Hold Me Tight ( boyslove)

Max mulai curiga



Max mulai curiga

0"Kenapa mesti bertanya? Apakah kau melupakan bagaimana keahlian ku mengalahkan musuh saat kedua kalinya kita bertemu?" balas Jevin dengan suaranya yang bersungut-sungut. Alisnya yang di satukan dengan netranya yang menyipit tajam, lagi-lagi menunjukkan protesannya pada Nathan yang seperti melupakan detail kejadian saat mereka bertemu.     
0

Nathan yang seolah memahami, lantas tak bisa menghalau kekehan jenaka yang keluar dari bibirnya.     

Seolah Jevin yang memberikan gambaran dengan layar putih besar menjadi media khayal, menuju satu lokasi berbeda dari kepulan debu-debu berhamburan dengan peran di liputi permusuhan. Melainkan suatu ruangan ber ac yang membaringkan tubuh lelahnya di sana dengan Jevin yang menatapnya dengan begitu intens saat menunggu kesadarannya menjemput.     

"Ah ya, di saat itu bahkan kau sudah amat perhatian terhadap ku, ya?"     

Jevin hanya terdiam, di amati Nathan wajah remaja itu yang seketika saja merona. Sungguh, Nathan tak bermaksud berlebihan, atau menggali perkara mengenai celah sempit yang bisa saja di sangka Jevin sebagai kesempatan terbuka. Murni hanya tentang hubungan keluarga baru.     

"Apa ini?" tanya Jevin, saat netranya yang terus mengikuti pergerakan Nathan yang kali ini kembali padanya dengan sebuah kotak besar. Sampai-sampai Jevin yang mendongak menatap Nathan jadi terhalang, membuatnya mau tak mau menerima kotak itu dan kemudian memangkunya.     

Nathan yang kemudian menghempaskan tubuhnya di samping Nathan, membuat Jevin memberikan tuduhan macam-macam saat binar di mata pria itu nampak begitu jelas. "Sogokan untuk tak membuat ku marah lagi? Apakah kau pikir aku adalah anak kecil?" lanjut Jevin dengan niatan mendorong balik kotak besar milik Nathan.     

Namun jelas saja si pemberi mempertahankan, dengan raut wajah Nathan yang sampai memohon untuk Jevin sedia menerima tanpa pikir panjang. "Tapi aku menyebutnya sebagai sebuah hadiah kecil untuk mu." Akhirnya alasan itu yang di pikirnya menjadi sangat tepat.     

Jevin yang emosinya masih kurang stabil, lagi-lagi mendengus jengkel walau secara bersamaan lengannya membuka kotak tertutup itu sesuai dengan kode tangan Nathan yang mempersembahkan.     

"Yah... Tadi kawan mu mengatakan pada ku, helm milik mu rusak saat terkena serangan menggunakan tongkat kasti?" balas Nathan setelah mendapati raut keheranan Jevin. Bahkan Nathan yang meliukkan akhir ucapannya menjadi tanda tanya, di satu sisi membayangkan terlalu ngeri saat medan perang terjadi sesuai dengan cerita yang di kabarkan padanya.     

Sementara Jevin yang malah merasa pecundang saat ucapan Nathan di benarkan oleh kejadian sebenarnya siang tadi. Tongkat kasti yang terbuat dari kayu? Sungguh, bahkan itu tak seberapa kuat untuk menembus kepalanya yang tertutup oleh helm kesayangannya. Bahkan hanya meninggalkan baret kecil?     

"Jadi... Rama sudah menjadi mata-mata untuk mu?" terka Jevin dengan netranya yang sekali lagi mengintimidasi.     

Sementara Nathan hanya memberikan teka-teki, kedua bahunya terangkat ringan sembari berkata, "Perlukah aku menyemangati mu saat sedang tawuran antar sekolah?"     

"Percayalah, bujukan mu semakin terlihat tak natural jika kau melakukan itu."     

"Ah ya... Untung saja kau menyadarinya," lega Nathan, terlebih saat secara sepintas melihat seulas senyum dari bibir Jevin yang menatap detail helm barunya. "Lalu... Perlukah aku mengatakan yang sejujurnya? alih-alih menatap mu yang mengerikan seperti ini, bagaimana kalau kau menghentikan kenakalan mu yang sama sekali tak bermanfaat itu?"     

"Baru saja kita berbaikan. Kau yang kemudian menyogok ku dengan barang mahal, kali ini berusaha mengatur ku?"     

"Tidak... Aku hanya mengusulkan saja," balas Nathan dengan menjungkat-jungkitkan kedua alisnya.     

"Sungguh, kau terlalu mudah untuk bisa mempengaruhi ku. Terlebih dengan perhatian serta kekhawatiran saat aku terluka. Bagaimana ini? Kenapa malah aku ingin sekali menuruti kata-kata mu?"     

"Ehm... Baguslah..."     

Masalah selesai, saat setelahnya Jevin yang meminta maaf atas tingkah tak menyenangkannya beberapa hari ini. Bahkan pria itu memberikan Nathan pelukan yang begitu erat, memperdengarkan bisikan dari harapan-harapan Jevin untuknya ke depan.     

Ya, andai saja semudah itu menjalin hubungan baik dengan Max yang memiliki peran baru di hidupnya. Calon kakak ipar?     

*********     

Sementara di sisi lain, seorang wanita nampak mengendap-endap dengan langkah perlahannya di tengah cahaya remang-remang.     

Alas kaki lembutnya yang beberapa kali menimbulkan suara kali selip dengan lantai keramik, membuatnya meringis sebal yang kemudian di putuskan bertelanjang kaki saat perjalannya masih kurang jauh.     

Meninggalkan sepasang alas kakinya yang berbentuk kepala kelinci di ujung tangga, setelahnya dengan cepat menuruni banyak undakan itu untuk sampai di lantai dasar.     

Demi apa pun, perutnya terus saja berbunyi, bahkan ludahnya mendesak meleleh keluar saat membayangkan makanan lezat yang akan segera dinikmatinya kali ini.     

Bahkan seperti mendapatkan harta karun saat membuka lemari pendingin, segera mengambil mangkuk besar itu tanpa sisa, yang kemudian di bawanya ke meja pantry untuk di santap di sana.     

Segar. Itu adalah pemikiran pertamanya saat ini. Bahkan rautnya sudah begitu kegirangan dengan tubuh yang berjingkrak di atas kursi. Menjadi makin lahap untuk menyantap salad buah. Entah karena kenikmatan antara perpaduan rasa yang seperti pecah di mulut, atau malah efek Nathan yang begitu menggemaskan saat terus saja belepotan di sudut bibirnya dan ia yang ingin sekali menikmati bekasnya di sana.     

Akhh... Bahkan pemikiran Cherlin begitu kotor sekarang, bagaimana bisa ia malah ngidam untuk mencium Nathan dengan salad buah yang mereka bagi melalui mulut?     

Tak     

Hampir saja Cherlin merayapkan lengan kirinya ke dalam bagian sempit miliknya yang sempat beberapa kali di puaskan oleh seseorang, jika saja lampu tak menyala terang dengan sosok pria yang berdiri tak jauh darinya dengan raut menatap heran.     

"Shit!" Cherlin reflek mengumpat, posisi berjongkoknya di atas kursin tinggi itu hampir saja membuatnya limbung, jika saja gerak lengannya yang secara tangga berpegangan pada ujung meja marmer.     

Jantungnya berdebar dengan begitu cepat, sekujur tubuhnya seperti lemas dengan netranya yang sontak terbelalak. Pemikiran memalukan Cherlin hanya satu, bagaimana jika Max mendapati adiknya yang begitu jalang dengan usaha menyentuh diri sendiri?     

"Lin, apa yang kau lakukan?"     

"Hufh... Brother mengejutkan ku saja."     

"Ku pikir kau selalu ingin menjaga berat tubuh ideal mu," sembari berjalan mendekat, netranya menatap menu sajian milik Cherlin.     

"Ehm... Apakah aku perlu menjelaskannya ulang?"     

Max yang setelahnya hampir saja tersedak dengan air putih yang di tenggaknya, kalau saja pikirannya tak melupakan satu kenyataan yang di dapatkannya beberapa hari lalu itu.     

"Ah ya, bagaimana aku bisa melupakan kehamilan mu saat ini?" sahut Max yang setelahnya.     

Cherlin yang gemas dengan sang kakak pun meloncat dari duduknya, berjingkrak-jingkrak kesal yang kemudian menyentuhkan jari telunjuknya di permukaan bibir sembari wajahnya yang nampak panik. "Sttts! Jangan terlalu keras, aku tak ingin papa dan ibu mendengarnya."     

"Jadi, sampai kapan rahasia mu akan tersimpan?"     

Pertanyaan Max membuat Cherlin merasa di ingatkan akan beban tanggung jawabnya. Menghela napas panjang, setelahnya di ikuti dengan bahunya yang turun dengan sangat drastis.     

Membalikkan badan dengan wajahnya yang muram, kemudian kembali menempati duduknya dengan menjejal saladnya untuk menetralisir kesedian yang melingkupnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.