Hold Me Tight ( boyslove)

Zeno



Zeno

0"Pagi."     
0

"Pagi sayang..."     

Nathan membalas bersamaan mengangkat pandangannya dari layar ponsel, mengabaikan singkat dering getarannya yang menunjukkan pesan baru datang beruntun.     

Seorang anak kecil dengan raut datarnya menuruni tangga, di ikuti seorang wanita paruh baya yang mengulas senyum tipis dan membungkukkan setengah badannya setelah sampai di hadapan Nathan.     

Membalasnya ramah, lantas Nathan beralih menarik lengan kecil putra kesayangan dengan sambutan ciuman bertubi-tubi di wajah manisnya.     

Zeno yang nampak risih dengan perlakuan Nathan yang menganggapnya seperti anak kecil, membuat bibir merah itu berkerut dengan rautnya yang masam.     

Bukankah Zeno sudah mengatakan sejak awal jika ia tak ingin di manja seperti ini? Namun agaknya Nathan masih saja tak bisa mengingatnya dengan baik. Wajah Zeno yang sudah sudah rapi dengan seragam sekolahnya, lantas mengusap kasar saat bagian lembab terasa mengganggu akibat ciuman basah milik Nathan.     

Hanya meringis sembari mengangkat kedua tangannya sebagai tanda penyerahan, nampaknya hanya itu yang bisa di lakukan oleh Nathan untuk mengubah suasana hati Zeno yang berubah buruk karenanya.     

Duduk bersama di meja makan yang sesungguhnya terlalu besar untuk di tempati keduanya. Banyak kursi yang kosong, dengan bayangan sosok keluarga harmonis yang sempat di rasakannya sedikit membuat pria itu mengiba. Kenapa takdir begitu cepat mengambil kebahagiannya? Masih begitu membekas saat senyumnya baru bisa terlepas setelah hadirnya sosok mama yang di impikan, bukan bagian terencana pula jika bahkan sosok Jevin yang terlihat menyebalkan, nyatanya meninggalkan bekas kasih sayang yang sangat amat, dengan segala perhatian dan kasih sayang tulus mereka. Nathan mendapatkan keluarga sempurna. Ya, setelah pupus dengan tragedi kecelakaan yang menewaskan papa dan juga Bundanya.     

Secara otomatis Nathan yang di tuntut menjadi dewasa dengan mengemban tugas tak main-main dengan membawahi ribuan karyawan. Rasanya ia memang tak mempunyai waktu sedikit pun untuk bersedih atau memprotes pada yang maha kuasa karena terlalu menyedihkan garis takdir untuknya. Terlebih dengan seorang bayi mungil yang amat di cintainya. Nathan harus bisa lebih kuat untuk bisa merawat malaikat kecilnya itu.     

Ya, Nathan seringkali melupakan fakta bahwa Zeno sudah beranjak tumbuh. Tak ingin di sebut sebagai anak kecil dengan perlakuannya yang terlalu meluapkan kasih sayangnya, namun tak bisa menutup kenyataan jika Zeno memang masih bocah berusia lima tahun yang ajaibnya begitu tegas dalam menginginkan dirinya menempati posisi nyaman menurutnya. Tak sepenuhnya bisa sempurna memerankan diri sebagai sosok dewasa yang di inginkan oleh bocah itu, bahkan sekali pun suapan makan yang masih kesulitan di lakukannya, membuat sekitaran bibir milik Zeno belepotan.     

Menahan ringisan tawa yang seperti mendesak untuk di keluarkan, dengan penuh kehati-hatian tanpa menyinggung, Nathan pun menyabet beberapa lembar tisu untuk di berikan pada Zeno yang masih mengindikasi raut lawan bicaranya dengan mimik wajah mencerung.     

Bocah itu nampaknya jauh lebih keras kepala semakin harinya, bukannya menerima bantuan dengan lekas membersihkan butiran nasi goreng di sekitaran bibirnya, Zeno malah mendengus dan dengan cueknya melanjutkan makan.     

Nathan yang melihatnya hanya mengangkat bahu ringan. Menurutnya bukan perilaku tak sopan dari Zeno yang nampak jelas terlihat bibitnya sejak dini, hanya saja ia cenderung melihat sisi positifnya. Ya, setidaknya bukan seperti dirinya yang sedikit pun tak berani mengatakan bentuk protesnya, bahkan hanya sekedar mengatakan jika ia tengah tak nyaman akan sesuatu. Setidaknya Zeno lebih terbuka tentang perasaannya.     

"Bagaimana tidur mu? Apakah nyenyak?" tanya Nathan setelah keduanya terdiam cukup lama, sarapan mereka bahkan sudah tinggal sisa-sisa terakhir.     

Zeno yang merasakan acakan lembut di surai legamnya pun menarik pandang tepat pada Nathan yang seperti tak lelah untuk tersenyum. Sungguh, bahkan Zeno yang melihatnya saja merasakan rahangnya ikut pegal.     

"Tidak, aku bermimpi buruk. Seorang pria dewasa dengan tampang menyeramkan berusaha untuk menculik ku," sahut Zeno yang kemudian meletakkan sendok garpunya setelah mengaduk sisa makanan yang tak habis di piringnya.     

"Oh, tenanglah sayang... Itu tak akan terjadi pada mu di kehidupan nyata."     

"Ya, aku tahu."     

Balas Nathan yang ingin menenangkan sudut hati Zeno yang bisa saja merasakan ketakutan sewajarnya anak sebayanya. Namun lagi-lagi, itu adalah Zeno anaknya. Bahkan dengan raut wajah menggemaskannya yang masih begitu datar, bersamaan dengan bahunya yang terangkat ringan.     

Setelahnya Zeno bahkan lompat dari kursi tingginya, menyabet tas ransel yang di bawakan oleh sang pengasuh, bahkan melangkah terlalu bersemangat meninggalkan Nathan yang bahkan masih meneguk air putihnya.     

"Di sekolah jangan nakal, turuti apa yang ibu guru katakan pada mu," peringat Nathan dengan tubuhnya yang menekuk mensejajarkan tinggi badan dengan Zeno.     

"Aku tak pernah nakal."     

Menghela napas panjang saat mendengar jawaban Zeno, bahkan lengannya yang mengusap surai lembut bocah itu kemudian terjatuh, di ikuti dengan tubuhnya yang menegak otomatis. Lengannya terangkat, kemudian mengurut pelipisnya yang tiba-tiba saja berdenyut menyakitkan.     

"Setidaknya katakan jika kau menuruti peringatan ku, Zen."     

Nathan kemudian berbicara tegas, menekankan kalimat permohonannya dengan raut wajah yang mengimbangi ketegasan.     

Nampaknya hal itu membuat Zeno tersentak, tubuh kecilnya luruh dengan bibir mengetat setelah dengan berat hati mengatakan persetujuan singkatnya.     

"Baiklah."     

Baru setelah itu Zeno membalikkan tubuhnya, mengangkat tangan kanan yang kemudian melambai ke arah Nathan yang semakin di beri jarak.     

Zeno mulai masuk ke dalam gerbang sekolah dengan bocah lainnya yang begitu bersemangat bertemu dengan kawan-kawan mereka. Ya, hanya Zeno miliknya lah yang menjadi begitu istimewa dengan kesendiriannya.     

Menggelengkan kepala, tanpa sadar senyum kecilnya tertib di sana. Merasa bangga dengan pencapaian paling berharganya, dapat membesarkan bayi mungil yang di berikan kepadanya. Hingga tumbuh menjadi sangat menggemaskan, pintar, begitu tegas. Ya, Zeno adalah berkah yang di berikan untuknya.     

Tanpa mengabaikan pekikan girang para ibu-ibu yang mengantarkan buah hati mereka, Nathan pun membalikkan badannya dengan kepala tertunduk menyembunyikan wajahnya. Melangkahkan kaki makin mempercepat, saat pendengarannya menangkap ketukan sepatu beruntun  yang semakin dekat ke arahnya.     

Cepat-cepat membuka pintu mobilnya, kemudian meringkuk di balik kemudi secara refleks. Demi apa pun, ia terlalu malas dengan mereka yang selalu bergantian mendekat untuk berbasa-basi dengannya, tanpa waktu dan seringnya tanpa segan hingga beberapa kali sebelumnya ia seringkali menampilkan dirinya sebagai pimpinan tak kompeten dengan terlambat masuk jam kerja.     

Pandangan para betina yang seolah melihatnya sebagai pria matang berstatus duda, seketika memancing kelincahan mereka untuk dekat dan menggoda. Nathan tahu itu hanya sekedar taruhan untuk mainan perkumpulan mama muda itu, hanya saja ia bukan orang yang tepat untuk di jadikan bahan lelucon, terlebih jika percikan cinta tak semestinya yang tak jarangnya akan mewarnai. Sungguh, hanya dengan membayangkannya saja Nathan bergidik ngeri.     

Drtttt     

Suara ponsel yang ada di saku kemejanya berbunyi, seketika membuat pandangan Nathan terangkat dari atas setir kemudi mengawasi keadaan di sekitarnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.