Hold Me Tight ( boyslove)

Menyerah pada takdir



Menyerah pada takdir

0"Hahah... Apakah menurut mu itu hal yang mengejutkan? Oh ayolah, Lin.... Dia hanya terlalu mengkhawatirkan mu saja," balas Nathan yang seolah hanya memahami emosi Max pada Cherlin di ruangan ini. Suaranya terbata karena memang ia yang tak pandai untuk berbohong, terlebih dengan tatapan intens Cherlin yang seolah ingin menafsirkan raut wajahnya yang berubah menegang.     
0

"Hei, kenapa kau tak datang ke kantor ku?" tanya Nathan yang berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan, tak peduli Cherlin yang masih nampak tak puas dengan jawabannya.     

"Percuma saja, jika makanan kesukaan mu itu tak ku bawa," balas Cherlin yang mengakhirinya kalimatnya dengan menghela napas panjang.     

"Kau tak sempat memasaknya?"     

"Karena wanita-wanita jalang yang ada di kelas ku menghancurkannya."     

"Dan yang jelas tak terima hingga membuat wajah mu menjadi lebam seperti ini?"     

"Mereka mengeroyok ku, begitu pengecut sekali."     

"Ya, untung saja tak terjadi hal buruk antara diri mu dan juga calon adik untuk Zeno."     

Nathan ikut merasa jengkel, saat penjelasan singkat Riki yang sempat sempat terucap bersamaan dengan pemeriksaan singkat Cherlin.     

Secara garis besarnya Nathan dirundung oleh beberapa mahasiswi yang merupakan kawan sekelasnya. Beradu fisik saat Cherlin yang berusaha mempertahankan goncangan terlalu keras mengenai janinnya saat tanpa belas komplotan itu mengguyur Cherlin dengan air kotor.     

Tak ingin mengingatkan wanita itu dengan kemalangan yang di alaminya tadi, Nathan pun kembali memberikan pelukan erat menunjukkan bawasannya dirinya akan selalu ada di sisi wanita itu untuk memberikan dukungan.     

"Bukankah aku terlalu beruntung untuk bisa bersama dengan pria sebaik diri mu? Sungguh, bahkan wanita-wanita itu saja sangat iri kepada ku sampai-sampai melakukan kebodohan ini terhadap ku."     

Nyatanya setelah membuat Nathan tersenyum lirih karena sanjungan itu, Cherlin malah kembali meneteskan air matanya di dada bidang Nathan.     

Sungguh, ia merasa amat berkesan dengan kebaikan yang Nathan tunjukkan, bersedia menjadi kambing hitam untuk menghambat datangnya masalah yang jauh lebih besar lagi terjadi.     

Cherlin tahu di posisinya saat ini ia tak bisa berbuat sesuka hati, bukan ranahnya pula untuk menunjukkan ego tinggi dengan bentuk kepemilikannya terhadap Nathan.     

Namun setelah makin lama terjadi, entah mengapa kebahagian yang di rasakannya terasa begitu palsu. Senyumnya pun bahkan seperti tak bisa secerah saat awal ia hanya bermaksud ingin menggoda Nathan.     

Lambat laun ia menjadi begitu rapuh, tumpuannya hanya pada satu pilar penyangga yang nyatanya hanya sebongkah bentuk retak yang kapan saja bisa lebur.     

Nathan hanya berusaha menampilkan dirinya seolah tegar, juga di pandang buta oleh Cherlin yang tak punya pilihan. Pada dasarnya kedua mereka hanya saling menguatkan, tak bisa berbuat jauh layaknya sepasang kekasih sungguhan.     

Ya, bahkan mungkin saja Cherlin yang mulai takut kehilangan sosok baik Nathan di hidupnya, makin beringsut ke dalam pelukan pria itu. Tanpa peduli penciumannya yang membaui dengan begitu yakin sosok lain yang mendekap Nathan sebelum dirinya. Seseorang pemilik jas kebesaran yang di gunakan oleh Nathan. Pelaku yang membuat kancing kemeja Nathan hilang beberapa. Hanya satu sosok yang pastinya begitu dominan memberikan bekas kemerahan yang begitu jelas di beberapa titik tubuh Nathan.     

*********************     

"Selamat siang, sayang?"     

"Buang kalimat menjijikkan serta nada bicara mu yang menggelikan itu. Atau kau yang lekas sadar diri untuk tak menggangu tak mengganggu waktu."     

"Oh ayolah, Max.... Kejam sekali kau... Kita bukan rekan kekasih palsu biasa, kan? Aku adalah wanita yang menemani masa sekolah mu sampai dengan detik ini."     

"Dan kau yang semakin hari membuat ku muak hingga berniat untuk mendekap mu dari gelar itu."     

"Sialan!"     

Max beranjak dari tempatnya, melepaskan pemandangan keramaian  melalui bilah pembatas kaca penuh yang ada di ruangannya. Bukan bagian yang bisa di katakan setimpal, saat penggantinya adalah senyum yang selalu tertampang licik dari Lea. Ya, bahkan ia sampai heran dengan dirinya yang tak kunjung menghapus nama wanita itu di dalam kehidupannya, atau mungkin karena memori lama tentang indah persahabatan mereka yang masih tersimpan? Seakan di katakan terlalu sepele jika hanya segelintir kesalahan wanita itu yang membuatnya kesal, bahkan semisal tipu muslihat wanita itu mengenai drama di tengah keluarganya? Kenyataan hanya sebatas membenci, masih di toleransinya karena memang kakak tiri wanita itu yang bangsat.     

Baiklah, Max malah membahas kehidupan pribadi Lea, sementara pikirannya sendiri malah tengah di pusingkan mengenai kelanjutan kisahnya yang seperti tak menemukan sedikit pun titik terang. Nathan masih saja keukeh mempertahankan niatannya, bahkan terlalu keras kepala untuk sekedar membukakan lagi celah untuknya bisa menyusup dan mempengaruhi.     

Ya, seakan memang mustahil untuk mendapatkan kembali cintanya.     

"Kau sedang sibuk?" pertanyaan Lea membuat Max tersentak dari lamunannya. Hanya mewakili balasan dengan satu alisnya yang terangkat pada wanita yang duduk di sofa tunggal berhadapan dengannya itu.     

"Ah... Bagaimana aku sampai mempertanyakan hal itu? Kau yang tetap terdiam sampai aku membuka suara ku, memandang jalanan luar yang begitu panas dan berdebu, kesimpulannya kau memang benar-benar tengah luang, kan? Itu bagus," heboh Lea yang bahkan sampai berjingkrak dari tempatnya. Senyumnya terukir begitu lebar, bahkan deretan gigi rapi dan putihnya nampak sangat jelas, jika saja Max tak membuka mulut untuk menghancurkan semangat berkobar wanita itu.     

"Hanya saja selalu tak ada kata luang untuk mu, bahkan di saat yang ku butuhkan saat ini adalah berlibur."     

"Kenapa kau masih saja sombong? Ingat, kau tak mempunyai pilihan lain selain hanya terus bersama dengan ku, kawan," sungut Lea yang bahkan sampai menunjukkan wajah Max secara tak sopan.     

Membuat pria yang masih begitu sensitif itu meraung, hampir saja ia meloncat dari tempatnya dan mencabik habis wajah Lea yang terlihat begitu puas karena telah memberikan sepenggal kata menohok.     

"Apakah kau tak ingin beranjak meninggalkan ku dengan inisiatif? Sebelum aku berubah makin murka dan tak main-main untuk menendang mu dari kantor ku," peringatan Max pertama. Namun meski pun begitu, tak mengasingkan sedikit pun tatapan tajam dengan khas suara dinginnya.     

Namun jelas tak menjadi pengaruh untuk Lea yang sudah mengenal luar dalam. Bahkan di balik emosi Max yang terpancing, ia masih saja menggelengkan kepala dengan bibir berdecih yang seolah menyepelekan Max.     

"Agaknya kau masih tak memahami sisi baik kehadiran ku. Ayolah, Max... Tunjukkan pada pria bodoh yang memilih jalan sulit untuk hidupnya itu. Kau bisa tanpanya. Tunjukkan bahwa dia bukan lagi menjadi sosok yang ada dalam prioritas mu selayaknya dia memperlakukan mu dengan begitu sadis."     

"Nampaknya kau menjadi orang paling bahagia saat aku kembali tak menggapai cinta ku."     

"Sungguh, kenapa kesan mu terlalu buruk pada ku, Max? Apakah kau melupakan janji mu dulu untuk ku?"     

"Dan aku menyesal karena mengikat tali persahabatan dengan wanita gila seperti mu."     

"Hanya tak ingin melihat mu terluka."     

"Juga untuk kepuasan bercinta yang kau dapat dari ku. Kau yang trauma dengan pria lain, tapi perlahan mulai bisa memaafkan kakak mu yang bajingan itu? Jangan bilang aku tak tahu jika beberapa waktu lalu dia memberikan mu hadiah ulang tahun yang sempat tertunda." Max berdecih, kemudian lengan terjulurnya yang menunjuk kalung berlian yang sangat indah menghiasi leher jenjangnya.     

Singkat membuat wanita itu buang muka, dengan pergerakan naik turun di bagian leher Lea yang meneguk ludahnya kasar. Sebelum otaknya bekerja dengan begitu cepat untuk menyamaratakan kemirisan yang di dapatkan.     

Bangkit dari tempatnya, kemudian menjulurkan tangan pada Max yang lagi-lagi mengerutkan dahinya dalam.     

"Tapi kau pasti membutuhkan bantuan ku untuk mencari setelan rapi yang jelasnya akan serasi dengan ku."     

"Maksudnya?"     

"Oh Tuhan... Apakah kau melupakan hari pernikahan adik mu bersama dengan Nathan minggu ini?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.