Hold Me Tight ( boyslove)

Jevin yang memprotes



Jevin yang memprotes

0"Katakan pada ku, kenapa tiba-tiba kau memutuskan hal itu? Demi apa pun, kau bahkan tak menyukai seorang wanita, Nath!"     
0

Sudah bisa di tebak jika Jevin akan memprotes Nathan dengan keras. Meski tak bisa secara langsung menjadi sosok pendebat saat semua orang berkumpul, namun Nathan memang sudah tak bisa lagi mengendalikan lebih saat akhirnya keluarga mereka pulang membawa kesimpulan bahagia untuk para tetua.     

Remaja itu menerobos masuk ruangannya setelah sebelumnya hanya bungkam saat dalam perjalanan kembali. Rautnya bahkan sama sekali tak berubah, menatap Nathan dengan begitu tajam, gurat wajah kaku dengan denyut otot wajahnya yang nampak jelas.     

Sungguh, Nathan saat ini begitu lelah. Terlebih dengan keputusan besar yang baru saja di ambilnya. Mengguncang arah perjalanan hingga membuatnya sedikit limbung dengan resiko jatuh ke jurang terdalam. Detik ini hidupnya terasa berubah seratus delapan puluh derajat, dan ia masih tak ingin memperparah mentalnya dengan menebal kenyataan dengan kilas balik cerita.     

Menghela napas panjang, kemudian mengalihkan pandang dari Jevin yang mulai lancang menyusupnya lebih dalam. Menghempas cengkraman yang begitu ketat pada bahunya, lantas berbalik arah dengan melonggarkan dasi kupu-kupu yang terasa begitu mencekik.     

Melempar, jas luarannya begitu saja di atas ranjang, melepas satu per satu deretan kancing kemejanya dengan iringan dentum suara langkah kaki yang menyasarnya.     

Nathan menghentikan pergerakannya, saat di rasakan tubuhnya terasa begitu menghangat. Jevin di sana, memberikan pelukan dari belakang dengan wajahnya yang sampai menyusup hadap pada posisi Nathan.     

Perlahan, di lihatnya napas menderu Jevin mulai teratur, manik matanya berubah sendu, bibirnya yang detik lalu terlihat mengetat, kali ini menekuk ke bawah membawa raut sedih.     

Di rasakannya usapan perlahan dari jemari Jevin di bagian perut Nathan. Seolah menitik jengkalnya di sana, sampai pada akhirnya yang makin di pererat. "Sungguh, kau bisa mempercayakan segalanya pada ku. Jika itu masalah, aku berjanji akan mengatasinya. Ku harap kau tak menjadi salah satu manusia dengan sikap yang begitu ku benci saat hanya memandang segala hal dengan kemustahilan mencari solusi yang lain."     

Nathan sedikit terperangah, saat Jevin yang tiba-tiba saja berkata demikian seolah pokok permasalahan dasarnya dapat dengan mudah di terka oleh remaja itu. Memberikan sekaligus peringatan, membuatnya otomatis tersentuh. Jevin begitu menyayanginya.     

Namun bukan berarti yang di katakan oleh Jevin adalah dalam menyangkut segala aspek tanpa pandang bulu. Karena pada kenyataannya logika berpikir sering kali bertolak belakang dengan hati. Perhitungan tepat saat perbandingan sisi bahagia dan terluka saat Nathan yang gegabah dalam memilih keputusan. Yang pastinya ia tak boleh egois, kan?     

Terkekeh pelan, memberikan tipuan kondisinya yang tak lebih dari baik-baik saja saat akhirnya melepaskan diri dari Jevin dan memutar tubuh untuk saling berhadapan.     

"Apa yang kau katakan? Seolah yang ku lakukan tadi membuat ku dalam kehancuran besar saja."     

"Memang. Kau pikir aku tak mengenal sedikit pun dari diri mu, apa?"     

Kemudian Nathan berdecih, sembari kepalanya menggeleng dengan jemari yang memijat pelipis. Ia yang memang terlalu bodoh untuk menyembunyikan perasaan, terlebih dengan keahlian Jevin yang baru diketahuinya sangat pandai menerka.     

"Oh ayolah, Jev... Kau hanya terlalu berpikir berlebihan."     

"Atau kau yang terlalu meremehkan segalanya hingga hati mu yang rapuh tak kau pedulikan?"     

"Aku sungguh tak mengerti maksud ucapan mu sama sekali. Sungguh, keputusan ku bukan hal yang bisa di katakan salah. Aku berniat baik, menerima perjodohan. Lagipula Cherlin adalah wanita baik dan aku bisa dekat dengannya_"     

"Lalu apakah kau bisa mencintainya?" ucapan Nathan di potong tiba-tiba oleh Jevin. Membuat mulutnya yang setelah terbuka itu membungkam seketika saat tak yakin untuk menjadi pembohong lebih dalam satu malam ini.     

Jevin yang melihatnya halnya berdecih, terlebih Nathan yang terus berusaha untuk bersembunyi dari gemuruh dalam hatinya yang terdengar begitu jelas.     

Lengannya terangkat, kali ini dengan lembut menakup rahang Nathan memberikan usapan jemari kasarnya di sana. Pandangannya lurus menyakitkan, menjelma menjadi sosok dewasa dengan cara ucapannya yang begitu menohok. "Pikirkan diri mu sendiri, jangan belagak jagoan untuk bisa menggiring bahagia orang lain sementara hati mu yang perlahan lebur masih saja kau abaikan. Kau tahu, tak ada yang mengharapkan mu menjadi sosok pahlawan, hanya jadilah diri mu sendiri. Sumpah, aku akan tetap di sisi mu untuk memberikan dukungan."     

Cup     

Nathan terpaku, Jevin yang makin bersuara lirih kemudian tanpa sangkaan mengakhirinya dengan sebuah kecupan di dahi. Senyum yang begitu tulus yang jauh dari khasnya yang jenaka, kali ini di tampilkan. Walau hanya sesaat sebelum remaja itu memutar tubuh dan perlahan melenggang pergi setelah kembali berucap,     

"Malam ini adalah terberat untuk mu. Maaf karena telah mengakhirinya dengan ucapan ku, pastinya tak akan membuat mu bisa tidur dengan nyenyak, kan? Tapi itu bagian terbaiknya, ku harap saat mata mu terbuka esok hari, kau bisa mengerti letak kesalahan mu hingga tak memakan waktu lebih lama lagi untuk membuat segalanya kembali pada tempat semestinya."     

Duar     

Pintu tertutup, menghilangkan Jevin dengan semula berkasnya makin memburam hingga sepenuhnya menjadi hilang. Nathan di sana, masih tetap membatu seorang diri. Lengannya terkepal erat, saat di rasakan tumpuan dari pijakannya makin melemah untuk menopang bobot tubuhnya.     

Lantas tak lama setelahnya Nathan terjatuh, dengan manik matanya yang begitu kosong. Sekujurnya tiba-tiba saja bergetar, bahkan raut wajahnya tertarik ke dalam dengan bibir yang di gigit serentak bersamaan dengan cengkramannya yang makin menguat pada kain tebal yang menutup ranjangnya.     

Lagi-lagi menarik napas panjang memasok lebih banyak untuk rongga dadanya yang seketika saja kosong. Namun bukannya menjadi lebih baik, rasanya malah lebih menyakitkan saat tenggorokannya tiba-tiba saja tercekat oleh sesuatu. Menarik sekaligus rasa panas yang di wajahnya, menjadi semakin memerah, termasuk dengan pelupuk matanya yang sontak memberat.     

Akhirnya Nathan hilang pertahanan, tubuhnya menjadi sangat lemas hingga jatuh meringkuk di sana. Air matanya lagi-lagi mengalir deras, begitu menyakitkan dengan isak tangis sesegukan mengisi hening malam.     

Ia tak bisa seberani yang di katakan Jevin, bayangan negatif seolah menghadangnya pada setiap pergerakan. Bahkan sekali pun Max yang menatapnya penuh dengan kekecewaan beberapa saat lalu. Pertimbangan Nathan sudah timpang sebelah dengan segala hal yang menjadi pendukung.     

Sungguh, Nathan ingin melakukannya dengan ketulusan, tak memikirkannya dampaknya buruk terhadapnya. Nathan benar-benar ingin hidup dengan tenang, segalanya sesuai pada tempatnya dan di harapkan tak lagi ada pihak yang menekannya.     

Melangkahkan kakinya lunglai pada boks bayi yang ada di sisi sudut ranjangnya, mengulas senyum meski pun di satu sisi bersamaan air matanya terus mengalir.     

"Jika terhadap Lisa aku masih tak bisa membantu sepenuhnya, kali ini setidak aku bisa menyelamatkan hidup satu nyawa lagi, kan? Sungguh, katakan pada ku, Zen... Yang ku lakukan benar, kan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.