Hold Me Tight ( boyslove)

Khawatir pada Cherlin



Khawatir pada Cherlin

0Namun yang ada malah makin membuatnya mual. Mulutnya seperti tersumpal dengan sulitnya gigi untuk mengunyah, akibatnya pun muatannya makin tertahan lama di dalam indera perasa. Makanannya tak bisa halus, hingga saat ia memaksa diri untuk menelan malah membuatnya hampir tersedak dengan pernapasannya yang turut terhambat.     
0

Netranya bahkan sudah memerah, wajahnya berubah pucat pasi, hingga keringat dingin seketika langsung membasahi sekujurnya. Mencengkram buku tangannya di atas paha, hanya sedetik lagi, Nathan tak bisa menahan diri untuk membuang siksaan di dalam mulutnya itu.     

"Huekk!"     

Akhirnya terdengar bunyi mual. Namun bukan Nathan yang mengambil botol dan hendak mendorongnya dengan minuman, yang ada malah denting sendok garpu di lemparkan sekenanya mengikuti, Cherlin bangkit dari duduknya dan lekas berlari menuju kamar mandi.     

Nathan masih membelalakkan mata untuk satu detik setelahnya. Kemudian tersentak keadaan saat melihat kembali terdengar suara menggema milik Cherlin yang tengah muntah.     

Bergegas bangkit dari tempatnya, kemudian menegak minuman sebanyak mungkin untuk membantunya menelan makanan. Dengan perut yang terasa di aduk-aduk, lebih parahnya lagi saat netranya memandang kesakitan Cherlin yang berusaha mengeluarkan habis isi muatan di dalam lambungnya.     

"Huekkk!"     

Meski seperti tertular untuk melegakan dirinya dengan muntah, Nathan yang masih mempunyai hati pun menahan perutnya dengan cara menahan napas beberapa detik sembari bantu memijat tengkuk milik Cherlin.     

"Berkumurlah, supaya tidak pahit," ucap Nathan setelah Cherlin mengangkat kepala dengan pandangan tetap membias melalui kaca ke arahnya.     

Wanita itu pun mengangguk, sekaligus membasuh wajahnya. Bibir yang mulanya terpoles gincu merah, setelahnya di gosok hilang dan menjelaskan raut pucatnya.     

Dengan penuh perhatian, Nathan menarik beberapa lembar tisu dan mengusap lembut tetesan air yang membasahi wajah cantik wanita itu. Kemudian bantu memapahnya, memposisikan kembali tempatnya seperti semula.     

"Mau kemana?" rengek Cherlin dengan telapak tangan yang menahan pergelangan milik Nathan.     

"Aku akan meminta tolong untuk membuatkan mu teh hangat, sebentar saja," balas Nathan dengan lembut mengusap surai halus milik Cherlin.     

Namun nyatanya bujukan itu tak berhasil, karena setelahnya raut wajah Cherlin berubah berkerut dengan netranya yang basah. Gelengan kepala kuat sembari kedua kaki berjingkrak-jingkrak kesal sembari berucap dengan nada sesegukan. "Tapi kakak belum menghabiskan makanan kesukaan mu, kan?"     

"Aku akan menghabiskannya setelah ini. Sungguh...!" tekan Nathan benar-benar tengah serius. Tak mungkin pula ia mementingkan egonya di saat keadaan genting seperti ini.     

Kemudian melepaskan paksa lengannya yang tertahan, menulikan pendengarannya saat Cherlin yang baru kali ini manja berlebihan.     

Saat pintu ruangannya terbuka, seorang pria bersamaan menyambut dengan arah pandanganya yang kemudian memutar saling berhadapan. "Rik?"     

Raut heran Nathan pun sedetik setelahnya lenyap, bagaimana ia bisa melupakan jika pengawal Cherlin tak pernah melepaskan jarak sedikit pun?     

"Ada apa dengan nona?" tanya pria berwajah datar itu setelahnya.     

Mengangkat bahu, kemudian mengutarakan anggapannya. "Ku rasa dia sedang masuk angin, baru saja muntah. Ku rasa perutnya sedang kosong karena hanya cairan yang keluar-Ehh!"     

Nathan tersentak, tubuhnya limbung saat begitu saja saat Riki mendesak celah sempit terbuka untuk menyusup dalam tak sabaran.     

Namun setelahnya membuat Nathan malah tak habis pikir. Pertunjukan di hadapannya membuatnya mematung di tempat dengan mata yang kembali terbelalak.     

Plakk     

Cherlin menampar Riki, wajah piasnya seketika tergantikan dengan ekspresi berang. Menunjuk pria yang jauh lebih dewasa darinya itu dengan lagak tak sopan. "Jangan kurang ajar! Siapa yang menyuruh mu untuk masuk, eh?!"     

Kemudian tanpa sedikit pun Riki menyerah, malah menggenggam pergelangan tangan milik Cherlin dan menariknya sedikit memaksa. "Ikut aku ke rumah sakit."     

Nathan kemudian mendekat, berusaha mendinginkan emosi Cherlin yang nampak tak stabil. "Ya, sebaiknya seperti itu, Lin."     

Namun agaknya ucapan Nathan tak sedikit di gubris, karena setelahnya Cherlin menyentak lengannya supaya terlepas. Buku tangannya yang terkepal erat menghantam bertubi-tubi dada bidang milik Riki, sembari terus mengumpat. "Brengsek Apa kau bilang? Kau berani memerintah nona mu seperti ini?!" tantang Cherlin dengan nada tinggi.     

Riki yang terlihat begitu gigih dan terlihat mementingkan kondisi fisik yang nona, dengan lancangnya malah menggendong Cherlin dengan gaya bak pengantin. Cherlin yang tak sudi pun kemudian mengayun-ayunkan kedua kakinya dengan tubuh meronta minta di turunkan. "Akhh! Bangsat!"     

Sementara Nathan sebagai penonton hanya menelengkan kepala dengan jemari yang menggaruk tengkuknya yang tak gatal.     

Sekali pun tak berkutik saat Riki melewati hadapannya dengan Cherlin yang menjulurkan kedua lengan sembari berteriak namanya. "Kak Nath!!!"     

Pintu tertutup otomatis, menyambut sunyi yang seketika saja mendominasi. Lagi-lagi sibuk berpikir tentang drama yang baru saja di saksikannya.     

Sebagai pengawal pribadi, Riki memang tak bisa di bilang berlebihan dengan caranya yang memberi paksaan di saat darurat seperti tadi. Namun setelah memikirkannya lebih jauh, mengapa Nathan malah berpikir jika keduanya terlalu dekat?     

Abaikan tentang makian kasar Cherlin serta balas paksaan dari Riki, namun secara tak langsung, mengapa Nathan melihat hal itu tadi sebagai pertengkaran sepasang kekasih yang saling berusaha mematahkan ego masing-masing?     

"Sepertinya ada sesuatu dengan mereka?"     

******     

"Hai, nak Nathan? Kau kemari?"     

"Ya, ku pikir aku hanya ingin memastikan keadaan Cherlin saja."     

Sambut seorang wanita setelah sebelumnya Nathan menekan bel rumah mewah yang di kunjungi nya malam hari itu.     

Merasakan tubuhnya di peluk singkat, Nathan menurut saat setelahnya lengannya tertarik untuk membimbingnya memasuki kediaman Nandara itu.     

Mendudukkan diri di sofa empuk berwarna gelap dengan bordir hiasan benang mengkilap itu.     

Tak sekali pun Nina melepaskan senyum lebar yang terulas di bibirnya, menggenggam makin erat pula telapak tangan milik Nathan yang tertangkup, seolah jawaban yang yang di lontarkan Nathan adalah bagian kejutan yang paling membahayakan.     

"Ekhem! Jadi, rupanya kalian sudah sangat sedekat itu, ya? Sampai-sampai saling mengkhawatirkan?" Nina kemudian bermaksud menggoda, namun tidak demikian dengan Nathan yang malah mengerutkan dahinya makin dalam.     

Apakah Nyonya Nandara tak mengetahui jika Cherlin tengah tak enak badan? pikir Nathan setelahnya memutuskan untuk diam saja.     

Terlalu tak bisa menutupi saat nada suaranya malah mengakhiri kebingungannya. "Ehmm... Ya..?"     

Semakin sumringah, bahkan Nina sampai menepuk-nepuk punggung tangan milik Nathan yang masih di genggam.     

"Bagus nak, aku sangat senang dengan usaha mu untuk sembuh."     

"Menurut tante, saya sakit?"     

Ini bagian yang paling di bencinya saat berbincang dengan seseorang yang terlalu mengenal dirinya. Bukan dalam bagian terbaik, malah membuat makin muak saat tarikan orientasi seksualnya di ungkit dengan serangkaian ucapan seolah memaki kejam.     

Kembali tak bisa berpura-pura ramah dan sopan, karena setelahnya Nathan dengan terang-terangan berdecih sembari membuang muka.     

Nina yang nampak sedikit panik akibat bicaranya yang frontal, kemudian memberikan sanggahan,     

"Ah, tentu saja tidak... Maksud ku bisa seperti orang normal yang lain. Percayalah, kau tak akan menyesal berkorban lebih untuk saat ini. Kemudian hari, kau pasti akan mendapatkan yang setimpal. Baiknya, kau bisa mendapatkan keturunan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.