Hold Me Tight ( boyslove)

Kawan atau musuh dalam selimut?



Kawan atau musuh dalam selimut?

0Mengulas senyum tipis di bibirnya, setelah melepaskan dekapan dan kembali bertemu tatap. "Riasan mama akan luntur jika menangis seperti ini."     
0

Jelas saja menjadi hal aneh jika secara tiba-tiba Nathan begitu melangkah penuh perhatian setelah mendengar kisah Rara. Namun masih dengan maksud untuk membuat sang mama beranjak menjauh dari memori kelamnya yang terputar ulang. Dengan nada bicaranya yang seakan begitu datar, membuat Rara yang mengerti sifat anaknya yang serupa gengsi tinggi dengannya itu terkikik geli.     

"Hahaa... Percayalah, riasan natural tak sama dengan wanita sebaya ku yang begitu tebal," sahut Rara yang berubah santai seratus delapan puluh derajat dengan bahu yang terangkat ringan. Menuruti permintaan Nathan untuk tak lagi menunjukkan raut mengerikannya, dengan cepat di ambil solusi praktis dengan menepuk-nepuk pelan telapak tangannya di bekas aliran basah air mata kesedihan Rara sesaat lalu.     

Pandangan serupa jenaka mereka kemudian bertemu, kompak tergelak dengan tawa keras yang di dahului oleh Rara. Candaan ringan wanita itu untuk melepaskan penat, rasanya berhasil saat kemudian atmosfir di sekitar yang mengundang angin segar.     

"Lalu papa yang menjadi pria baik hati itu?" tanya Nathan setelah menghilangkan perlahan gurat tertarik senyumnya. Bermaksud ingin menebak cerita lanjutan.     

"Ya, sejak awal Bagas bahkan terlalu baik, hingga aku yang terlalu menginginkan lebih sampai melupakan batas waktu?"     

"Ku harap paman Hardi akan menjadi yang terakhir," ucap Nathan dengan penuh ketulusan, di balaskan Rara dengan bibir mencebik menahan tangis haru, sembari kedua lengan halusnya yang menakup rahang milik sang anak.     

"Harusnya memang sudah waktunya untuk pria itu mendapatkan apa yang diinginkannya. Menjalani kehidupan dua dunia setiap harinya bukan hal mudah sekali pun kesabaran pria itu yang tak pernah habis."     

"Jangan katakan bahwa pikiran ku benar," terka Nathan saat yang terpikirkan maksud dari Rara menyambung kecurigaannya sejak dulu mengenai sosok pria yang mengisi kehidupan Rara saat ini.     

"Dia adalah orang yang cukup ternama dengan profesinya, juru masak?"     

"Hebat. Pantas saja sewaktu kecil aku lebih suka masakan paman Hardi dari pada bibi," sahut Nathan yang tiba-tiba saja menjadi begitu bersemangat. Bahkan posisi duduknya tak lagi bisa tenang, tanpa sadar beringsut hadap lurus pada Rara dengan bibirnya yang menarik ke dua sudutnya terlalu lebar.     

Lantas, memancing ke lanjutan singkat perbincangan keduanya yang terasa semakin menarik. Untuk pertama kalinya di rasakan kebahagian yang begitu berbeda atas kedekatan keduanya yang perlahan seperti sekarang.     

"Senang bisa mengobrol dengan mu," lirih Rara yang sepertinya masih tak bisa menahan rasa haru. Kelopak matanya seperti berkedut, mendapat topangan dari kedua alisnya yang bertaut serta dahi yang berkerut dalam. Bibirnya yang seperti mendesak ingin terlepas dengan mencebik, masih seraya di tahan dengan keinginan tak ingin merusak moment.     

"Setelah perlahan ego yang saling kita turunkan."     

Rara kemudian menganggukkan kepala, menatap tampilan rapi sang anak dengan mengusap lembut jas di bagian dada milik Nathan.     

*****************************     

"Kau tampan sekali hari ini."     

"Tutup mulut mu!"     

Max menghempaskan kasar jemari lentik yang mengusap dagunya. Dengan memberikan lirikan tajam tak bersahabat, serupa dengan suaranya yang begitu dingin terucap.     

Namun nyatanya hal itu tak menjadi batu sandungan untuk Lea yang tak pernah kapok, kepercayaan dirinya yang meningkat setelah terakhir kali mendapatkan kesempatan yang di harapkan, dipercayainya bisa kembali menjadi pengendali untuk pria yang emosinya akhir-akhir ini masih terus meletup-letup itu.     

Bahkan tak segan menampilkan dirinya tanpa rasa bersalah. Malah sekali pun balik memprotes dengan sepatu tingginya yang di hentakkan kasar. Lengannya yang terlipat di depan dada, kemudian menjadi wanita yang terkesan manja dengan raut mencerung dengan bibirnya yang mencebik, serentak bersamaan dengan bahu tereksposnya yang di sentak.     

"Ckck! Di detik-detik akhir pun kau masih saja sombong. Apakah kau ingin semua orang melihat kita yang tak harmonis?" sungut Lea berbisik tepat di pendengaran pria itu.     

Jelas saja membuat Max yang mulai muak mendengus kasar. Mengangkat lengan kanannya, menampilkan telapak tangan besarnya yang terbuka. Lantas membuat wanita itu menarik mundur wajahnya hingga nyaris terjungkal, bukan hal mustahil jika mendapati ruas jemari besar Max yang akan mendorongnya paksa. "Bicara saja dengan tangan ku!"     

"Sialan!"     

Lea mendesis, keluar umpatan yang tak semestinya terlontar di acara besar dengan tamu undangan yang perlahan memasuki ruangan.     

Berada di ballroom hotel yang menjadi kebanggan keluarga Nandara, mendapatkan banyak pujian bertubi yang tak sekali pun absen di perdengarkan mengenai kemegahan gedung yang begitu mewah itu.     

Namun nyatanya perbincangan colongan mengenai maksud ingin kerja sama dari beberapa pengusaha yang hadir masih tak serupa angin sejuk untuk Max, acara yang tak pernah di harapkan untuk terjadi, terlebih dengan ke datangan Lea yang membuat pria itu semakin bertambah emosi.     

Demi apa pun, Max ingin sekali mengobrak-abrik seluruh dekorasi yang identik warna bunga putih lambang cinta tulus itu. Nyatanya ia sudah kabur untuk sekedar mempercayai, karena keyakinan penuh di dalam hatinya malah perlahan mengikis habis tak lagi bisa tersisa. Orang-orang yang datangnya lebih untuk membuatnya muak dengan senyum terlalu lebar untuk sekedar sopan santun, di anggapnya terlalu berlebihan selayaknya menertawakan kepedihan sosok penguasa yang terlihatnya.     

Hari ini adalah acara pernikahan Nathan dan Cherlin, Lea yang datang dengan api panasnya yang terus berusaha untuk menyulutnya, membuat pria yang tak lagi bisa di ajak bercanda itu malah mengeluarkan kalimat yang jelasnya menyinggung wanita itu.     

"Kau terlalu berubah menjadi sosok menyebalkan, pantas saja orangtua mu lebih memilih memaafkan kakak bajingan mu yang walau begitu berubah perlahan baik. Ku rasa mereka mengambil keputusan yang tepat."     

Lea bersungut, hampir saja melayangkan lengan kecilnya yang mengepal erat jika saja tak melupakan efek kekacauan yang akan di buatnya nanti.     

Menampakkan raut permusuhan pada Max yang nyatanya bukan hanya sekali dua kali terjadi. Mendengus kasar, kemudian mendorong posisi Max yang menghalangi meja.     

Pelampiasan yang di rasakannya tepat adalah minuman beralkohol yang langsung di teguknya rakus sekaligus. Meletakkan yang gelas tinggi yang telah kosong itu, kemudian menyabet satu lagi lagi untuk di bawanya pergi.     

Niatannya untuk menepi dengan ruang khusus minuman penenangnya yang dapat di handalkan meski pun tak seberapa. Hanya saja sebelum langkahnya sampai ke sisi ujung yang di tentukan melalui pandangan meliar singkatnya, sebuah benda kokoh tiba-tiba saja menyambutnya kala badannya yang berputar dan beradu kuat yang jelas mengalahkannya.     

Brak     

Ctarrr     

Satu jalan kekacauan yang berusaha di tutup, malah datang dengan cara lain yang bahkan tak bisa terduga.     

Seluruh pandangan pun terarah penuh pada sosok wanita cantik dengan raut wajahnya yang menampakkan tanduk di kedua sisi kepalanya. Napas Lea singkat tertahan di dalam diafragma, kesalahan pasti tertuju padanya tanpa pandang bulu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.