Hold Me Tight ( boyslove)

Pernikahan yang batal



Pernikahan yang batal

0"Oh ayolah... Jangan lagi."     
0

Nathan mendesah kesal, saat pintu ruangan yang ditempatinya terbuka setelah tak lama ketiga kawannya keluar. Seorang pria di sana, menyusup masuk dengan langkah tergesa dan begitu saja menariknya bangkit dari duduknya di atas ranjang. Tak sempat ada tatapan pandang lurus antara keduanya saat jarak menjadi sangat dekat, karena tak lagi menunggu waktu, pria berwajah dingin itu membenturkan tubuh keduanya. Membelit lengan kokoh itu, hingga seperti mustahil untuk membuat Nathan melepaskan diri.     

Tak heran jika pria itu dapat melakukan apa pun, secara langsung Nathan memang berada di dalam lingkup kuasa Max.     

Dapat di rasakan hembusan napas menderu mengenai kulit lehernya, membuat Nathan yang tak lagi bisa mentolerir saat selanjutnya permukaan lembut dan sedikit lembab menyentuh miliknya.     

Kedua lengannya yang ada di dada bidang milik pria jangkun itu terkepal dengan begitu erat, memberikan tekanan di sana. Nathan menggeram, gertakan giginya sengaja di kencangkan supaya pria yang seenaknya datang dan memperlakukannya sesuka hati itu sadar diri.     

Ya, memang benar jika dengan melepaskan belitan lengan yang menjerat tubuhnya ketat segera di turuti, hanya saja terlihat masih kurang di pahami oleh Max yang kali ini malah menakup rahangnya, dengan sorot mata yang begitu dalam seolah mengintimidasi.     

"Kenapa kau berjuang terlalu keras untuk menghindari ku? Apakah kau takut jika hati mu kembali menginginkan ku?"     

Nathan yang membalas tajam serupa malah berganti menyipitkan matanya. Sedikit mengeja tiap kata yang di memasuki pendengarannya, hingga setelahnya kesimpulan yang telah berlalu membuatnya muak.     

Menghempaskan kasar lengan Max, kemudian melemparkan pandangannya ke arah lain dengan hela napas beratnya. Buku tangan Nathan bahkan lagi-lagi terkepal di masing-masing sisi tubuhnya, hampir saja terangkat dan menghadiahi bogem mentah pada wajah Max yang terus saja membujuk dengan wajahnya yang begitu tak pantas untuk memelas. Di satu sisi bagian diri Nathan yang tak sepantasnya ikut bersedih?     

"Kenapa aku harus begitu? Kau tahu, persiapan pernikahan harus ku urus sebaik mungkin." Sebut Nathan sebagai alasan. Kemudian beranjak dari titik tempatnya saat hampir saja pertahanannya runtuh tak kuat untuk sekedar menahan bobot diri. "Sedikit pun tak ada pemikiran lain dari itu, terlebih kau?" lanjutnya dengan suara yang begitu lirih.     

Max mendengarnya sontak saja memutar badan menghadap Nathan yang tengah membelakanginya. Matanya menyorot tajam, pada pemilik bahu luruh yang masih dengan keras kepala keukeh menampakkan dirinya penuh tipuan.     

"Seperti kau yang mengharapkan hari ini berjalan sempurna hingga kau bisa mengenangnya sampai hari nanti?" Max mempertanyakan dengan suara yang sarat akan emosinya. Nathan yang baru setelah itu bersedia untuk menghadapnya, membuat Max menarik ke dua sudut bibirnya membentuk seringai.     

Itu adalah jam tangan yang diberikannya pada Nathan untuk hari spesial mereka. Alih-alih merasa senang karena perdanya pria itu menghargai pemberian dengan mengenakannya, yang ada Max malah merasa miris saat benda itu layaknya di paksa menjadi sesuatu yang tak berguna lebih dari pada sebuah aksesoris. Juga tanpa makna menunjukkan pada orang lain, terlebih saat jari manis pria itu yang nantinya terpasang cincin indah tanpa keterikatan pujaannya dengan sang adik.     

Haruskah Max memberontak? Menghancurkan detik putaran waktu yang tak seperti bisa dikendalikannya sedikit pun sedari awal? Mengobrak-abrik tempat acara? Menculik Nathan dari atas altar dan membuat semua orang menjadi saksi betapa gila cintanya?     

Sungguh, Max bisa saja melakukan hal itu, jika saja Nathan tak lagi memuntahkan kebohongan yang hanya semakin menyulut rasa cemburunya saja.     

"Memang benar. Karena aku berharap pernikahan ku ini terjadi sekali seumur hidup."     

"Dan kau masih tak ingin mengaku?" sentak Max dengan menggertak emosi. Ia benar-benar tak bisa bergerak maju untuk mendapatkan Nathan jika pria itu masih saja membatasnya dengan benteng terlalu kokoh. Terlebih dengan ketidakpastiannya yang di dapatkan jika ia bersikap brutal dengan mengabaikan perasaan semua orang, akan terlihat sama tak punya hati meski pun ia bisa merampas Nathan nantinya.     

"Aku hanya berjalan mengikuti arus, Max. Membiarkan segalanya terjadi pada ku, mengikuti takdir yang menggaris kisah ku. Dan berjalan di altar pernikahan bersama dengan adik mu, mungkin itu adalah yang terbaik."     

Max kemudian menundukkan kepalanya dalam, menahan napas di dalam diafragmanya untuk beberapa hitungan. Kelopak matanya terpejam dengan sangat erat, menarik raut wajahnya ke dalam dengan denyut otot di dahinya yang menampak jelas.     

Seiring dengan hembusan lelahnya yang keluar dari mulut, perlahan mengangkat kepalanya dengan jemari yang menarik surai kecoklatannya dengan begitu erat. Bibirnya yang terkatup rapat, kemudian terbuka dengan tertatih mempertanyakan, "Sekali pun aku yang akan membenci mu?"     

"Tak terlalu buruk jika itu bisa membuat mu menghilangkan ku di dalam hati mu."     

*******************************     

Semua orang bangkit dari tempat duduknya, tepuk tangan bergemuruh serentak di bunyikan untuk menyambut datangnya seorang wanita yang mengenakan gaun putih gading dengan model begitu anggun yang menampakkan lengan kecilnya.     

Berjalan di batas pertengahan dari dua sisi kursi undangan berderet yang merupakan orang-orang terpenting, dengan sang ayah yang memberikan tuntunan terakhir sebelum di serah kuasakan pada Nathan yang telah menanti dengan senyum tulusnya.     

Menganggukkan kepala pada Jonathan- papa Cherlin, mengisyaratkan Nathan bisa menjadi orang terpercaya untuk menjaga sang putri pada kehidupan selanjutnya.     

Berpindah tangan setelahnya, menarik pandang Nathan dan Cherlin untuk bertemu.     

"Kau cantik sekali," puji Nathan mewakili decak kagum dari yang sebagian besar orang. Terlebih dengan kedua keluarga mereka yang berkumpul, tak lepas menghilangkan senyum dengan netra berkaca karena merasa begitu terharu.     

Impian para orang tua akan segera terwujud, menjadikan persahabatan mereka lebih erat dengan ikatan pernikahan dari kedua anak mereka. Ya, bahkan sedikit melupakan satu sosok hancur yang bahkan berdiri dalam posisi terjauh supaya tak ada yang melihat kerapuhannya.     

Max melihat Nathan dengan jelas, dengan tubuhnya yang bersandar di salah satu pilar dengan satu lengan kanannya yang memegang gelas tinggi yang berisi minuman yang di harap dalam menenangkannya.     

Wajahnya sudah benar-benar tak berekspresi, untuk pertama kalinya bahkan kedua bola mata Max nampak berkaca saat mendapati Nathan dan Cherlin membalikkan badan memunggungi semua orang untuk mengucapkan sumpah setia.     

Demi apa pun, Max sudah tak mampu untuk menyaksikan lebih jauh lagi, detak jantungnya bahkan seperti hendak terhenti seraya napasnya yang kemudian terus menderu mencoba untuk menyelamatkan. Pilihan untuk meneguk sekaligus minumannya malah makin memperparah. Tenggorokannya tercekat, seperti memang ada sesuatu yang menghambat pangkal penghubungnya hingga membuat wajahnya seketika memerah dengan perlahan perih yang di rasakannya begitu menyiksa.     

Nyatanya Max masih menjadi orang lemah seperti kebanyakan orang jika berhadapan dengan cinta. Ia tak mampu melihat penyatuan dua insan yang jelas membuatnya mustahil untuk bisa lagi berharap. Menegakkan tubuhnya, kemudian dengan begitu lesu bermaksud beranjak dari tempatnya. Setidaknya saat ini ia ingin menenangkan diri, tak ingin menemui siapa pun atau pun melampiaskan emosinya.     

Langkahnya kian mempercepat, pintu keluar sudah ada di depan matanya, sebelum sebuah suara membuatnya seketika mematung di tempat.     

"Aku membatalkan pernikahan ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.