari pihak mereka ingin membahas beberapa poin yang tertera di kontrak kerjasama."     

Hampir saja Nathan ingin melontarkan kalimat untuk mendebat Tommy, kalau saja kesimpulan cepatnya yang memang tak bisa membuatnya begitu saja lari dari tanggung jawab pekerjaannya.     

Meski pun tubuhnya luruh lemas setelah menghembuskan napas jengah.     

"Hufh.... Baiklah, jam berapa pertemuannya?"     

"Siang nanti, mereka ingin menjamu mu makan sekalian di salah satu restoran."     

"Aku harus menjemput Zeno."     

"Serahkan saja pada ku."     

"Baiklah, ku harap aku bisa mempercayai mu," peringat Nathan yang memasrahkan tugas pada Tommy, sementara dirinya yang berganti arah tujuan dengan sebuah rumah makan bintang lima yang di beritahukan sebelumnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.