Hold Me Tight ( boyslove)

Terselesaikan



Terselesaikan

0"Sudah ku katakan, selera kita sama persis, sayang...."     
0

"Ya, bagian terbaik lagi yang kau turunkan pada ku, bu..."     

Nathan hanya terdiam, sesekali menarik kedua sudut bibirnya saat manik mata nyonya Nina atau pun Cherlin yang terarah padanya.     

Kedua wanita itu nampak begitu gembira, dengan lembar kertas licin yang terdapat pola gaun pengantin yang di tunjuk oleh Cherlin dengan bangga.     

Memang, seharian penuh Nathan mengajak Cherlin untuk membeli beberapa perlengkapan untuk persiapan pernikahan mereka nanti.     

Ya, harusnya Nathan bahagia saat segalanya berjalan lancar tanpa kendala, kan? Mengangkat pandang, kemudian menampakkan senyum tulus pada Cherlin yang menakup rahangnya yang setelah itu mengarahkan perhatian Nathan pada gambaran gaun yang di pilih wanita itu tadi.     

Sementara Nina yang sempat menjadi obat nyamuk saat putrinya begitu perhatian menyuapkan salad buah pada Nathan, dengan detail yang begitu romantis saat jemari Cherlin mengusap sudut bibir milik Nathan yang belepotan yoghurt. Sampai akhirnya seseorang datang dari balik pintu depan yang terjerembab. Dengan langkahnya yang panjang dan tergesa serta lengan yang menarik turun dasi yang melilit lehernya semula rapi.     

Max di sana, menggeram emosi saat tak sengaja tatapannya bertemu dengan keromantisan sepasang kekasih palsu. Bagian yang paling membuatnya ingin menghilang seketika, saat Nathan menarik pandang lurus padanya, dengan lengan pria itu yang masih berada dalam genggaman sang adik. Pertunjukan yang makin memuakkan saat seharian ini di pusingkan dengan permasalahan internal kantor.     

"Aku pulang," ucap Max yang memang niat hati tak ingin basa-basi lebih lama dengan langkah kakinya yang terus di percepat. Namun bukan menjadi perkara yang mudah saat menghadapi ketidakpekaan sang ibu yang mengetahui kondisi aslinya. Menghentikan gerakan Max dengan hanya lengan kanannya yang terangkat, kemudian membenarkan posisi duduknya seolah ingin menarik perbincangan dengan lebih santai.     

"Max, apakah kau tak ingin melihat cincin mereka? Sungguh, berlian ini begitu berkilau dengan ukirannya yang sangat cantik," ucap Nina sembari mengangkat sebuah kotak yang menyimpannya. Bagian penutupnya yang terbuka, sesuai dengan pemberitahuan sang ibu, lingkar kecil itu nampak menyilaukan keanggunannya.      

Singkat, Max malah tertarik dalam moment lama, saat dirinya memberikan hadiah sebelum kepergiannya yang merusak hubungan dekatnya bersama dengan Nathan. Sebuah jam tangan mahal dengan pesanan khusus berupa inisial nama pria itu dengannya.     

Entah bagaimana kondisi terkini dari barang itu. Alih-alih tanpa sengaja melihat Nathan mengenakannya, ia malah berpikir jika pria yang telah menaruh kekecewaan lebih padanya itu telah memusnahkan pemberiannya. Ya, rasanya memang begitu, Nathan bahkan lebih memilih barang baru yang akan di sematkannya pada orang lain dengan bentuk pengikatan mereka nantinya. Lagi-lagi menjadi penjelas, ia tak lagi ada pengaruhnya, kan?     

Tiba-tiba saja dirinya malah menjadi sangat menyedihkan, pandangannya pun begitu sendu dengan bibir yang menarik satu sudutnya membentuk seringai. "Benarkah?"     

"Apakah kau tak ingin melihatnya? Untuk menghindari kemiripan jika nantinya kau pun siap menikahi Lea," goda Nina yang memberikan sindiran pada putra sulungnya untuk segera menyusul Cherlin yang sudah di pinang.     

Namun rupanya menjadi kesalahan terbesar Nina. Max nampak mengetatkan rahang dengan otot wajahnya yang tertarik dan secara jelas berdenyut. Perkiraannya salah jika sang putra yang akan mengimbangi Nathan yang telah bergerak jauh untuk melupakan.     

Berubah menjadi canggung, saat Nathan yang bahkan terlihat menghempas lepas genggaman tangan Cherlin setelah Max meninggalkan kalimat menohok sebelum pergi.     

"Ide yang cukup bagus, namun ku rasa yang lebih penting pasangan yang tak mirip, kan?"     

"Apakah kau akan terus menghindari ku?"     

Harusnya Nathan mengucapkan hal itu saat Max memberikannya tatapan tajam sebelum pergi. Ya, jika saja ia tak memikirkan perasaan Cherlin dan nyonya Nina yang secara tak langsung mengetahui cerita kisah percintaan mereka.     

Rasanya memang sudah benar untuk tetap diam di tempatnya. Mengambil sentuhan Cherlin kembali, lantas beranjak meninggalkan kediaman Nandara dengan sisa kecupan wanita itu di pipinya setelah hari semakin malam.     

Namun permasalahan yang di hadapinya tak hanya sebatas itu saja. Jevin yang tak sengaja berpapasan dengannya di lorong lantai atas, malah seolah menjadi asing dengan netranya yang seperti dibutakan oleh kehadirannya yang tepat di depan mata.     

"Hanya sekedar menawarkan, aku bisa membantu mengobati luka mu?"     

Esok harinya kembali seperti itu, Jevin yang kembali melengos walau sekali pun Nathan yang secara frontal menawarkan niatan baiknya.     

Sempat membuatnya berdecak kesal, hingga harus membuat Nathan seolah menjadi pemaksa dengan lengannya yang menarik henti tubuh Jevin yang berniat menjauh.     

Akhirnya upaya Nathan membuahkan keberhasilan, saat Jevin yang walau dengan malas-malasan membalikkan badan menghadapnya.     

"Bagaimana kalau luka ku sebenarnya ada di hati, bisakah kah menyembuhkannya?"     

Nathan menundukkan kepalanya dalam, lengannya otomatis terangkat untuk menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Sembari meringis, merasakan sorot mata yang menatapnya penuh dengan pengharapan yang jelas-jelas tak mungkin. Menjadi sangat canggung, sama persis dengan yang di hadapkan jika saja Max ada di hadapannya saat ini.     

"Jev... Harusnya kedekatan kita bukan tentang percintaan, kan?" balas Nathan yang sekedar untuk mengingatkan posisi keluarga yang kali ini menarik keduanya. Tak ingin melupakan kenyataan itu walau setelahnya Jevin yang kembali memutar bola matanya malas.     

"Sisihkan sebentar bagian ku, memangnya jika aku mendekat dan terus mengoceh akan tetap kau dengarkan?"     

Ya, nyatanya masih tentang perkara keputusannya yang berniat menikahi Cherlin. Jevin yang di pahaminya tetap menjadi pendukung meski cenderung menekankan kebahagian Nathan nantinya. Jelas membuat Nathan merasa begitu bersyukur dapat di dekatkan dengan Jevin dalam lingkup dekat seperti halnya mereka sekarang. Ya, meski pun remaja itu terlalu mengenal baik dirinya hingga terus membuat Jevin memprotes sampai saat ini.     

"Y-ya... Setidaknya jangan terus memutar mata saat tak sengaja pandangan kita bertemu."     

"Yah.... Sudah ku tebak jika kau tak akan pernah mendengarkan niat baik ku yang coba mengingatkan," ucap Jevin yang setelahnya berdecih saat Nathan yang tanpa sadar menganggukkan kepala menyetujui anggapannya.     

"Namun yang pasti aku bisa merasakan kepedulian mu, itu yang terpenting, kan?"     

"Hufhh... Terserahlah!"     

Nathan terkekeh karena merasa dapat menaklukkan, kemudian menarik lengan milik Jevin untuk mengikuti langkahnya. Masuk ke dalam ruangan pribadinya, lantas menepuk kedua bahu pria itu saat ia sudah menempatkan Jevin di atas ranjang.     

Mengambil kotak p3k miliknya, kemudian secara perlahan menepukkan kapas yang di tetesi obat merah ke bagian luka lebam milik Jevin.     

"Ishhh...." Jevin sesekali meringis, membuat Nathan makin terhibur untuk menggoda remaja itu. Tak bertahan lama, karena setelahnya Jevin menarik jauh lengan Nathan yang menekan lukanya terlalu dalam.     

Nathan menggelengkan kepala saat Jevin yang berubah menjadi kekanakan dengan kepala menunduk dalam sembari bibirnya yang mencebik. Mana si pembuat masalah yang lagak jagoan mencari musuh di medan perang? Karena yang di dapati Nathan saat ini adalah adik kecilnya yang masih sanggup untuk merengek.     

Sembari merapikan kotak obatnya, Nathan yang penasaran pun sekaligus mengalihkan pembicaraan untuk menghilangkan kecanggungan. "Jadi, siapa komplotan yang menang?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.