Hold Me Tight ( boyslove)

Melampaui waktu



Melampaui waktu

0Makin mengetatkan dekapnya, memberikan kecupan bertubi-tubi pada puncak kepala Nathan sembari berucap di sela isak tangis pria itu.     
0

"Ya, kau membutuhkan pelukan ku. Percayalah, semua ini akan membaik nantinya. Kau sudah melakukan yang terbaik sampai dengan detik ini, Nath."     

"Bangsat!"     

Sementara kemarahan di sisi lain masih tak bisa terbendung. Tak cukup membuat Cherlin ketakutan dengan raut sang kakak yang di tunjukkan untuk pertama kalinya, wanita itu lantas di buat meringkuk tak berdaya saat setelahnya sosok pria yang mengacaukannya dirinya itu habis di tangan Max dengan pukulan telak tanpa jeda.     

Riki di sana, tanpa sedikit pun perlawanan dengan kepalanya yang terus tersentak akibat hantaman dari kepalan tangan besar milik Max.     

"Kenapa kau tak menjaga adik ku dengan benar, eh?! Bagaimana kau bisa lalai dalam tugas dan menghilangkan kepercayaan ku!" teriak Max tanpa seorang pun yang bisa menghentikan emosinya.     

Orang-orang yang ada di sekitar pelataran hotel hanya menjaga jarak, layaknya heboh menjadi penonton arena adu fisik tak seimbang. Para pengaman yang mengetahui pun tak bisa berbuat apa pun saat boss besar mereka yang menjadi pelaku.     

Cherlin yang mulanya hanya membatu di tempatnya, merasakan hatinya bergetar dengan begitu hebat saat pukulan rahang Riki yang ke sekian menghadapkan balas pandang ke duanya. Netranya tiba-tiba saja berkedut, dengan sesuatu yang panas memasuki pernapasannya, memancing air mata untuk kembali menetes, gerak tubuh tertatihnya kemudian mendekat. Lengannya yang terkepal erat, kemudian berusaha mengikis sedikit cela kebencian terhadap pria yang menghancurkan hidupnya itu.     

"Kau bisa saja membuatnya tak bernyawa. Lagi pula bukan sepenuhnya salah pesuruh mu. Mungkin aku saja yang terlalu lepas kekang dan membiarkan ku nampak seperti wanita jalang?"     

*********************     

5 tahun berlalu     

Menyimpan memori yang tak pernah terlupakan. Sedih, senang, tawa, suka, cita, semua lengkap di dapatkan saat itu.     

Arti sebuah keluarga yang sebenarnya, cinta yang dapat memupus perlahan kesalahan yang di perbuat, walau tak tak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa kembali layaknya kondisi semula.     

Meski meninggalkan dengungan tak nyaman di pendengaran saat tahun-tahun pertama berita mencuat mengenai kegagalan pernikahan dari nona Nandara dan tuan muda Adikusuma yang gagal.     

Simpang siur dengan lebihnya yang terburuk menjadi pergunjingan saat itu, jelas menekan segala aspek yang utama mental semua orang yang ikut di hujat.     

Ya, mungkin waktu memang adalah jawaban terbaik untuk menghilangkan semua. Tak bisa menutup mata semua orang atas media massa yang semakin canggih, pilihan untuk mengebalkan mental diri adalah yang utama.     

Lihatlah, bahkan saat dua orang yang pernah menjadi incaran media untuk liputan berita mereka saat ini tak lagi di gubris. Orang-orang cepat melupakan, fokus mereka cenderung menyaksikan terbaru tanpa ingin repot-repot lagi mengupas berita lama.     

"Senang bertemu dengan kakak lagi," ucap Cherlin setelah melepaskan kacamata hitamnya. Mengulas senyum yang begitu lebar, yang setelahnya di balas sebuah pelukan oleh sang pria.     

Memilih tempat nyaman untuk mengobrol, Nathan pun memilih sebuah cafe menjadi tempat mereka melepaskan rindu.     

Minuman pesanan mereka sudah tersaji, namun agaknya tak dapat mengalihkan pandangan keduanya yang sedikit pun tak ingin terlepas.     

"Bagaimana kabar mu?" tanya Nathan mengawalinya.     

"Seperti yang terlihat, tak ada yang istimewa. Ah ya, aku turut berduka cita atas meninggalnya paman Bagas dan juga tante Anggun. Aku baru tahun tahun setelahnya."     

Nathan hanya tersenyum miris, saat kehilangan pun menjadi bagian dari tahun-tahun berlalunya. Sang papa dan Bundanya mengalami kecelakaan pesawat saat tengah perjalanan ke New York menghadiri wisuda Jevin di perguruan tingginya.     

Hal naas yang sampai saat ini membuatnya tak bisa melepas saat sekali pun Nathan tak bisa membahagiakan dua sosok terbaik dalam hidupnya itu. Jevin yang terus menyalahkan dirinya sendiri, hingga membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk membuat mereka sembuh dari luka yang mengena sekaligus bertubi-tubi.     

Cherlin yang melihat wajah sedih Nathan pun merasa bersalah, hingga saat sebuah anggukan serta senyum tipis dari pria itu sedikit membuat wanita itu lega.     

"Bagaimana keadaan Zeno?"     

"Baik, hanya saja dia terlalu pendiam dari pada anak lain di sekolah kanak-kanaknya."     

"Hahaha... Ku rasa ia lebih meniru diri mu di bandingkan mendiang Lisa?"     

Lagi-lagi Cherlin menepuk bibirnya yang selalu saja melontarkan kata sesuka hati. Layaknya melupakan satu detik lalu mengenai raut wajah Nathan yang sedih, ia malah menambah garam di atas luka terbuka pria itu dengan menarik pembicaraan pada sosok lain yang juga meninggalkan Nathan di dunia.     

Nathan yang sedikit pun tak mempermasalahkan ucapan Cherlin, kemudian menimpalinya dengan santai sembari mengangkat ringan kedua bahunya.     

"Ku pikir memang karena aku yang di anggapnya sebagai seorang ayah."     

"Ya, itu cocok."     

Keduanya lantas terdiam, terlalu banyaknya pertanyaan di benak keduanya namun sebagian besarnya malah terhempas tanpa bisa terucapkan.     

Cherlin yang tiba-tiba saja menghubunginya setelah sekian tahun, membuat Nathan terlalu bersemangat untuk menjemput wanita itu di bandara. Kesan terakhir yang tertinggal masih belum sedikit pun terselesaikan. Hingga Nathan yang menyimpan tanda tanya besar di dalam benaknya itu tak lagi bisa menahan.     

"Kenapa kau melakukan itu?"     

"Maksud kakak?"     

"Menggagalkan pernikahan kita, dan memilih mengasingkan diri ke tempat jauh dan tak pernah ku ketahui?"     

Cherlin melepaskan sedotan dari celah bibirnya, kemudian dengan raut berkerut dalam sembari mengikuti gaya Nathan menggidikkan bahu. "Ku rasa itu yang terbaik?"     

"Bukankah akan lebih baik jika kita bersatu dalam keluarga dengan dua anak manis di dalamnya?"     

"Ya, itu memang bayangan terindah yang sempat terbesit oleh ku. Aku yang akan mengurusi keperluan rumah tangga, merawat kedua anak kita, dan membantu mu bersiap berangkat ke kantor. Tapi aku tahu, jika hati yang tak bersatu, akan membuat kita saling menyiksa diri dengan paksaan lingkup yang memenjara itu. Aku tak ingin membuat kakak seperti itu karena ku."     

"Tidak, kenapa aku harus seperti itu? Sungguh, saat itu aku memang berniat penuh untuk menikahi mu."     

"Karena mengasihi ku atau berniat membuat semua orang damai dengan cara mu melepaskan cinta?"     

Nathan hanya terdiam setelahnya. Ucapan Cherlin memang tepat saat di rasa Nathan sebelumnya itu adalah hal yang terbaik untuk jalan mereka berdua.     

"Sungguh, aku bahkan merasa amat bersalah saat ku ingat keegoisan ku untuk melidungi diri. Menutup mata dan pendengaran rapat dari segala kenyataan yang ada di hadapan ku semakin jelas. Yang ku lakukan sudah begitu parah, akan sangat buruk bagi ku jika menyiksa mu seumur hidup."     

Cherlin pun mengulas senyum kembali, kemudian menarik lengan Nathan untuk di genggamnya erat.     

"Aku ingin kembali, namun menjadi sosok dewasa yang lebih baik. Ku harap kakak masih mau menjadi kawan terbaik ku."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.