Hold Me Tight ( boyslove)

Bukan beralasan untuk bertemu



Bukan beralasan untuk bertemu

0Sungguh, setelah ucapan Jevin malam itu membuat Nathan tak bisa lagi tertidur pulas. Remaja itu terlalu menyusup masuk dalam dirinya dan seolah berusaha terlalu keras untuk menerka perasaannya.     
0

Kali ini malah menuduhnya masih memiliki ketertarikan khusus pada Max. Sungguh, itu sudah berlalu, yang dikhawatirkannya saat ini adalah menyangkut Cherlin.     

Persetan dengan apa yang di lakukan Max meski pun sempat membuatnya tak habis pikir. Pria berparas oriental dengan dominan datarnya itu bukan lagi urusannya. Terlebih dengan tanggungan lain miliknya yang lebih banyak, ada Zeno yang harus di pikirkan tentang masa depannya kelak.     

Namun setelah kesimpulan yang di buatnya, kenapa malah Nathan mematung di depan sebuah pintu kaca yang bertuliskan jajaran tertinggi dari gedung perkantoran itu? Dengan kepala menunduk dalam, seraya meringis pelan seolah menyesali tingkah tak sadarnya. Di depan ruangan milik Max.     

Jangan lebih dulu salah paham, Nathan bukannya ingin mencari kesempatan untuk kembali dekat dengan pria itu, hanya saja ada hal yang harus di bicarakan mengenai Zeno. Ya, alasan lainnya karena Nathan coba menyelamatkan lambungnya dari makanan yang di buat oleh Cherlin yang rutin datang. Hanya sebatas itu.     

"Maafkan aku telah membuat mu repot sebelumnya, salah ku yang tak menghubungi mu terlebih dahulu, Lin."     

"Ehm... Baiklah... Aku tak mempermasalahkannya, kok! Hanya saja aku khawatir pada mu, kau terlalu menganggap ringan untuk makan, kak."     

"Tidak, ku usahakan setelah urusan ku selesai, aku akan langsung makan siang."     

"Hufh... Namun sayang sekali, kau tak bisa menikmati makanan buatan ku untuk hari ini."     

"Ehmm... Ya, sayang sekali."     

Lihatlah, bahkan saat ini Nathan tengah menjadi pembohong yang ulung. Di saat tubuhnya sudah selangkah lagi berada dalam pertemuannya dengan seseorang, bibirnya yang kemudian begitu ringan bicara untuk mencari alasan.     

Lagi-lagi meringis, menyesalkan dirinya dengan memberi pelajaran memukul pelipisnya dengan ujung ponsel yang di genggam. Bodoh!     

"Kenapa kau di sini?"     

Nathan berjengkit, menampilkan raut terkejutnya dengan netra bulatnya yang terbelalak. Bibirnya setengah terbuka, saat mendapati sang pemilik telah berada tepat di hadapannya. Kenapa Nathan tak menyadari pintu itu telah terjerembap terbuka? Max di sana, mengangkat satu alisnya yang sekilas di rasa Nathan bahwa bibir pria jangkun itu berkedut. Apa itu? Max menahan tawa atas tingkah lakunya yang konyol?     

Secara tiba-tiba saja wajahnya berubah panas, seolah tak mampu menopang bobot kepalanya hingga kembali tertunduk, dan kemudian mencicit pelan,     

"Ada suatu hal yang ingin ku diskusikan pada mu."     

"Baiklah."     

Balasan singkat, setelahnya Max berpaling dan membuat sanggahan pintu otomatisnya langsung tertutup tepat di hadapan Nathan.     

Tanpa sadar membuat langkahnya mundur beberapa jengkal, menghentaknya kemudian, lantas menarik nafas panjang menormalkan debar jantungnya yang tiba-tiba saja menggila.     

"Aku akan pesan makan siang untuk kita berdua," sambut Max saat Nathan yang akhirnya masuk ke ruangan pria itu. Menurut pada lengan yang mempersilahkan duduk di sofa panjang.     

Saat Max akan beranjak dengan ponsel yang di genggamnya, Nathan pun mencegah, "Tak usah repot-repot."     

"Tak mungkin membuat ku makan dengan tenang jika kau nantinya hanya melihat ku dengan terus menelan ludah," balas Max yang kemudian tak menunggu waktu lagi untuk menerima balasan.     

Sementara Nathan merasa dirinya telah mengambil kesalahan lagi dan lagi, datang di waktu yang tak tepat. Apakah prasangka Max bisa berlebihan? Misalnya mengira dirinya ingin makan siang bersama dan semacamnya untuk dekat?     

Terlalu terlambat untuk menyesali, bahkan tak lama setelahnya makanan yang di pesan Max telah datang. Entah sebuah kebetulan atau hanya sekedar menghargai kedatangannya, pria jangkun itu bahkan memesankan menu dominan ayam yang menjadi kesukaannya.     

"Kau tak ingin menunggu ku untuk menghabiskan semua ini, kan?" sindir Max saat Nathan terlalu lama terdiam dengan air liur yang hampir saja menetes jatuh.     

Tersenyum terlalu lebar dengan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, kemudian Nathan dengan malu-malu mengambil piring miliknya yang telah di siapkan.     

Selembar tisu kemudian terayun di sampingnya, menarik kepala Nathan yang terus tertunduk dengan mulut menggembung dan hampir saja menyemburkan muatan di dalamnya.     

"Berantakan."     

Kemudian Nathan menyeka sudut bibir miliknya yang di tunjuk oleh Max. Menunjukkan kembali wajahnya di hadapan pria yang makan dengan gaya bangsawan nya. "Apakah sudah?"     

Max hanya mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya pada layar ponsel, seolah bosan dan ingin Nathan beranjak pergi?     

Nathan yang merasa demikian pun langsung meletakkan kembali peralatan sendok garpunya meski pun masih tersisa nasi di piringnya. Mengunyah makanan yang ada di mulutnya sama sekali tak bertenaga, menumpahkan semuanya dalam satu sisi hingga pipinya menggembung sebelah. Seolah tengah merajuk karena di abaikan, netranya tanpa sadar melirik tajam pada Max.     

"Kenapa berhenti, nikmati saja menu makan siang mu yang aman kali ini," ucap Max yang kemudian malah membuat dahi milik Nathan berkerut dalam.     

"Maksud mu?"     

"Aku yang baru saja menyadari jika akhir-akhir ini Cherlin terlalu sibuk di dapur untuk membuat racun. Jadi ku simpulkan kau adalah korban satu-satunya, kan?"     

Nathan terkekeh, merasa tak enak hati hingga di balaskan dengan gelengan kepala kuat.     

Max hanya menarik satu sudut bibirnya saja, kemudian menumpu sikunya di atas paha memperhatikan Nathan dengan fokus lebih. "Jangan terlalu memaksakan diri jika Cherlin kembali datang dan membawakan mu bekal, ku rasa kau pandai beralasan untuk menolak, kan?"     

Entah mengapa Nathan merasa tersindir atas kalimat akhir yang di lontarkan Max untuk mengingatkannya itu. Seolah dapat menerka bahwa tingkah diamnya saat ini pun menyimpan tipu.     

Menghindar dari sorot membahayakan Max yang tepat duduk di sofa hadapnya. Mengambil kesibukan lain, memilih menurut untuk melanjutkan suapannya lagi.     

"Oh ya, kata mu ada hal yang perlu kau katakan. Sebelum itu, bagaimana menurut mu tentang wanita kemarin?"     

"Uhuk-uhuk!"     

Nathan tersedak, bagian makannya yang belum halus benar menghalang tepat di bagian pangkal kerongkongannya. Mempengaruhi pula pernapasannya yang terhalang, mengambil segelas air, kemudian dengan rakus menenggaknya.     

Dan masih saja tak merasa iba, bahkan Max malah tertawa lebar saat mendapati wajah Nathan yang memerah dengan mata air yang meleleh keluar dari sudut bibir.     

Netra Nathan yang bahkan memerah itu menatap Max dengan raut sebal, maksudnya apa meminta pendapat tentang wanita jalang yang kemarin malam tertarik pada keberuntungan? Mendapatkan rangkulan panas bersama Max?     

"Hei, apa lagi yang kau pikirkan? Jangan bilang kau tengah salah sangka terhadap ku." Max lagi-lagi menjadikannya seolah badut yang bisa di tertawai. Membuatnya tampil bodoh dengan cara selingan pria itu mengambil maksud lain yang di tuju.     

"Hanya terkejut, ku pikir kau membicarakan pelac*ur kemarin, alih-alih wanita yang mengasuh Zeno seperti yang sama ingin ku bahas," balas Nathan dengan percaya dirinya bisa menerka lain jebakan Max.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.