Hold Me Tight ( boyslove)

Max?!



Max?!

0Menempati meja yang sudah di reservasikan, nampak terlalu berlebih saat nyatanya ruangan privasi menjadi tempat pertemuan. Bahkan dengan penanganan langsung, menu hidangan memenuhi meja makan, yang tak sangkanya bahan utama ayam yang menjadi kesukaannya?     
0

Nathan bahkan meneguk ludah kasar saat aroma lezat tercium ke dalam hidungnya. Tangannya hampir saja lancang dengan mencuil sedikit bagian lezat yang terlihat menggiurkan itu, alih-alih menarik air putih yang menjadi pereda. Demi apa pun, ia tak mungkin menampilkan dirinya rakus. Alasan menu tepat favoritnya tak mungkin, yang di lakukannya saat ini malah melemparkan pandangannya untuk menelusuri setiap sudut ruang yang di hiasi bunga warna-warni yang nampak begitu segar sembari menunggu datangnya rekan kerja yang tak profesional.     

Lengannya menopang dagu, sesekali mengetuk meja setelah jam tangannya menunjukkan jumlah menit semakin lama.     

"Ku pikir segalanya sudah jelas sejak awal," geram Nathan yang setelahnya menghempaskan tubuh ke arah sandaran kursi yang ditempatinya.     

"Membuat kesal saja. Dia yang buat janji, aku yang harus menunggu?"     

"Ekhem! Apakah sudah lama anda menunggu?"     

Nathan yang mendumel, seketika saja menegang. Suara yang tertangkap oleh pendengarannya begitu tak asing. Bahkan ketukan sepatu yang terdengar begitu elegan, entah mengapa seperti menancap dalam ingatan. Terlebih bola matanya yang seketika saja membola saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya dengan lengan menjulur bermaksud menjabat.     

Deg     

"Ka-u?"     

"Senang bertemu dengan anda."     

*********************************     

Nathan menjadi gelisah setengah mati. Tubuhnya meremang dengan napas memburu yang di pengaruhi oleh pompaan jantungnya yang begitu  cepat. Bahkan ia yang masih tak sekali pun menyangka, menariknya pada pertemuan pertama kalinya setelah tahun-tahun berlalu.     

Ia tak mengerti harus menyimpulkan bagaimana tentang kejadian yang membuatnya seolah kembali tak berdaya. Karena bukan lagi mengenai keterlibatan mereka tentang cinta, Max yang nampak begitu tenang dengan fokus sesungguhnya mengenai pekerjaan yang di katakan sebelumnya, di pikir Nathan bahwa pria itu sudah melupakan dirinya tanpa bekas memori sedikit pun. Mereka benar-benar menjadi asing.     

"Apakah kau membohongi ku?" Kesal Nathan dengan setelah menarik Tommy dari meja kerjanya. Menyentak pria itu dengan delikan tajam serta emosi yang naik drastis, membuat sang kawan yang seketika saja gemetar ketakutan. Demi apa pun, saat ini adalah perdana Nathan memarahinya, terlebih dengan sekretaris pria itu yang nampak mencuri dengar. Bahkan hari masih begitu pagi, mustahil Tommy yang tak berencana menggoda pria itu lantas tiba-tiba tersulut. Nathan yang sontak langsung keluar dari ruangannya dengan tampang berapi-api, layaknya terlalu kasar membuka pintu kaca hingga di takuti akan pecah, masih tak mendapat korelasi dari pikiran Tommy.     

"Apa?" Jawab Tommy yang menimpal pertanyaan, karena memang ia benar-benar tak mengetahui letak kesalahannya.     

"Tentang pertemuan ku dengan klien kemarin," bentak Nathan sembari meninju udara. Rautnya benar-benar merah padam, Tommy yang mendapatinya bahkan kembali meringkuk dengan takupan tangannya yang sekali lagi hendak menyembunyikan wajah tampannya untuk berjaga-jaga.     

"Aku masih tak memahami mu, memang ada yang salah? Ada beberapa poin yang tak menguntungkan untuk kita?"     

"Max, dia adalah orangnya."     

"Max? Apa?!" Tommy nampak sangat terkejut, bahkan sama halnya seperti reaksi Nathan yang seketika saja lemas. Demi apa pun, ia adalah saksi tentang betapa frustasinya Max lima tahun silam saat mendapati hari penyatuan ikatan pernikahan Nathan dengan adiknya di tanggalkan. Meninggalkan bekas mendalam walau sekali pun kegagalan menyelamatkan dua insan yang sama sekali tak saling mencintai. Lebih buruk dengan kenyataan bahwa kebohongan besar terencana dari Nathan dan Cherlin yang bisa di pastikan menyakitkan untuk Max yang begitu kecewa.     

"Bagaimana bisa? Maksud ku, bukankah ia pimpinan Nandara? Sementara perusahaan yang bekerjasama dengan kita saat ini tergolong baru."     

"Perkembangannya yang begitu pesat, bagaimana aku bisa memperkirakan sejak awal jika ada pengaruh besar sosok itu di belakangnya?"     

"Lalu, apakah kau tak masalah?" tanya Tommy dengan raut seriusnya menyentuh bahu milik Nathan. Ya, yang terpikirkan dalam dirinya adalah mengenai keadaan keduanya setelah sekian lama tak bertemu. Sebagai sahabat, tentu ia tak mengharapkan keterlibatan serupa terulang dan menyakiti Nathan sekaligus Max nantinya.     

Sementara Nathan yang menggelengkan kepala. Rautnya bahkan berubah menjadi begitu lesu. "Entahlah, aku benar-benar tak bisa berpikir tentang ini," lirihnya sembari memutar badan. Melangkahkan kakinya kembali ke dalam ruangannya. Ia butuh menenangkan pikirannya yang terusik sepanjang malam. Kantung mata seketika saja nampak terlihat walau samar. Membaringkan tubuhnya nyaman dengan mata terpejam, rasanya menjadi sangat menggiurkan untuk segera dilakoninya, sebelum suara datang dan menambah penuh pikiran buruknya.     

"Ah ya, Nath. Ku harap dengan ini kau tak menjadi lengah."     

"Apa maksud mu?"     

"Jika kau menyayangi Zeno, perjuangkan dia. Jangan sampai orang lain yang merasa menyesal menjadi lebih menyebalkan dengan merebutnya dari tangan mu."     

*********************************     

"Pa, apakah gambaran ku bagus?"     

"Bagus, seperti biasanya, Zen."     

Hari ini adalah hari yang sangat sibuk untuk Nathan, rencana serta perkiraan waktu seperti meleset dari perkiraan hingga dirinya harus bekerja cepat untuk tak menumpuk jadwal baru yang telah masuk. Sementara Zeno yang sedang tak enak badan menempati sisi pemikiran cemasnya tersendiri. Alasan bosan di kamar dengan pengasuhnya yang di katakan tak mengasikkan, membuat Nathan memerintahkan Tommy sebelumnya untuk menjemput putra kesayangannya itu.     

Sama seperti beberapa puluh menit sebelumnya, sama sekali tak ada pembicaraan dengan kesibukkan masing-masing. Namun lagi-lagi Zeno yang tak bisa sekaligus menampakkan dirinya sebagai sosok dewasa, sesekali ingin mencari perhatian dengan paksaan yang tak bisa terbantahkan.     

Membuat wajah pucat bocah itu seketika memberenggut, menjatuhkan kertas miliknya yang sebelumnya di bentangkan di depan dada. Mengambil pensil warna berwarna hitam miliknya, kemudian dengan kesal mencoreng gambaran indahnya tentang sebuah keluarga bahagia dengan sang anak yang menggenggam erat dua lengan sosok orangtua untuknya.     

Kemudian kembali membentangkan kertas miliknya, masih tak mendapat perhatian hingga membuat Zeno berang dan menjatuhkan gambar miliknya yang telah di hancurkan.     

Netranya menajam pada Nathan yang bahkan terlalu sibuk dengan alihan objek pandangnya, napasnya mendengus kasar kemudian berucap dengan begitu dingin saat keinginan kecilnya tak kunjung di turuti.     

"Bahkan papa belum melihatnya."     

"Ya, sebentar lagi aku akan melihatnya, sayang."     

"Aku bosan, bisakah aku keluar dan bermain di taman belakang?" sentak Zeno yang makin meninggikan nada bicaranya.     

"Tidak. Aku belum menyelesaikan pekerjaan ku, sayang... Dan tak ada yang bisa menjaga mu di sana."     

Zeno pun lantas menghentakkan kakinya dengan jengkel, saat kenyamanan yang tergambar dalam benaknya selalu saja tak terpenuhi karena alasan ini dan itu yang tak pernah ia pahami. "Memangnya kantor papa tempat berbahaya?"     

"Tidak, hanya saja orang jahat bisa menyusup dan membawa mu pergi dari ku."     

"Papa terlalu memikirkan ucapan ku. Sungguh, bukankah papa yang mengatakan jika itu hanya sekedar mimpi buruk?"     

"Kau terlalu pintar berdebat di usia mu yang masih balita, Zen."     

Dan Zeno yang harus mengeluarkan usaha penuhnya untuk bisa membuat Nathan beranjak dari tempatnya.     

"Papa mau apa?" Tanya Zeno memastikan Nathan yang saat ini sudah berdiri di hadapannya dengan lengan yang mengacak surainya.     

"Menemani mu, ku rasa tak buruk untuk bekerja di luar ruangan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.