Hold Me Tight ( boyslove)

Sangat cemas



Sangat cemas

0Max di sana, pria yang terlalu menatapnya dengan curiga membuat Cherlin seperti tak mampu menahan diri untuk sedikit lebih tenang.     
0

Pikirannya sudah terlampau takut sedari awal, tak akan bisa menerka semarah apa kakaknya itu saat menemui adiknya yang menyembunyikan sebuah kenyataan besar.     

"Aku- eunghh.... Efek minuman yang semalam. Sungguh, kali ini membuat perut ku seperti di aduk-aduk, terlebih dengan rasa pusing di kepala ku," jawab Cherlin dengan alasan yang di rasa cukup tepat. Namun lagi-lagi masih terlihat begitu menyakinkan dari pandangan Max yang respon menyipit tajam.     

"Lalu siapa yang kau pikir menyusup masuk? Dari kata-kata mu, seseorang itu tak hanya satu kali datang tanpa izin terlebih dahulu hingga membuat mu marah, begitu?"     

"Itu- bibi. Maksud ku, terkadang ia terlalu bermulut besar. Aku hanya takut saja jika ia menyebarkan berita berlebihan tentang kondisi ku ini. Papa dan ibu bisa saja khawatir, kan? Pastinya brother mengetahui betapa hebohnya mereka untuk sekedar menghubungi dokter."     

"Meski pun makian mu pada seorang yang lebih tua tak bisa ku percaya. Tapi, apakah benar begitu?"     

"Hanya reflek terlontar saja. Loh, apakah brother tak mempercayai ku?" sergap Cherlin yang di harapkan mampu membuat Max mengalih pada topik yang membuatnya bisa saja lepas kendali dan menenggelamkannya pada lubang galiannya sendiri.     

"Sedikit."     

"Maksudnya?"     

"Kau sudah terlalu banyak mengingkari janji perubahan mu, tak begitu mengherankan jika aku terus merasa was-was pada mu, kan?" ucap Max yang membuat Cherlin tak paham.     

"Tentang perkara apa kali ini?" lirih Cherlin seolah berdiskusi dengan dirinya sendiri. Namun yang lebih buruknya, prasangka berlebihan membuat pijakannya seperti jelly. "Apakah brother diam-diam menyewa orang untuk membuntuti ku? Pria berwajah datar yang seperti sepanjang waktu terus menempel pada pergerakan ku, apakah masih kurang meyakinkan mu?" tekannya memastikan kewaspadaannya.     

"Hei, kenapa tanggapan mu berlebihan? Apakah ada suatu hal yang kau sembunyikan?"     

Lihatlah, bahkan Max dengan mudahnya memberikan kesimpulan seperti itu untuknya yang berkali-kali tak mampu memandang lurus.     

"Tidak. Lagi pula, apa yang membuat brother berpikir seperti itu?"     

"Entahlah, mungkin karena aku merasa telah mengenal mu?"     

"Ha-hahah... Nyatanya kau masih tak bisa menembus pemikiran ku, kan? Perkaranya hanya satu, brother.... Kau masih jauh dari kata sekedar menyadari kenyataan di sekitar mu."     

Cherlin yang berucap begitu datar dengan awalan tawa yang kaku, membuat Max mempertanyakan. "Lalu ku balik pertanyaannya, tentang apa yang kau katakan kali ini?"     

"Semalam? Kau sangat kejam dengan mengabaikan kak Lea begitu saja," timpal Cherlin yang sedikit merasa lega saat keluar dari topik rawan akan kondisi kesehatannya yang menggiring pada titik rahasianya.     

"Dan kau sangat baik karena terus menempel pada Nathan, begitu?"     

"Harusnya memang tuan rumah memberikan pelayanan terbaik, kan? Terlebih dengan sosok yang sangat istimewa?"     

"Sebelum melayani orang lain, bagaimana kalau kau perbaiki diri mu terlebih dahulu?"     

"Menurut brother, apakah aku masih tak pantas untuk Nathan?"     

"Jika kau tak absen terlalu banyak pada jam mata kuliah mu. Bisa kau katakan alasannya?"     

"Apakah pria itu yang memberi tahu brother?"     

"Tentu, mas Riki adalah orang suruhan ku untuk mengawasi mu, kan?"     

Deg     

Kali ini menjadi semacam pertanda yang buruk setelah mengetahui kepatuhan Riki pada Max. Sungguh, sebelumnya bahkan Cherlin sudah memberikan peringatan untuk tak berani sedikit pun membuka mulut. Namun kenyataannya sekarang? Sangat cemas, bagaimana jika Riki yang memberontak karena terus di sakiti membuat pria itu akhirnya membongkar semuanya? Lantas, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana dengan jaminan hidupnya ke depan?     

Plakkk     

"Brengsek! Berani-beraninya kau membuka mulut mu pada kakak ku, ya!"     

Mengabaikan wajah pucatnya yang masih tak sempat untuk di rias. Cherlin yang mempersiapkan dirinya dengan secepat kilat kemudian tanpa pikir panjang memberikan peringatan pada pria yang di bencinya setengah mati.     

Di tepi jalan dengan kendaraan yang mereka tumpangi berhenti. Cherlin meluapkan amarahnya pada Riki dengan bersungut-sungut.     

"Apa maksud mu membuka mulut tentang perkara absen? Apakah kau sudah melupakan tentang peringatan ku!" Cherlin tanpa henti melayangkan pukulan bertubinya pada Riki. Mulanya memang di terima dengan pasrah, namun saat makin keterlaluan, membuat Riki memberikan cekalan.     

"Maafkan saya, nona. Agaknya anda melupakan posisi saja sebagai seseorang yang di perintahkan tuan Max untuk menertibkan anda."     

"Benarkan hanya sebatas itu? Kenapa aku tak bisa menaruh sedikit pun kepercayaan pada mu, ya? Lebih-lebih yang kau nantinya memanfaatkan keadaan untuk menekan ku hanya karena sesuatu yang tak semestinya ada dalam perut ku ini, eh?!"     

Riki berubah panik, saat Cherlin yang tiba-tiba saja memukuli perut datarnya sendiri. "Akhhh! Bangsat!"     

Selayaknya orang yang tengah kesetanan, bahkan Riki yang memiliki tenaga penuh hanya memakan waktu terlalu lama untuk bisa mencengkram pergelangan tangan milik Cherlin.     

"Dengarkan aku!" Bahkan untuk pertama kalinya bersuara lantang. Menarik sekaligus kepatuhan Cherlin yang beransur tertekan saat Riki menatapnya dengan sangat tajam.     

"Bahkan saat ini kau sudah dengan lancangnya memperingati ku? Kenapa dengan cengkraman tangan mu yang makin mengencang, sama seperti malam itu, apakah kau akan kembali memperkosa ku?" lirih Cherlin dengan suaranya yang berubah bergetar. Matanya yang memerah bahkan tak mampu membendung air matanya yang mengalir deras. Yang lebih mengerikannya, bibir bibir pucat milik Cherlin masih menarik seulas senyum tipis.     

Nampak amat tak berdaya, bahkan Riki yang berniat membela diri malah merasa makin cemas dengan perubahan sikap Cherlin yang mengerikan.     

"Sama seperti dalam situasi kali ini, bukankah waktu itu di sisi luar juga dalam keramaian? Namun kau lebih tak peduli, hanya memikirkan keinginan bejat mu untuk menghabisi ku, kan?"     

Riki menggelengkan kepalanya, rautnya begitu sendu, niat hati ingin kembali menggenggam lengan ringkih milik Cherlin untuk menenangkan. Namun lagi-lagi menemui kegagalan, wanita itu menjauh, kemudian meringkukkan tubuhnya sekaligus dengan kedua kakinya yang terangkat ke kursi.     

"Malam itu, aku sudah seperti ini, mencoba mempertahankan diri ku. Tapi kau masih memaksa ku, kan? Apakah kali ini kau akan melakukannya untuk kedua kalinya?"     

"Tidak. Aku mengakui jika malam itu adalah kebodohan ku. Aku sangat menyesal karena telah membuat mu menderita seperti ini. Sungguh, aku tak berniat sedikit pun untuk menyakiti mu."     

Menghilangkan segala bentuk keformalan yang membuat muak, Riki pun menundukkan kepala dengan lengan bertaut layaknya memohon ampun atas perbuatannya. Bahkan air matanya yang di cegah mati-matian ikut mengalir.     

Melihatnya, sedikit pun Cherlin tak berniat berbesar hati untuk memberikan pintu maaf. Yang ada emosinya malah kembali melahap, memberikan pukulan pada Riki sembari merintih,     

"Kau pikir hanya dengan kata maaf mu bisa mengembalikan ku seperti awal?! Hikkss... Kau pikir dengan maaf mu bisa melenyapkan kandungan ini tanpa membuat ku merasa bersalah, eh?!"     

"Aku membenci mu! Aku sangat sangat membenci mu!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.