Hold Me Tight ( boyslove)

Bahagia bersama?



Bahagia bersama?

0"I-iya?" Balas Cherlin sedikit gugup, terlebih dengan nada tanya yang mengakhiri. Pandangannya bahkan terlepas pada Nathan, menunduk dalam sembari menatap jemarinya yang memilin. Seolah masih mempertimbangkan, dahi wanita itu bahkan berkerut dalam. "Hanya untuk memastikan langkah ku ke depannya."     
0

"Hei, lihat aku!" titah Nathan, sembari telapak tangan hangatnya yang menakup rahang kecil milik Cherlin, menyelasarkan jemarinya di sana. "Aku akan selalu bersama mu, yang perlu kau ingat, bawasannya kau tak akan pernah sendirian."     

"Benarkah?" Cherlin memastikan.     

"Tentu, apakah kau meragukan ku?"     

Cherlin dengan cepat menggelengkan kepala walau sebelumnya sedikit ragu. Lengannya kemudian terangkat, membimbing jemari Nathan untuk mengisi sela miliknya. Genggaman erat keduanya menjadi perhatian intens sebelum akhirnya manik mata mereka kembali bertemu. "Tidak, hanya saja segalanya sudah terlampau rumit sejak awal, kan? Rasanya tak mudah untuk ku berpikir semudah itu," lanjut Cherlin lirih, menyuarakan sisi hatinya yang menjadi tak percaya diri untuk memandang masa depan.     

Namun Nathan segera mematahkan sembari berkata, "Mungkin saja, tapi sembari berjalan, kita bisa membenahi perlahan, kan? Sungguh, tak usah tergesa untuk memutuskan sesuatu hal, Lin."     

Namun masih tak sepenuhnya bisa menenangkan hati Cherlin. Mulutnya terbuka, hampir saja mengucapkan sebuah pertanyaan yang masih membelenggunya, jika saja tak terdengar bunyi tepuk tangan yang menitik kode panggilan.     

Rara di sana, seolah menjadi panitia dadakan sampai menyelasarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan.     

"Acara tiup lilinnya akan segara di laksanakan. Bisakah kalian yang muda-mudi tak asik dengan keromantisan bersama pasangan masing-masing? Sungguh, ada masanya untuk itu, nak."     

"Baiklah," balas Cherlin yang tanpa sadar melihat bentuk perhatian sang papa pada ibunya. Persis dengan yang di lakukan oleh Nathan sesaat lalu. Menyerap kebahagian keduanya, hingga secara beransur raut wajahnya tertarik dengan sudut bibir yang mengulas senyum manis.     

Di perhatikan pula oleh Nathan. Menarik pandangan Cherlin kemudian menyakinkan yang telah di ucap oleh wanita itu. "Baiklah?"     

Cherlin yang merasa di goda kemudian terkekeh. Merasa nyaman dan semakin dekat, sampai-sampai tak lagi sungkan untuk memberikan pukulan pada dada bidang Nathan sebagai peringatan awal.     

"Sungguh, bahkan aku sampai merancang kalimat untuk menenangkan mu, dan kau dengan mudahnya terbujuk hanya dengan melihat kebahagiaan mereka?"     

"Hahah... Maaf saja sudah sedikit merepotkan beberapa menit mu untuk berpikir." Cherlin sedikit meringis, Nathan mencubitnya gemas kedua pipi miliknya.     

Menurut pada banyak tatapan yang kompak menyerbu, Nathan pun akhirnya membimbing Cherlin berjalan untuk semakin mendekat pada titik acara.     

Cherlin merapatkan tubuhnya pada Nathan, masih mengabaikan kesibukan yang lain bintang acara kali ini. "Hanya saja melihat orang tua ku bahagia, seperti memecut ku untuk bisa memilikinya segera."     

"Maka putuskan lah dengan hati-hati setiap langkah mu."     

Cherlin kemudian mengangguk patuh. Wajahnya yang semakin memerah, kemudian di sembunyikan pada tumpuan bahu milik Nathan.     

"Bagus, kau sangat cantik dengan senyum lebar seperti ini," puji Nathan dengan sepenuh hati.     

Merasa melayang, dengan cepat Cherlin balas memandang untuk meyakinkan. "Kau menyukainya?"     

"Tentu saja."     

Hanya dengan jawaban singkat, Cherlin rasanya sudah berbunga-bunga. Merasakan sekujur tubuhnya memanas dengan menarik segala kegundahan yang tak perlu menjadi bentuk kebahagiaan. Bahkan benar-benar tak ingin terlepas, Cherlin tak akan menyesal jika pun sampai di samakan bak perangko.     

Semua orang agaknya sudah benar-benar bahagia. Sebuah kue tinggi dengan puncaknya tertanam replika sepasang pengantin yang berdansa, menjadi bentuk simbolis perayaan kali ini. Sepasang kekasih yang telah bersatu dengan bukti kesetiaan yang masih terus terjaga, Nina dan juga Jonathan.     

"Aku berharap ulang tahun pernikahan kita yang ke- 30 ini bisa menjadi jembatan penghubung untuk tahun-tahun berikutnya."     

"Sampai maut memisahkan, sayang."     

Harap Nina yang setelahnya di sambung oleh Jonathan. Meniup lilinnya secara bersamaan, setelahnya saling mencurahkan kasih sayang dengan ciuman tetap di bibir.     

Tepukan pun menyambut setelahnya, tak begitu ramai, namun terasa menjadi bahagia yang lengkap oleh Nina yang menatap kedua anaknya telah tumbuh menjadi dewasa yang mengagumkan dan selalu membuatnya bangga.     

"Meski pun aku tak bisa mengurutkan bentuk cinta ku pada kalian semuanya. Percayalah, kalian adalah yang terbaik, dan menempati posisi tepat di dalam hati ku."     

Suasana sejenak menjadi haru, saat Nina mengundang kedua anaknya untuk lebih dekat dan memberikan kecupan masing-masing di pipi Max dan juga Cherlin. Bergantian menyuapkan potongan kue, sampai membuat Jonathan yang seperti tersingkir pun di tertawai.     

"Hahah... Bersabarlah untuk giliran mu kawan!" Bagas menyeletuk kemudian mendapatkan pukulan dari Anggun yang merasa masih begitu sungkan. Bukan tentang perkara keakraban sang suami pada keluarga Nandara, hanya lebih tertuju pada rasa sungkan terhadap Rara yang sontak menunjukkan raut wajah masam dengan bola mata memutar seolah-olah tengah muak.     

Selebihnya bisa menampilkan tawa menipu untuk sekedar menghormati, tak lain dengan Lea dan Nathan yang tertarik pada hawa dingin saat sang wanita lebih dulu menatap tajam.     

Setelahnya Max dan Cherlin kembali pada posisi masing-masing, dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun, Nina menarik Jonathan kembali setelah sempat tersingkir.     

"Ya, ku pikir setelah kita saling memanjatkan doa selayaknya pasangan sehidup semati yang tak terpisahkan sedetik pun, kau tak akan pikir panjang lagi untuk memberi ku yang pertama dari potongan kue mu? Nyatanya aku di kalahkan oleh kedua anak ku yang bahkan sibuk dengan pasangan masing-masing?"     

Jonathan berlakon layaknya bocah kecil yang memprotes saat keinginannya tak kunjung terpenuhi. Rautnya yang datar, tak di sangka yang lain bisa memberenggut dengan gaya manja mencebikkan bibir semacam itu.     

Seketika saja menjadi sebuah hiburan, Bagas yang lebih geli pun hampir saja mendekat dan mendorong wajah kawannya itu ke arah kue.     

Nina yang merasa berhasil karena telah menggoda, kemudian menarik Jonathan untuk berbalas pandang dengannya. "Ku rasa bukan gaya mu untuk bahagia dalam kesenangan seperti yang ku tunjukkan pada kedua anak ku," tanya Nina dengan nada jenaka. Lengannya terkibas dengan gaya manja, setelahnya menjungkat-jungkitkan kedua alisnya.     

Jonathan bahkan tak mempedulikan lagi tentang wibawanya yang hilang dengan kompak menertawai yang di dapatkannya itu. Menyisipkan lengannya di pinggang ramping sang istri, menyentaknya dekat hingga bagian keduanya berbenturan. Sementara menekankan balasan. "Ini adalah ulang tahun pernikahan kita."     

"Dan kau menginginkan yang lebih istimewa setiap tahunnya, kan?" terka  Nina yang dengan cepat meraup potongan kue. Tanpa sedikit pun basa-basi, menyuapkan langsung pada Jonathan yang masih tak siap.     

Akibatnya membuat wajah dan arah jatuh potongan kue kecil itu kotor akibat krim. Semua orang tahan napas, memperkirakan terburuk saat pria sekaku Jonathan di berikan lelucon semacam ini.     

Namun bukan menjadi sebuah akhir, karena pria paruh baya itu lebih merasakan bahagia yang berlipat, saat sang istri yang tiba-tiba saja mengalungkan lengan kotornya di leher, tanpa sedikit pun pikir pandang menyergap ciuman intens di sana. Saling menyanjung satu sama lain, bahkan berusaha memberikan pemuasan terbaik dengan lidah menjulur saling berbelit. Membuat tampilan keduanya menjadi kotor.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.