Hold Me Tight ( boyslove)

Mengabaikan luka lain



Mengabaikan luka lain

0"Hah?! Benarkah? Oh, sayang.... Aku sangat bahagia mendengarnya."     
0

"Kau benar-benar tak membuang waktu sedikit pun, nak." Timpal Nina, yang kemudian di sambut penuh kebanggaan oleh Jonathan yang mengacungkan dua jempol.     

"Ya, ku pikir hal baik harus di segerakan, kan?" tambah Nathan yang terdengar mencicit.     

Dengan penuh kebahagiaan, Cherlin pun melemparkan dirinya pada dekapan Nathan sembari berucap penuh semangat, "Itu benar sekali."     

"Selamat pagi, tuan dan nyonya."     

Seorang datang menarik perhatian. Dengan langkah santun serta lengannya yang bertaut di depan tubuh saat ia membungkuk. Semua orang nampak membalas senyum, namun lain halnya dengan Cherlin yang memutar bola matanya malas dengan rahangnya yang makin mengetat saat melihat Riki.     

"Maaf menggangu waktunya, hanya saja ingin mengingatkan jika saat ini jadwal mata kuliah pagi nona Cherlin," lanjut Riki mengatakan maksudnya.     

"Ah ya, kau benar-benar pengawal yang detail, Rik. Tetap pertahankan." salut Jonathan.     

Sementara Nina mengangguk singkat, setelah detik selanjutnya mengarahkah pandangannya pada Nathan dan sang putri. "Kita bisa menyambung obrolan di telpon untuk meminta pendapat ku tentang segalanya, atau kalian bebas memilih sesuai diskusi. Ah ya, jika berkenan, aku ingin mengusulkan butik terkenal langganan ku untuk memesan gaun pernikahan kalian, sayang."     

Ucapan Nina yang menyelipkan informasi, membuat Riki hampir saja jatuh limbung jika tak mengingat posisinya yang begitu gagah. Ya, perjuangannya sampai dengan detik ini sia-sia, kan? Bahkan Cherlin nampak begitu berbinar saat langkahnya berima menggandeng serta Nathan di depannya.     

Terlebih saat Cherlin membalikkan tubuh tepat di anak tangga terakhir depan pintu masuk rumah, mendongakkan kepalanya dengan tatapan yang sarat akan kebencian.     

"Ku pikir aku tak perlu di kawal oleh mu."     

"Maaf?" tanya Riki yang masih tak mempercayai pendengarannya.     

Nathan yang kemudian refleks menghela napas gusar, menyempatkan lengannya untuk memijat kepalanya yang menjadi berdenyut menyakitkan. Sementara Max yang menyipitkan matanya saat mendapati sang adik mulai berbuat semaunya.     

"Apakah kau tak lihat jika sudah ada calon suami ku?" sentak Cherlin dengan suaranya yang mulai meninggi.     

"Ya, maksud saya_"     

Ucapan Riki di potong oleh Cherlin yang langsung mengalihkan pandang pada Max yang masih mengamati dengan gaya elegan melipat lengannya di depan dada. "Kak, kenapa kau tak segera memecatnya saja? Aku sudah bukan anak kecil lagi yang harus di asuh. Lagi pula sudah ada kak Nathan yang akan menjaga ku."     

"Bukan lagi kau yang menentukan, Lin. Mas Riki ku pekerjakan bukan hanya sekedar sebagai supir, dia ada untuk mendisiplinkan mu dari jadwal  mu seharusnya," balas Max yang memang mutlak.     

Jelas saja membuat Cherlin menghentakkan kakinya dengan raut wajah yang sudah benar-benar memprotes. "Tapi_"     

"Ku pikir ini bukan sesuatu yang harus di perdebatkan. Kita bisa membicarakannya lain kali. Untuk Riki, ku pikir memang benar jika ia harus tetap memantau mu, Lin," potong Nathan saat merasa jika topik kali ini terlalu gegabah jika di putuskan terlalu cepat.     

Memberikan keberpihakan penuh pada pertahanan Riki, membuat Cherlin tak bisa berkutik. Hingga akhirnya ia merengek pada Nathan yang mengusap lembut surainya untuk menenangkan.     

"Kak Nath..."     

********     

Jam memasuki waktu siang, membuat Nathan lekas bangkit dari kursi putarnya dengan menutup segala dokumen yang baru setengah di pelajarinya. Menyibakkan jas luarannya, kemudian memasukkan bergantian lengannya dengan menarik posisi kencang pada bagian v nya setelah di kancing.     

Melangkahkan kakinya penuh dengan percaya diri, dengan tas tangannya yang membawa perlengkapan pentingnya.     

Abaikan tentang suasana kantor yang begitu ramai dengan manusia-manusia yang berhambur keluar dari ruangan yang memusingkan kepala mereka akibat sekelumit pekerjaan.     

Perhatian masih menjadi miliknya saat ini melenggangkan langkah dengan satu lengan bebasnya yang tersimpan di saku celana. Ya, terkecuali dengan sepasang kekasih baru yang hilang dari peredaran sekitar. Membuat langkah kaki Nathan terhenti, saat ingatannya sampai pada ucapan pastinya tadi pada keluarga Nandara.     

Mama kandungnya ada di sana, harusnya Nathan tak ambil waktu lebih lama lagi saat jarak makin jauh memisahkan. Namun lagi-lagi membuat langkah kakinya kian memberat, saat seorang pria yang mengambil habis kepercayaannya di gandeng mesra oleh sang mama. Ya, dia adalah paman Hardi.     

Apakah Nathan bisa menganggap dekat kedua pengkhianatnya itu sebagai keluarga?     

Nyatanya memang tak menjadi sebuah kebimbangan, karena setelahnya Nathan malah menancap gas mobilnya lebih kencang saat melewati Rara dan Hardi yang masih sibuk berbincang di depan mobil mereka.     

Perjalanan cepat tak memakan waktu lama. Sebuah gedung dengan identiknya yang ramai lalu lalang muda-mudi yang berpakaian maksimal sesuai gaya mereka dengan tas yang turut serta membawa lembar pelajaran.     

Nathan mengenakan kacamata hitamnya, melindungi intens cahaya yang begitu menyengat.     

Pandangannya yang meliar, secara tak sengaja menemukan seseorang yang di kenalnya. Menyandar di kap mobil, dengan kepala berputar seperti tengah mengintai.     

"Hai, Rik! Bisakah aku menyapa selayaknya kawan?" kejut Nathan dengan menarik lepas kacamata hitamnya yang makin membuatnya mencolok. Mengulas senyum ramah, bagian paling tak disukainya adalah saat Riki yang menegakkan tubuhnya yang setelahnya memberikan penghormatan mengabaikan ucapan awal Nathan.     

"Hanya jika anda tak keberatan dengan posisi rendahan saya."     

"Hei, apa yang kau katakan? Terlalu kolot menurut ku jika segala hal harus di patok dengan pembagian semacam itu," balas Nathan yang berusaha dekat, menepuk lengan gagah milik Riki.     

"Nyatanya sembilan puluh persen kolot, seperti yang kau katakan. Sembilan persen yang lebih tidak peduli, dan sisanya hanya orang yang baiknya tak wajar yang tak mempermasalahkan perkara status."     

"Ya, anggap saja aku satu persen yang sangat langka itu," timpal Nathan yang mengangkat kedua lengannya sebagai tanda penyerahan untuk lebih di debat. Mengalihkan topik, kemudian balik bertanya pada Riki.     

"Bagaimana Cherlin, apakah ia baik-baik saja?"     

"Segalanya aman, mungkin karena memang suasana hatinya sedang begitu bagus hari ini?"     

"Hahah... Kalau boleh ku tahu, bagaimana cara mu mengawasinya? Tak mungkin untuk duduk di bangku sebelah Cherlin dan mengganggu waktu pembelajarannya, kan?"     

"Hanya sesekali menjadi penyusup saja."     

Nathan mengangguk paham, setelahnya beralih menempati posisi Riki sesaat lalu.     

Riki yang menatap Nathan terlalu intens, kemudian merasa waktu yang tepat untuk mempertanyakan tentang niatan Nathan pagi tadi. "Bukankah anda berkorban terlalu jauh?"     

"Maksud mu?"     

"Jelas anda mengetahui kenyataannya."     

"Sudah ku katakan, aku adalah satu persennya, Rik."     

Nathan benar-benar tak bisa berhadapan dengan tatapan penuh desak dari Riki, tak ingin membuatnya memutar balik segala hal jika ia lebih banyak mendengar kenyataan dari peran lain.     

"Kak Nathan!"     

Cupp     

Entahlah, Nathan tak mengerti harus bersyukur atau mengiba. Cherlin datang dengan begitu semangat setelahnya, tanpa perlu basa-basi, kembali mengecup bibirnya di pipi Nathan, di depan umum.     

"Kenapa dengan senyum yang terlalu lebar ini?"     

"Hanya terlalu bahagia saja, puas rasanya bisa membuat para jalang di kelas ku merasa iri. Aku akan menikah dengan tuan muda dari keluarga Adikusuma."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.