Hold Me Tight ( boyslove)

Kenapa datang?



Kenapa datang?

0"Jangan mengada-ngada, aku malas," sentak Max yang baru saja membuka mulutnya, sekaligus mematikan hingga membuat Nathan dan Cherlin yang kemudian sigap berdiri malah mematung.     
0

Rupanya lain halnya dengan Lea yang bermental baja. Tanpa peduli Max yang bisa saja membantingnya ke lantai. "Oh ayolah, sayang... Aku sangat ingin mencatat hari ini sebagai kebahagian penuh momen untuk kita. Dua pasang kekasih yang di impikan semua orang."     

Dan nyatanya itu berhasil, meski pun dengan dengusan kasar Max saat tubuhnya bangkit dari duduknya.     

"Aku tak bisa berdansa, maaf Lin," lirih Nathan saat merasa bingung akan meletakkan lengannya di mana. Sementara Cherlin yang telah mengalungkan lengannya di leher Nathan, hampir saja menyemburkan tawanya kalau saja tak melihat wajah memelas yang di tampilkan oleh pria itu.     

"Hei, kenapa harus minta maaf? Aku bisa membimbing mu kak..." balas Cherlin, yang kemudian menarik kedua lengan milik Nathan untuk bertengger di pinggangnya yang begitu ramping.     

Kemudian menggerakkan langkah kaki walau sedikit tertatih, dengan perlahan-lahan, menyesuaikan ingatan Nathan yang sedikit demi sedikit mengeja. Walau beberapa kali nyaris saja menginjak kaki milik Cherlin.     

Kemudian tak lama setelahnya, Cherlin mempredikatnya dirinya sendiri menjadi guru pembimbing yang begitu handal. Nathan sudah sedikit bergerak lebih luwes.     

Seakan menjadi pelajaran yang paling berkesan, senyum Nathan bahkan terbit di bibirnya, walau netranya yang menjadi sendu saat memori kilas baliknya bersama dengan Lisa yang masih teringat dengan jelas. Bukankah sebelum hari itu, Lisa berjanji akan berdansa dengannya di tahun selanjutnya ia bertambah usia?     

Hampir saja Nathan tenggelam lagi dalam kesedihannya, air matanya bahkan seperti telah menggenang di pelupuk mata, jika saja Cherlin tak memutusnya dengan kepala yang di sandarkan persis di dada bidang milik Nathan.     

"Aku selalu suka saat melihat brother ku dengan kak Lea berdansa, bukankah mereka nampak sangat serasi?" ucap Cherlin yang kemudian mengiring objek pandangnya pada Nathan.     

Di tengah ruang privasi, sangat lekat dengan keabaian para pengiring musik yang konsen dengan melodi mereka. Lea dan Max di sana, menempati bagian sudut lain dengan lingkupan tubuh ke duanya yang nampak begitu sensual.     

Dari jarak yang sedikit jauh, terbatas pula dengan pencahayaan remang-remang dengan berkas cahaya lilin yang membantu. Namun Nathan bisa begitu jelas menatap sepasang kekasih itu. Berbeda dengan yang di tolak mentah-mentah oleh sang pria. Mereka saat ini bahkan terlihat begitu mesra, dengan balas bicara serta kedipan mata yang seperti tengah saling menggoda. Tak hanya sebatas itu, bahkan hampir saja membuat Nathan memekik terkejut, karena tanpa sedikit pun aba-aba yang terlihat, bibir Max dan Lea telah menyatu.     

Mereka berciuman dalam, bahkan terlihat saling bernafsu. Telapak tangan sang dominan mencengkram belakang kepala milik Lea, sementara pertunjukkan terlihat makin tak pantas. Lea yang mencengkram bagian kerah kemeja milik Max, sementara gaun panjangnya yang membelah sisi tepinya memperlihatkan jelas gerak kaki wanita itu kala menyusup pada kejantanan milik Max.     

Tiba-tiba saja Nathan menjadi keringat dingin, napasnya yang kemudian menderu dengan sulitnya ia menelan ludah kala menjadi saksi kemesraan mereka.     

Cherlin yang mengangkat satu alisnya, mempertanyakan keadaan Nathan yang kemudian malah di tanggap berlawanan maksud dari pria itu.     

"Ehm... Ya, ku pikir kita bisa seperti mereka juga," balas Nathan terbata, sembari gerak dansanya yang tak berhenti, memposisikan tubuhnya memblokade pandangannya supaya tak terganggu oleh kegiatan sepasang kekasih di sana.     

"Termasuk berciuman?"     

"Apa?"     

Ya, namun mustahil membuatnya menyingkir dari cobaan lain saat Cherlin sudah mengeratkan lilitan lengannya dengan mengikis jarak wajah keduanya.     

Max dengan Lea, harusnya Nathan bisa melakukan hal itu tanpa sungkan pada Cherlin, kan?     

*******************************     

"Astaga!"     

Nathan terkejut, saat langkah terburunya memasuki ruangan malah mendapati satu sosok yang membalikkan tubuhnya dari jendela, seperti memberikannya sambutan dengan bibir tipis menarik kedua sudutnya kecil.     

Max di sana, membuat Nathan mengernyitkan dahi, sembari pergerakannya yang beringsut dari ambang pintu.     

"Kau mengejutkan ku," lanjut Nathan yang tak lebihnya sebagai pertanyaan menyindir kelancangan. Keluarga mereka memang dekat, namun hal itu tak bisa di jadikan alasan untuk bisa membuat Max masuk wilayahnya tanpa seizin, kan? Terlebih acara makan malam kemarin yang menjelaskan hubungan mereka yang tak seberapa walau hanya untuk sekedar basa-basi sekali pun.     

"Dari mana saja, bukankah ini sudah terlalu melewati jam masuk kantor?"     

Ah, lihatlah! Bahkan Max yang dengan mudahnya mengambil nada seolah mengintrogasinya. Mengabaikan Nathan yang mencerung dengan netra yang menyipit tajam.     

"Ah ya, ku pikir kita dekat, jadi aku masuk ruangan mu tanpa izin."     

"Makan siang," ucap Nathan begitu singkat. Berpura-pura sibuk dengan ponsel miliknya, menjadi tak normal saat ia merasa sungkan mendahului duduk di ruangannya sendiri. Jelas karena Max yang tak sedikit pun mengalihkan intens padanya.     

Kalau tidak seperti itu, Max malah seakan-akan menjadi pemilik yang mengamati setiap detail ruangannya dengan langkah yang mengikuti.     

Tanpa sungkan mengobrak-abrik meja kerjanya yang berantakan, kemudian mengambil bingkai foto kecil yang terdapat gambar dirinya, Zeno, serta Jevin yang berswafoto di atas ranjang.     

Singkat, Nathan melihat rahang milik Max yang mengetat dengan penglihatan jelasnya bagian samping yang mengguratkan otot-otot wajah yang berdenyut.     

Segera berpaling saat Max yang berada di posisi belakangnya itu mulai beranjak mendekat, ketar-ketir di rasakan jika saja pria jangkun itu yang akan membahas perkara tak penting mengenai kedekatannya dengan Jevin.     

Ah tidak, itu rupanya perkara lalu saat Max yang begitu mencemburui siapa pun yang ada di dekatnya, karena setelah puluhan detik berlalu saat Max menempati sofa tunggal berhadapan dengannya, pria berparas oriental itu hanya tetap bungkam.     

Bukan menjadi keperluannya, Nathan tak perlu repot-repot mengambil topik untuk memecah keheningan, kan?     

"Terlalu nyaman mengobrol, bersama siapa? Tak mungkin bersama Cherlin saat ku lihat keadaan mu baik-baik saja saat ini, jadi?"     

"Cherlin tak kemari, dan secara kebetulan ada waktu untuk ku makan siang bersama dengan mama dan papa ku di kantin."     

Layaknya menjadi balasan yang membuat Max tak memperkirakan sampai sejauh itu. Bahkan satu sudut bibirnya yang tertarik membuatnya menyeringai seolah semacam lelucon yang di dengar kala sebuah keluarga mulai bertahap harmonis.     

Memang di akui sifatnya sama dengan Max pada awalnya, tak akan berniat dekat terlebih dahulu dengan siapa pun yang tak mengharapkan respon balik yang di harapkan. Hanya saja kasusnya kali ini telah berbeda, Nathan yang sudah lelah dengan segalanya, membuatnya membuka hati terlalu lebar dengan pintu maaf yang di sediakan sekali pun untuk Rara.     

Ya, memang tak sepenuhnya, Nathan hanya berusaha menutup luka yang menganga di hatinya, tanpa harapan lebih untuk menghilangkan sekaligus bekas cabikannya. Paman Hardi? Entahlah, bahkan sampai saat ini ia seperti tak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pria itu secara pribadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.