Hold Me Tight ( boyslove)

Max yang mempermainkan



Max yang mempermainkan

0Namun rupanya tak semudah itu, Max yang nampak begitu tertarik untuk beradu strategi kemudian membuat Nathan bungkam seketika.     
0

"Kau terlalu kasar menyebut wanita lincah yang nyatanya bisa mengimbangi ku di atas ranjang, Nath. Dia terlalu hebat, bahkan sepanjang malam aku tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun untuk membuatnya terdiam. Hanya menggerakkan milik ku semakin gencar menitik titik rangsangnya. Membuatnya kelimpungan dengan keringat yang membanjiri tubuhnya yang begitu mulus. Desah nikmatnya, serta erangan kepuasannya saat aku menariknya pada puncak kepuasan," Max menjeda ucapannya, memperhatikan Nathan yang nampak kesal dengan rahangnya yang mengetat dan muncul otot di dahinya yang berdenyut.     

Namun seakan belum sampai pada tujuannya, melanjutkan rentetan ucapan kotornya dengan raut wajah yang di tampilkan mesum. Mata menyipit, bibir bawahnya yang di gigit kemudian mendesis, telapak tangannya yang mengangkat di udara seolah meremas sesuatu membuat bayangan Nathan memperkirakan jauh.     

"Sampai-sampai aku berniat menyewanya lagi."     

"Tidak!"     

Nathan menjawab lantang. Seolah balon yang terus di isi nitrogen tanpa batas yang membuatnya meledak, begitulah dirinya saat ini.     

Sejak tadi ia berusaha menahan diri untuk tak bergerak cepat membungkam mulut Max yang menjadi semakin pandai bicara.     

Sekujur tubuhnya bahkan sudah terasa amat panas, sama halnya dengan rasa perih yang di dapat pada telapak tangannya kala ia mencengkram terlalu erat.     

Kembali, bahkan saat pandangannya tertuju pada Max yang ada di seberangnya, ia bisa melihat kedutan serupa awal di bibir pria itu.     

Sontak setelahnya memejamkan mata, mengenturkan otot-otot wajahnya yang menegang, kemudian menarik napas dalam-dalam untuk mengatur emosinya yang berubah tak stabil. Sungguh, tak ada guna untuk mengumpati dirinya yang dengan mudah terpancing dan di bohongi.     

Mengulas senyum yang di buat senatural mungkin, kemudian melanjutkan balasannya dengan berucap tenang.     

"Maksud ku kau tak perlu menceritakan pengalaman nakal mu kemarin malam secara detail pada ku. Lagi pula apa kau tak merasa bersalah setelah berkhianat dengan tunangan mu?"     

"Memang kenapa? Kita sesama pria, kan? Normalnya kalau bertemu pasti membicarakan seputaran hubungan intim, perselingkuhan terkadang masih di kategorikan permasalahan sepele yang tak perlu di khawatirkan. Aku hanya berusaha menikmati hidup, tak salah, kan?"     

Bahkan tumpuan kakinya sudah terlalu keras mendorong tanah pijakannya untuk sekedar menghilangkan dirinya dari situasi yang berubah tak karuan ini. Nathan kemudian menggeram, matanya yang melirik tajam di harapkan mampu untuk menghunus tepat pada bagian mulut pria itu dan mencabik-cabiknya di sana sampai hancur. Max yang berubah makin menyebalkan, membuat Nathan sampai berpikiran se horor itu.     

"Tapi saat ini aku sedang ada tujuan lain untuk menemui mu. Ini tentang wanita yang merawat Zeno," tekan Nathan yang benar-benar mengusahakan baik untuk pembicaraan mereka setelah selang satu detik menjadi penentu.     

"Awalnya yang terlihat sangat pendiam, setelah ku pancing nyatanya diri mu menjadi lebih menggebu-gebu? Santai saja, Nath... Aku punya banyak waktu luang untuk kawan sekaligus calon adik ipar ku."     

"Tidak jadi."     

Sudah. Nathan yang mulanya datang dengan penuh keraguan kali ini sudah sangat yakin untuk segera melenggangkan langkahnya pergi dari hadapan Max. Tak butuh juga untuknya menampilkan raut menipu ramah, bahkan bola matanya yang berputar malas turut di yakini mendapat saksi pandang langsung dari pria yang tengah menyandarkan tubuhnya dengan lengan terlipat di dada itu.     

"Huh?"     

"Awalnya aku risih saja karena wanita yang menjaga Zeno nampak tak konsisten dengan sesekali mencuri kesempatan untuk memainkan layar ponsel, juga dengan seorang pria yang menjadi semakin rutin mengantar jemputnya," cicit Nathan yang mengungkapkan alasannya. Kali ini bahkan dahinya berkerut dengan kelopak mata berkedip-kedip cepat, karena ia yang makin tak masuk akal!     

Bahkan Max nampak lebih tertarik dan mempertanyakan kejelasannya. "Jadi, kau cemburu?"     

"Bukan itu!" sentak Nathan cepat. Bahkan kaki kirinya yang menghentak, sudah tak di pedulikan lagi. "Hanya saja aku tak suka jika dia tak benar-benar merawat Zeno dengan benar. Namun setelah ku pikir-pikir, akan sangat jahat jika aku memberhentikannya yang belum genap kerja sebulan hanya karena hal itu," lanjutnya dengan mematahkan sendiri argumen awalnya yang mengada-ngada.     

Max yang masih berpura-pura menyimak, menampilkan wajahnya kembali serius dengan berucap, "Ehmm... Baiklah. Jadi, sekarang masalah mu selesai tanpa aku harus campur tangan?"     

"Tidak juga, hanya saja kau yang tak terlalu menyadari tentang pengaruh mu pada ku," balas Nathan dengan bahu yang terangkat ringan.     

Tubuhnya kemudian membungkuk, menumpuk piring kotor yang habis tak bersisa menjadi satu. Walau marah, ia harus tetap bertanggung jawab, kan?     

Kemudian memutar tubuhnya, melangkah tergesa untuk segera pergi dari ruangan ber-ac yang membuatnya tak bisa bernapas dengan benar.     

Namun sebelum sempat lengannya yang meraih ganggang pintu itu berhasil di tarik, Nathan kembali membatu, menerka ingatan atas rentetan ucapannya yang bisa saja di salah pahami.     

Menepuk dahinya dengan keras, kembali menatap intens pada Max yang membalas yang sama. "Maksud ku tentang mengambil keputusan perkara ini. Sampai jumpa."     

*******     

"Hai, kak Nathan... Senang bertemu dengan mu lagi."     

Nathan yang menyisa menit-menit akhir jam makan siangnya pun di dahului oleh kedatangan seseorang yang menyapa. Mematikan layar pc nya, kemudian beranjak dari kursi kebesarannya dengan menyambut lengan terbuka lebar milik Cherlin.     

Kemudian lembab terasa di pipi kanannya, wanita yang cantik dengan lipstik merah menyalanya itu mencap lekuk bibirnya di sana.     

Seolah menjadi hal lucu, dengan mengulas senyum lebar, Cherlin bantu membersihkan akibat dari perbuatannya dengan usapan ibu jarinya yang lembut.     

"Hahah... Hanya jeda satu hari, Lin," balas Nathan sembari lengannya menarik turun milik Cherlin. Berganti menggiring wanita itu untuk duduk di atas ruang bersantai miliknya. Mengambil alih kotak bekal yang kemudian di letakkan di atas meja.     

"Namun sangat buruk jika kau sampai melewatkan menu makan siang buatan ku lagi, kak..."     

"Hmmm... Kau benar, bahkan aku sudah tak sabar untuk kembali merasakan makanan mu lagi di lidah ku?" balas Nathan yang malah mempertanyakan ucapannya sendiri yang berlebihan.     

"Baguslah, senang juga mendengarnya,"     

Ya, lagi-lagi ia menunjukkan bakatnya dalam berbohong. Bahkan terasa semakin jahat saat melihat Cherlin yang makin bersemangat dengan bergegas mempersiapkan menu makanan buatannya.     

"Aku sedang ingin martabak telur saat ini, kau cobalah."     

Cherlin hanya menganggukkan kepalanya, masih tanpa melepas sedikit pun senyum di bibirnya. Bahkan wanita itu menawarkan diri untuk menyuapinya makan, meniru suapan sendok menggunungnya tadi, meski Nathan harus pintar-pintar mengendalikan rasa mualnya jika ingin penderitaan makan ini segera berakhir.     

Ya, hanya tinggal perkiraan tiga suap lagi, tak ingin menuruni ucapan Max yang membuat Cherlin bisa saja sakit hati. Nathan menahan mati-matian untuk bisa sampai menandaskan. Toh, ada penangkal makanan yang setelahnya bisa membantu indera perasa nya lebih baik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.