Hold Me Tight ( boyslove)

Tak ada yang salah?



Tak ada yang salah?

0Sorot matanya yang terangkat dan terarah lurus padanya setelah itu, mengisyaratkan kepedihan atas ketidak berdayaannya melakukan sesuatu untuk wanita yang mengandung anaknya. Dan sampai detik ini, Nathan tak bisa menemukan cara lebih baik dari pada menghancurkan segalanya dengan kenyataan kondisi Cherlin atau bahkan pria brengsek yang dengan biadabnya meninggalkan janin di kandungan wanita yang masih tertatih beranjak dewasa itu.     
0

Dan lebihnya di bagian lain, ia bisa melihat Max yang menyandar di bagian pembatas kaca. Kabut hitam sekitarnya yang seperti tak ingin ada satu orang pun memasukinya. Mimik wajahnya masih terlihat begitu emosi, pelampiasan yang sangat bodoh saat sebuah botol yang menyimpan minuman penghilang kesadaran, di tenggaknya rakus tanpa perkiraan efek setelahnya.     

Langkah Nathan tiba-tiba saja berjalan dengan cepat, iringan tatap dari Max yang menyadari sementara di saat bersamaan mengusap lelehan cairan di sudut bibirnya menggunakan punggung tangan.     

Niat hati layaknya begitu mengkhawatirkan, merampas botol kaca itu dan menghempaskan nya menjadi puing-puing tajam dengan cairan habis mengalir ke lantai. Namun nyatanya saat semakin dekat dengan pria pemilik netra mengagumkan yang saat ini begitu sendu itu, langkahnya malah semakin melambat, seolah ingatannya ingin menyadarkan gerak sinkron tubuhnya. Ya, bukan tentang mereka yang di maksudkan.     

"Kau keterlaluan," ucap Nathan dengan suaranya yang begitu datar, di balaskan seketika oleh Max yang berdecih dengan senyum seringai di bibirnya.     

"Keterlaluan siapa, aku atau kau?" sengit Max yang setelahnya membuat tenggorokannya tercekat. Tanpa mempedulikan tatapan tajam Nathan pada botol yang di genggamnya, ia malah kembali gila-gilaan dengan meneguk kembali minuman yang di harapkannya bisa melupakan kekalahannya saat ini.     

Prangg     

Yang pastinya membuat Nathan muntlak. Tak lagi bisa di tahan untuk melenyapkan cairan pekat yang memabukkan itu, di benaknya bahkan kabur akan perkiraan Cherlin yang bisa saja terganggu dalam istirahatnya, atau bahkan Riki yang menjadi saksi pertengkaran mereka yang membeku di tempatnya.     

Menyentak hadap Max untuk melihatnya secara penuh, menghempaskan pria berotot itu, menempelnya di pembatas kaca yang menampakkan pemandangan indah mega merah yang di harapkan Nathan sejak awal pernah menjadikan apartement ini sebagai tempat sebutannya untuk kembali pulang.     

Lagi-lagi merasa emosinya yang seperti terpanggil, air matanya mendesak datang, meski begitu masih berusaha di tahan dengan lengan terkepalnya yang meninju dada kiri Max yang berdebar begitu kencang.     

Masih meletakkannya di sana untuk beberapa saat, merasakan irama denyut yang terngiang kembali dalam benaknya. Sorot mata yang masih memujanya seperti dulu, meski di ketahui itu menjadi semakin mustahil untuk saat ini. Melepaskan, perlahan lengannya luruh dan menjauh dari Max yang jelas menatapnya penuh dengan kekecewaan, terlebih saat Nathan berkata,     

"Ini bukan tentang aku atau pun kau, ini tentang Cherlin! Bisakah kau tak berusaha mengambil celah lain untuk membahas tentang kita? Karena itu sudah berlalu."     

"Benarkah? Tapi ku rasa ciuman ketiga yang ku dapatkan dari mu dari cukup menjelaskan semua. Kau masih menempatkan aku di dalam hati mu," balas Max yang masih saja memastikan perasaannya tak keliru. Langkahnya memutus jarak berusaha mengulangi, hanya saja Nathan tak berpihak, pria itu malah bergerak mundur. Tak mempedulikan puing botol kaca yang bisa saja melukai telapak kaki telanjang Nathan, bahkan lengannya yang berusaha melindungi malah dihempaskan kasar pria itu tanpa tahu terimakasih.     

"Ku pikir keadaan sudah membaik. Kau yang akhir-akhir ini tenang, ku pikir menyetujui semuanya."     

"Jika saja kejanggalan demi kejanggalan tak muncul di benak ku."     

Ya, rupanya Nathan masih ingin berdebat tentang perubahannya yang tiba-tiba. Jujur saja, sebelumnya Max ingin bergerak lambat dan mengetahui sampai batas mana Nathan bisa melarikan diri darinya. Hanya saja perkiraan terlalu melebar jauh, Nathan yang di ketahui sifatnya cenderung lebih tidak peduli, malah tak di sangkanya menjelma menjadi seorang pria yang begitu sensitif dengan pemikirannya pada perasaan semua orang. Bahkan sempat membuatnya terperangah atas pilihan pria itu yang berdamai dengan sosok wanita paruh baya yang mengabaikannya sejak awal. Menjadi bagian alasan yang tak bisa di terima olehnya, jika saja Nathan hendak bersiap menyediakan lingkup keluarga harmonis untuk calon bayinya dengan Cherlin.     

Jika saja satu-satunya alasan itu benar, karena alih-alih demikian, mimik wajah Nathan yang otomatis menegang membuatnya makin condong tak mempercayai pengakuan Nathan.     

"A-pa maksud mu?"     

"Pertanyaan dasar saja, apakah milik mu masih bisa terangsang untuk seorang wanita?" pertanyaan frontal di ajukan oleh Max, membuat Nathan mengeram emosi dengan buku tangannya yang terkepal erat.     

"Max... Aku tak suka dengan pembicaraan ini."     

"Kenapa membalas ya atau tidak begitu sulit untuk mu? Ku pikir itu bukan pilihan yang sangat sulit hingga kau harus menutupnya terlalu rapat."     

"Bukan karena pilihannya, hanya saja kau yang terlalu lancang untuk tahu masalah pribadi orang lain."     

"Nath!"     

Nathan memilih memutar badan, tak terlalu bodoh untuknya menyakiti diri dengan menginjak puing-puing tajam itu.     

Panggilan Max masih tak di pedulikannya, alih-alih Nathan yang kembali bertemu tatap dengan Riki yang tak lama setelahnya terputus saat pria itu menenggelamkan kepalanya dengan menunduk dalam.     

Nathan kembali masuk ke dalam ruangan Max yang menjadi bagian teraman. Napasnya yang menderu, di habiskan seketika di ambang pintu. Ya, bahkan ia melupakan air putih untuk setidaknya bisa melumas kerongkongannya yang begitu kering, bahkan untuk persediaan Cherlin yang bisa saja terbangun dan rasa haus menderanya. Nampaknya ia memang terlalu malas untuk berada lebih lama di sekitar Max.     

Cherlin menggeliat, dengan perlahan tubuhnya yang beranjak keluar dari dalam selimut yang menyembunyikannya.     

Nathan membuka dan menutup pintu dengan sangat berhati-hati, tak mungkin untuknya menganggu istirahat Cherlin. Rasanya dengusan kasarnya pun tak terlalu keras hingga sampai di pendengaran wanita itu.     

"Kenapa bangun? Harusnya tidur saja kalau masih pusing."     

Nathan mendekat, kembali menempati sisi tepi ranjang sejajarnya dengan Cherlin yang menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Senyumnya singkat terukir saat Nathan menarik lengan halus wanita itu untuk di genggam, namun bagian yang paling memprihatinkan adalah saat bekas sembap dari wajah lebam wanita itu yang masih begitu jelas.     

"Oh ya, aku sudah menghubungi tante Nina supaya tak mengkhawatirkan mu."     

"Kalian bertengkar karena aku?"     

Alis Nathan menyatu, dahinya kemudian berkerut dalam saat Cherlin menimpali ucapannya dengan kalimat tanya. Seingatnya ruangan Max kedap suara, menjadi mustahil untuk Cherlin dapat mendengar apa pun keributan di luar sana. Nathan yang masih tak sepakat dengan pemikirannya, saat bisa saja Cherlin membuka sedikit celah pintu kayu untuk mengintip interaksinya. Namun menjadi sisi yang lebih tak di harapkan jika saja wanita itu masih mengingat tentang keterlibatannya dengan sang kakak yang masih belum usai.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.