Hold Me Tight ( boyslove)

Menganggap segalanya berjalan baik



Menganggap segalanya berjalan baik

0Lama Max menunggu jawaban, setelahnya malah tak begitu memuaskan saat Cherlin berkata dengan amat lirih, "Yang pastinya bukan besok, lusa, atau beberapa hari kedepannya lagi."     
0

"Hahah... Jadi tak akan pernah kau bongkar?"     

Kali ini Cherlin pun memutar arah duduknya, menatap sang kakak yang bersandar di lemari pendingin dengan seolah menertawakan akibat dari ketidakpatuhannya selama ini.     

"Tak ingin memperkeruh suasana yang sudah membaik saja. Toh, kak Nathan akan segera menikahi ku, anak ku akan menjadi miliknya juga, kan?" tekan Cherlin yang malah membuat dahi Max makin berkerut dalam.     

"Apa yang kau katakan?"     

"Huh? Memangnya bagian apa yang tak brother pahami?" kesal Cherlin saat di sangkanya sang kakak hanya bermaksud meledeknya saja.     

Kemudian bermaksud mengabaikan dengan fokusnya yang kembali mendinginkan perutnya dengan asupan, kalau saja Max tak mengulang kata-kata rancu yang tanpa sadar diucapkannya.     

"Anak mu akan menjadi miliknya juga?"     

"Huh? I-Itu... Me-memang benar, kan? Maksud ku... Saat ini semua orang masih tak mengetahui ku kehamilan ku bersama dengan kak Nathan. Setelah aku dan dia menikah, semua menjadi jelas, begitu, kan?" jelas Cherlin dengan sekujur tubuhnya yang menjadi bergetar hebat. Demi apa pun, bagaimana jadinya jika sang kakak mengetahui kebohongannya? Akankah pria itu masih akan seperhatian saat pertama kali mendapatkan kabar mengejutkan tentang kehamilannya walau di ketahui pasti membuat Max kecewa berat? Sungguh, sebisa mungkin, Cherlin tak akan pernah membiarkan kakaknya mengorek lebih dalam tentang keterlibatan sebenarnya yang membuatnya seperti ini. Ia begitu mendambakan Nathan untuk menjadi miliknya, atau di satu waktu ia yang masih ingin melindungi ayah dari anak yang di kandungnya?     

Sementara lepas dari perbincangan malam itu, Max pun makin bertambah janggal dengan kasus yang menyeret Nathan seolah menjadi predator menyeramkan yang tanpa izin menodai adik satu-satunya. Ia begitu yakin, bicara Cherlin yang nampak terbata serta tak yakin pasti menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya.     

Penyelidikan awal yang di rasa tepat, mengundang sosok yang saat ini dengan hormat memasuki ruangannya.     

"Apakah memang benar begitu?"     

"Maaf, tuan muda?"     

"Ah ya, mas Riki... Bukankah kau adalah satu-satunya orang yang ku letakkan dalam jangkauan terdekat Cherlin?"     

"Benar tuan, lantas?"     

"Bisa kau ceritakan detail jadwal harian Cherlin pada ku? Juga termasuk dengan pantauan kenakalannya yang sering bolos mata kuliah?" detail Max menanyai Riki yang berdiri tegak di hadapannya yang menumpuk satu kaki duduk di atas sofa.     

"Nona Cherlin yang lebih seringnya ingin mencari suasana yang baru. Ruang terbuka, pemandangan hijau serta bunga-bunga, dan hembusan angin kencang."     

Max mengernyitkan dahinya singkat, karena setelahnya seulas senyum terbit di bibirnya. "Seperti biasa, kau adalah orang yang sangat detail, mas Rik," puji Max. "Jadi... Bisa di simpulkan jika adik ku adalah tipe wanita yang suka menampilkan kenyataan dengan membelot dari sebenarnya, ya?"     

"Maaf?"     

"Dia terlihat begitu ceria dan amat cerewet. Dari yang kau katakan, nyatanya bisa ku simpulkan jika dia adalah sosok wanita pendiam, tak punya teman, dan selalu ingin mencari kebebasan, kan?"     

"Nona Cherlin memang mulai menurut, bahkan menjauhi semua orang-orang yang sempat membuatnya terlalu liar."     

"Lalu, jika Cherlin sudah berubah menjadi lebih baik, namun mengapa dirinya malah terlihat begitu hancur menurut ku?" desak Max dengan lengannya yang mengusap dagu. "Aku hanya ingin mendengar pendapat mu saja, apakah menurut mu Cherlin membenci kenyataan bahwa dirinya tengah hamil? Sampai terlihat begitu frustasi, hingga membuatnya nyaris saja menjadi seorang pembunuh untuk calon bayi yang bahkan masih belum terbentuk?" lanjut Max yang seolah ingin benar-benar mendengarkan jawaban Riki. Tubuhnya bahkan di bungkukkan, menumpu sikunya di atas paha dengan satu alis rapinya yang terangkat.     

"Menurut saya karena nona masih belum siap secara mental."     

"Sekali pun bersama dengan Nathan yang notabene nya adalah pria yang di impikannya?"     

******     

Sementara Nathan di sisi lain, masih berusaha membuat segalanya berjalan normal dan tentram seperti halnya orang lain. Jika sebelumnya Max yang belum sama sekali di utik, seberkas di ingatnya tentang pemberitahuan awal pada seseorang yang harusnya masih dalam hubungan terdekatnya.     

Mama kandungnya tepat berada di hadapannya, seorang diri terlihat berjalan dengan intens pandangnya yang terfokus pada ponsel yang di genggamnya.     

Berusaha menghalau segala bisikan egois dalam dirinya. Mencengkram buku tangannya makin erat, meyakinkan diri untuk berhadapan dengan wanita paruh baya itu.     

"Aku akan menikahi Cherlin?" sergap Nathan saat sampai di hadapan Rara. Membuat wanita itu tersentak dan hampir saja menjatuhkan ponsel miliknya.     

Bukan tentang Nathan yang tiba-tiba saja memutus langkahnya, melainkan satu bait pemberitahuan yang membuat dahi Rara makin berkerut dalam. "Apa yang kau katakan?"     

"Minggu lalu aku dan keluarga mendatangi kediaman Nandara. Ya, untuk melamarnya."     

Rara masih menyambung bicara Nathan yang terputus-putus. Masih beraut sama setelah beberapa detik setelahnya, hingga anggukan kecil sang putra membuat Rara membelalakkan mata.     

Kemudian berjingkrak girang, tanpa memandang usianya yang telah renta dengan bahayanya yang gemar mengenakan sepatu tinggi.     

Nathan yang kemudian di buat terkejut, saat tiba-tiba saja Rara mencurahkan kebahagiaanya dengan lompat ke dalam dekapannya. "Oh Tuhan! Benarkah yang kau katakan?" tanya Rara yang sepertinya masih tak menyangka dengan keputusan besar Nathan. Lagi-lagi memberikan anggukan, membuat Nathan melihat binar penuh kebanggaan saat Rara menakup rahangnya dengan memberikan usapan penuh kasih sayang.     

"Terimakasih sayang.... Ini adalah kabar terbaik dari sekedar perusahaan yang memenangkan tender besar. Percayalah, semua akan sesuai harapan mu. Kau tak akan pernah menyesali keputusan yang kau ambil itu, nak," lanjut Rara yang sekali lagi memberikan pelukan pada Nathan, memberikan tepukan di bahunya dengan senyum yang begitu merekah di wajahnya yang dominan antagonis sebelumnya.     

"Kau tak marah? Maksud ku, aku yang sengaja tak melibatkan mu."     

"Tidak. Sudah ku bilang, aku hanya ingin berita baik ini keluar dari bibir mu, sayang..."     

"Y-ya."     

"Jadi, bagaimana persiapannya? Kapan kau akan melangsungkannya?" ucap Rara yang begitu antusias. Menggiring Nathan dengan menggandeng lengannya, saat keputusan makan siang bersama di putuskan sepihak.     

Suasana kantor jelas saja masih sangat ramai, terlebih dengan lantai dasar. Membuat interaksi keduanya di pandang indah oleh mereka yang sempat mendapatkan kabar kurang baik tentang hubungan ibu dan anak itu.     

"Orang tua sedang berdiskusi untuk menentukan tanggal baik."     

"Y-ya... Ku harap mereka menentukan tanggal dalam waktu dekat."     

"Kau tak ikut berdiskusi? Maksud ku.... Mama bisa sesekali datang ke rumah untuk membicarakannya. Atau sekalian untuk melihat adik-adik ku?"     

"Jevin? Ya... dia remaja yang sangat tampan dan terlihat begitu menyayangi keluarganya. Dan..."     

"Zeno, nama bayi ku?"     

"Ah, namanya bagus."     

"Dia juga sangat lucu."     

"Benarkah?"     

"Aku bisa mengirimkan foto-fotonya jika mama penasaran."     

"Ide bagus. Apakah dia bukan tipe bayi yang bawel?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.