Hold Me Tight ( boyslove)

Detik akhir



Detik akhir

0"Maafkan saya nona. Sungguh, saya tak bermaksud."     
0

"Apakah mata mu buta? Lihat pakaian mahal ku!" Akhirnya tanpa bisa di cegah, saat pandangannya bertemu tatap dengan raut memelas yang membuatnya semakin darah tinggi. Bahkan abai dengan suara kasak-kusuk yang membicarakan tindakan tak bersahaja dari wanita yang predikat sebagai calon istri putra sulung dari pemilik acara.     

"Akhh!" Kemudian Lea memekik, saat Max akhirnya turun tangan dengan mengamankan wanita yang seperti tengah kerasukan iblis itu.     

"Minta tolong pelayan untuk membersihkan kekacauan ini," perintah Max dengan menepukkan lengannya pada bahu pria yang hampir saja mendapatkan tamparan keras dari Lea.     

Memutus pertunjukkan singkat yang membuat semua orang malah mendesah kecewa saat begitu cepatnya berakhir, alih-alih satu dari sekian yang masih menetapkan ketegangannya di balik wajah khasnya yang begitu datar.     

"Max!" teriak Lea saat akhirnya pria itu menghempaskan lengannya kasar. Membuat wanita itu singkat merintih kesakitan dengan, pergelangan tangannya yang terdapat bekas cengkraman milik Max.     

Pria itu membawanya ke kamar mandi, mengunci pintu utama untuk mencegah siapa pun yang hendak masuk.     

Sedikit membuat Lea bergetar ketakutan di posisinya, saat Max yang menarik surainya menjadi mencuat berantakan disertai umpatan yang sampai mendengung ke setiap sudut pembatas keramik itu.     

"Nyatanya aku memang tak serius mengatakan ketidakpedulian pandangan orang terhadap kita. Sungguh, hanya untuk melindungi perilaku buruk mu yang bisa saja menjadi topik media untuk menyebarluaskannya. Menyangkutpautkannya dengan keluarga ku dan seperti yang sudah-sudah."     

"Demi apa pun. Ini bukan tentang perkara sepele hingga wajar jika saja memprotes ku yang marah berlebihan. Namun jelas untuk hari ini segalanya berbeda. Aku harus tampil sempurna untuk menjadi pasangan mu, dan dengan lancangnya pria rendahan itu mengacaukan ku!"     

"Ku rasa aku pernah mengatakan pada mu jika aku sangat membenci orang yang mendiskriminasi golongan melalui derajat mereka yang terlihat," ucap Max dengan rautnya yang nampak begitu tak menyangka akan hal dasar darinya itu. Namun nyatanya tak di pikir lebih buruk dari pada dirinya yang kali ini di tertawai.     

"Jadi, kau pikir tampilan memalukan ku ini bukan hal penting dari pada sifat sok bijak mu ini, eh?" balas Lea dengan menunjukkan gaun dominan warna putihnya yang rusak terkena cairan bewarna itu pada bagian dada. Max yang melengos seolah tak memahaminya kembali, membuat Lea yang amat marah mendorong kasar dada bidang milik Max.     

"Harusnya aku bisa memperkirakan jika perbincangan kita tak akan bisa menyambung seperti dulu. Kau selalu menangkap ucapan ku dari sisi negatif," ujar Max.     

"Aku yang harus di salahkan lagi? Apakah kau tak melihat jika pria bajingan itu yang menabrak tubuh ku terlebih dahulu?"     

"Kau mulai lagi. Sungguh, aku akan menyelesaikan masalah yang kau anggap tak main-main ini. Hanya dalam waktu singkat, aku akan menghubungi mas Riki untuk mencarikan gaun sedana warna dengan milik mu biar kau puas." Max sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jas. Lengannya sudah akan menekan panggilan cepat yang tertuju pada Riki, jika saja Lea tak ingin memperkeruh suasana dengan lanjutan bicaranya yang menimpal.     

"Dia yang berbuat salah, dan kau sendiri yang malah selayaknya melindungi pria itu dengan dalih pekerjaannya yang memuaskan."     

Max menurunkan lengannya yang menggenggam ponsel, menautkan alisnya saat Lea yang berdecih kemudian bersendekap sembari bola mata yang memutar antagonis.     

Rupanya tak sampai di situ saja Max di buat bungkam, karena setelahnya Lea masih saja berniat menghabiskan emosinya.     

"Nampaknya kau memang sepercaya itu dengan pengawal Cherlin. Menempatkannya pada ruang yang begitu rawan, hingga membuat mu yang tanpa bisa lagi menyadari jika sosok rendahan yang kau bela baik keseluruhannya itu telah menjadi sosok monster yang begitu menakutkan," menjeda ucapannya, dengan tawa meledek yang jauh terdengar sumbang di pendengaran Max yang mengetatkan rahangnya.     

"Max, sadarlah.... Orang rendahan tak mungkin bisa di pukul rata sikap baiknya karena satu faktor memelas kehidupan mereka. Kau yang terlalu melupakan akibat dari kesenjangan sosial, sifat alamiah mereka yang bisa saja ingin menyamaratakan kadar kebahagiaan dari golongan kita. Sungguh, aku masih tak habis pikir dengan penglihatan mu yang sama sekali tak terbuka, atau malah kau yang terlalu mengikuti permainannya dengan peran serupa yang kau anggap hanya untuk mengelabuhi mu saja?"     

"Sudah dua kali, namun kau masih saja membuat ku bingung dengan kata-kata mu," lirih Max yang kemudian tertarik peristiwa makan malam dengan dansa berpasangan antara keduanya serta Nathan dan Cherlin.     

Lea yang waktu itu membuatnya kesal, dengan hal serupa yang di beritahukan, serta hal inti yang di dapati jika mungkin saja Nathan bukan ayah biologis dari janin yang di kandung oleh adiknya itu.     

Nampaknya untuk kedua kalinya meninggalkan teka-teki terselubung, membuat Lea merasakan kebanggaan besar dalam dirinya. "Tak heran, kau yang merasa terlalu percaya diri dengan sifat selektif mu."     

"Ah ya, walau pun begitu aku masih mengharapkan kau memerintahnya untuk membawakan ku gaun. Karena sungguh, aku sangat ingin menjadi saksi di mana ikatan janji suci Nathan dan Cherlin terjadi. Aku yakin kau pun begitu."     

Max membungkam, saat perlahan Lea mulai beranjak pergi memasuki salah satu bilik toilet.     

Menjadi semacam potongan puzzel yang masih hilang beberapa bagiannya, membuat Max memperkirakan jika Lea mengetahui sesuatu.     

Namun lebih dari pada ingin mempersulit diri, Max pun kemudian beranjak cepat untuk pergi menemui Nathan. Ia tak memiliki waktu lebih untuk mendesak jawaban dari Nathan, terlebihnya berusaha membujuk pria itu untuk tak lagi bebal dan memilih jalan tepat yang sejak awal dipersiapkannya.     

Terburu-buru memasuki lift, menekan tombol angka persis di atas ballroom. Napasnya menderu dengan gertakan gemas saat rasanya langkah membawanya begitu lambat ke sebuah pintu ruangan. Melupakan sela panggilannya untuk memerintah Riki membawakan gaun pengganti.     

Nathan yang beberapa hari terakhir bersembunyi darinya, membuat Max memastikan jika dirinya akan berhadapan dengan pria itu dan memastikan kesungguhan Nathan bawasannya dirinya tak pernah ada di hati pria itu.     

Sebelum sempat tubuhnya memaksa masuk ke dalam unit hotel milik Cherlin, terlebih dahulu ketiga sosok pria keluar dari dalam sana dan menyapanya.     

Max hanya membalas seadanya, hanya mengangkat dagu dengan mimik wajah yang sama sekali tak ramah. Galang dan Aki rupanya menyadari hal itu, namun tidak dengan Tommy yang masih menghalangi jalan dengan mimik wajahnya yang mengiba.     

"Apakah kau tak apa? Sungguh, aku tak pernah membayangkan jika akhirnya akan seperti ini."     

"Entahlah, mungkin aku yang sejak awal terlalu percaya diri hingga tak memperjuangkannya sekuat tenaga."     

Tommy mengangguk mengerti, kemudian memberikan di bahu milik Max sebagai tanda keberpihakannya.     

"Masih sempatkan jika aku menyumbang doa untuk kegagalan dari pernikahan mereka?"     

"Percayalah, dalam hati ku pun berkubu tentang harapan itu. Kontranya dengan kelangsungan hidup adik ku?"     

"Ah ya, benar. Jadi, ku harapkan yang terbaik saja untuk semuanya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.